Apau kayan, 3-10-2022
Luk 10:25-37
SALAH satu bentuk kearifan lokal yang terus dihayati dan dihidupi oleh masyarakat Dayak Kenyah pedalaman adalah “senguyun“.
Apa itu “senguyun” dan bagaimana sejarah lahirnya istilah tersebut? Secara umum “senguyun” diartikan sebagai bakti sosial kemanusian.
“Senguyun” tidak hanya sekedar gotong royong guna menolong orang susah. Sejatinya, “senguyun” adalah budaya dan cara hidup yang mengutamakan kesejahteraan bersama.
Tradisi “senguyun” lahir dari “rahim” hidup orang Kenyah yang terikat dengan komunitas suku dan tempat.
Bentuk “rumah panjang” yang mereka buat untuk menampung puluhan keluarga merupakan perwujudan dari simbol “senguyun” yang mengambarkan tentang kebahagian manusia.
Dengan “senguyun” mereka bisa melihat sesamanya bahagia.
- Bahagia karena bisa melihat serumah berseda gurau, berkelakar, bercerita, tersenyum dan tertawa.
- Bahagia karena bila seorang dari mereka mendapatkan daging perburuan dari hutan bisa dibagi dan makan bersama-sama.
- Bahagia bisa mendapati sesamanya di rumah hidup dalam kondisi tanpa beban dan tekanan. Serta bahagia bisa melihat sesamanya makan dan minum.
Demikian halnya bila ada di antara mereka yang jatuh sakit dan mengalami beban hidup, mereka akan merasa senasib. Penderitaan atau sakit satu orang di “rumah panjang” adalah penderitaan bersama.
Seolah-olah pertanyaan spiritual seperti, “Bagaimana mungkin aku bisa tersenyum dan bahagia sementara sesama di sampingku sedang menangis sedih dan sakit”?
Kesadaran hidup bersama sebagai senasib inilah yang menjadi modal kekuatan hidup mereka.
Pola dan bentuk hidup “senguyun” ini, mengingatkan kita dengan kisah Tuhan Yesus mengenai orang Samaria yang baik hati dalam Injil hari ini.
Di situ dikisahkan bahwa ada manusia yang memiliki jabatan rohani seperti imam dan seorang Lewi namun hatinya membeku seperti es.
Orang sekarat yang terkapar di tengah jalan yang membutuhkan “senguyun“, malah mereka diabaikan. Imam dan Lewi sepertinya sedang “berbisnis kehidupan”.
Mereka enggan menolong si sakit, sebab dia tidak bisa memberikan mereka apa-apa. Mereka hanya membutuhkan orang sehat yang mempunyai harta.
Sangat mungkin konsep imam dan Lewi semacam ini, bisa terjadi juga dalam pelayanan komunitas religius dewasa ini. Orang cendrung mempunyai waktu untuk melayani umat yang kaya yang tinggal di perumahan “elite” di kota-kota.
Sedang untuk orang miskin dan terpinggir di seberang sana, mereka tidak mempunyai waktu dan kerap memasang dan membentengi diri dengan sejuta alasan ini dan itu.
Panggilan “senguyun” untuk melayani “orang kecil” seperti yang dilakukan oleh orang samaria bisa menjadi ujian hidup bagi pengikut Kristus dewasa ini.
Orang siap berkurban kehilangan waktu, tenaga, pikiran dan harta dan hal ini sangat menatang banyak orang.
Kesadaran spritual untuk tiba di level seperti orang Samaria membutuhkan persahabatan yang dalam dengan Allah.
Doa dan Sabda Allah mesti menjadi “daging” dalam seluruh kegiatan pengikut Kristus. Pengikut Kristus mesti berada di level spiritual seperti, “Saya tidak bisa tersenyum, tertawa dan bahagia bila seorang di sekitarku sedang sekarat merintih dan menangis sedih.
Bagaimana mungkin saya bisa makan dan minum, sedang di sekitarku ada orang lapar dan haus.
Bagaimana mungkin saya bisa plesiran kemana-mana, sedang di luar sana ada orang lumpuh yang menjerit minta “tongkat”?
Dan masih banyak pertanyaan spiritual lain yang bisa kita cari dan kita renung dalam kaitan dengan “senguyun” tersebut.
Refleksi: “Apakah aku sudah menjadi sesama bagi orang susah”?