Apau kayan, 21-9-2022
Luk 9:7-9
DALAM sebuah kesempatan begadang dengan seorang teman, dia menceritakan pergumulan batinnya kepadaku.
Kisahnya demikian, “Dia bekerja di sebuah perusahaan sudah lumayan lama. Kendati begitu dia tidak pernah dipromosikan untuk jabatan yang lebih tinggi di perusahaan tersebut. Dia tetap saja hanya menjadi karyawan biasa.
Selang beberapa waktu kemudian, ada pergantian direktur yang baru di perusahaan tersebut. Dengan kehadiran direktur yang baru ini, dia berharap akan mendapat posisi tertentu di perusahaan tersebut.
Ternyata harapannya hanya “pepesan” kosong. Pikirnya, sudahlah… mungkin takdirku mentok di sini.
Direktur yang baru masuk ini datang membawa tenaga baru. Tenaga setempat tidak dipakai. Muncullah kasak-kusuk dan irihati di dalam sana.
Salah satu tenaga baru datang bekerja di perusahan ini adalah seorang karyawan “sakit” yang lari dari sebuah perusahaan asing. Sebetulnya, tujuan dia datang ke perusahaan yang baru ini apakah mau mengincar jabatan?
Sangat mungkin!.Mengingat, ada faktor kedekatan primodial dengan si direktur. Dan kenyataanya dia belum lama bekerja di situ, dia sudah diberi posisi strategis dan menjadi “tangan kanan” si direktur.
Dengan menjadi “tangan kanan” si direktur, dia meloncat kegirangan dan “besar kepala”. Dan dia merasa dirinya adalah “propam” di perusahan tersebut. Segala kekurangan dan kelemahan teman-temannya, langsung dia laporkan ke direktur.
Karyawan yang lain yang hidup bersamanya merasa tidak aman. Mereka merasa seperti “dispionase” hidupnya. “Tangan kanan” si direktur ini, begitu ambisius. Dia akan selalu menggunakan segala cara untuk mengamankan posisi dan kedekatan primodialnya dengan sang direktur.
Istilah sikut sana-sini dan “penjilat” sudah menjadi pola permainan hidupnya. Dia berani melawan “tega” dan bahagia bila melihat teman-teman kerjanya menderita untuk dia.
Pola kerja dan permainannya terus dia lakukan sampai dia lupa bahwa jabatan direktur yang menjadi “payung” bagi dia selama ini sifatnya tidak kekal. Dan benar, direkturnya pindah ke tempat lain. Begitu direkturnya pindah, dia mulai lesu memikirkan posisi hidupnya.
Herodianisme yang diimani selama ini, tetap dihidupi sambil mencari celah untuk mempertahankan terus jabatannya di perusahaan tersebut. Dia mencari banyak cara untuk bisa masuk ke dalam “payung” direktur yang baru.
Sepertinya “hukum waktu dan alam setempat”, sudah muak dengan pola kerja dan permainannya. “Sang waktu dan alam”, memenggal semua harapannya. Dan sungguh benar.
Direktur perusahaan yang baru datang membuat revolusi total dalam internal perusahaan yang dia pimpin. “Si tangan kanan” tadi di buang keluar. Dia di tempatkan “di anak perusahan” dan kembali menjadi karyawan biasa.
Di situ, dia mengalami “virus Herodes” dengan gejala seperti, kegelisahan, frustrasi dan stres. Dan tidak lama kemudian si direktur yang baru mulai menelaah data-data karyawannya. Dan mukjizat pun datang.
Ketika si direktur mulai menelaah data yang bersangkutan, dia kaget ternyata karyawan tadi adalah “penumpang gelap” tanpa tiket masuk ke perusahaan yang dia pimpin.
Sebagai pemimpin yang paham regulasi perusahan dan milihat fenomena aneh itu, ya… dia tanpa basa-basi yang bersangkutan dia tendang keluar.
Saat nasibnya diujung pupus itu, dia baru hiruk pikuk ke sana kemari mencari bantuan dan dukungan teman-temannya. Namun, semua sudah terlambat. Semua teman-teman yang sudah sekian tahun menanggung sakit hati karena sikap dan perbuatannya pada mereka menutup pintu hatinya rapat-rapat dan dengan nada lantang mereka berkata, “Maaf, kami bukan temanmu dan kami tidak mengenalmu”.
Ucapan ini senada dengan ucapan Tuan kepada gadis-gadis yang tidak bijaksana yaitu, “Tuan, tuan, bukakanlah kami pintu. Tetapi ia menjawab: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya aku tidak mengenal kamu.” (Mat 25:11-12).
Kisah teman saya ini, sangat inspiratif dan senada dengan kisah hidup Herodes yang menghalalkan segala cara untuk memayungi kekuasaan dan ambisiusnya untuk menguasai orang lain.
Sangat mungkin kisah semacam ini, tidak hanya terjadi dalam dunia birokrasi pemerintahan dan perusahaan. Bisa jadi juga terjadi dalam kehidupan komunitas kehidupan religius dan biarawan-biarawati.
Kadang kita berpikir, kisah hidup Herodes itu, hanya terjadi di zaman Tuhan Yesus padahal generasi dan pengikutnya muncul juga dalam kehidupan konkrit kita sehari-hari saat ini.
Refleksi: Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya nasib hidupmu akan ditempatkan di mana.” (bdk.Mat 25:13)