STIGMA negatif masyarakat terhadap penyakit kusta sampai saat ini masih terjadi. Mereka menganggap kusta atau lepra adalah penyakit yang menular dan menjijikkan sehingga siapa pun yang terjangkit penyakit ini harus diisolasikan, dijauhi. Oleh karena itu, para penderita kusta sering mengalami rasa tidak percaya diri, malu, takut, terasing, terbuang, hingga memandang rendah diri sendiri. Meskipun sudah sembuh, penderita kusta masih berpikir ulang untuk kembali hidup bermasyarakat.
100 tahun RS Kusta Alverno
Menepis stigma negatif tersebut, para suster Kongregasi Suster Fransiskus dari Perkandungan Tak Bernoda Bunda Suci Allah (SFIC) hadir melalui karya kemanusiaan dengan membuka rumah sakit khusus bagi penderita kusta. Kiprah perjalanan sejarah para suster meniti lika-liku, derap langkah karya pelayanan bagi kaum marjinal ini di tahun 2017 lalu genap meretas usia keberadaannya yang ke-100 tahun (1917- 2017).
Perayaan peringatan 100 tahun Rumah Sakit Kusta Alverno yang berlokasi di kaki Gunung Sari, sekitar 1,5 kilometer sebelah selatan Kota Singkawang, di tahun 2017 lalu itu mengusung tema “Mengasihi penderita kusta, orang miskin dari Allah yang baik”.
Karya kasih bagi para penderita lepra ini merupakan warisan dari para suster misionaris SFIC zaman dulu. Kedatangan para suster-suster SFIC ke Singkawang pada tahun 1906 itu terjadi atas permintaan pastor-pastor Kapusin yang telah memulai misi setahun sebelumnya.
Karya awal yang mereka tangani adalah pendidikan, memperhatikan orang miskin yang sakit, terlantar dan anak- anak yang dibuang.
Itu karena pengaruh budaya setempat yang percaya kalau anak lahir cacat itu berarti hanya akan membawa sial sehingga mereka dibuang orangtuanya.
Ternyata permasalahan yang menyangkut kemanusiaan pada masa itu bukan hanya sebatas tidak adanya pendidikan, banyak orang miskin, banyak anak-anak bayi yang dibuang. Namun rupanya pada masa itu, ada sekelompok orang kusta yang hidup terasing di sekitar Gunung Sari.
Para pastor Kapusin secara berkala mengunjungi untuk pelayanan rohani kepada para penderita kusta. Sedangkan para suster SFIC membantu merawat para penderita kusta ini masih dengan cara tradisional, belum ada obat/vaksin dan tindakan medis seperti sekarang ini.
Suster Cajetana SFIC, suster misionaris perawat, rela setiap hari harus berjalan kaki dari ‘pusat kota’ Singkawang menuju kaki Gunung Sari untuk merawat para penderita kusta dan setiap sore pulang ke komunitas setelah terlebih dahulu mensterilkan diri di sebuah ruang kecil yang dibangun oleh misi.
Gubuk beratap berdaun sagu
Pada awalnya, para penderita kusta ini tersebar di hutan sekitar Gunung Sari dan tinggal di pondok-pondok beratap daun sagu yang sangat memprihatinkan. Masa itu, penyakit kusta merupakan penyakit yang sangat ditakuti. Karena itu, mereka lalu membangun pagar di sekeliling kompleks agar bisa membawa diri berada di kejauhan dan kemudian hidup mengasingkan diri dari keramaian di luar.
Kesunyian karena aksi isolasi itu terlah menjadi tantangan yang sangat berat bagi para suster SFIC dan pasien. Mereka tidak punya hubungan dengan dunia luar.
Cikal bakal RS Kusta Alverno
- Pada tanggal 27 September 1917 diberkati sebuah kapel kecil dan ruang perawatan luka yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya RSK.
- Pada tahun 1919 dibangun perumahan berupa 3 blok rumah papan untuk rawat inap mereka yang sakit.
- Ada sekitar 50 orang pasien yang tinggal di sana.
- Pater Beatus OFMCap, pastor Paroki Singkawang kala itu, menganjurkan agar suster SFIC juga bisa tinggal di sekitar RSK.
- Karena itu, tanggal 14 November 1925 rumah residensiaal para suster diberkati dan dipercayakan di bawah perlindungan St. Fransiskus. Bangunan itu ditinggali tiga orang suster yakni Sr. Laurentiana, Sr. Cajetana, dan Sr. Ursula.
- Sampai saat ini di bulan Mei 2018 ini, bangunan asli itu masih tetap utuh sesuai bentuk semula di tahun awal pembangunan.
Setelah suster-suster bisa menetap di kompleks RSK, pemerintah kolonial bersedia memberi subsidi sebesar 15 Gulden per pasien setiap bulannya. Namun, tidak ada subsidi sama sekali untuk hidup keseharian para suster. Kekurangan untuk biaya makan dan pengobatan pasien serta keperluan hidup para suster lalu dicari dan diusahakan oleh Pater Superior Misi Kapusin dan Moeder Edwina SFIC.
Terjangkit kusta
Sekitar tahun 1939, Suster Ursula SFIC, salah satu suster yang merawat pasien lepra, terjangkit penyakit kusta. Karena itu, suster ini pun harus diisolasi dan diasingkan di sebuah rumah dekat kapel. Hal ini sungguh berat, namun salib ini diterimanya dengan tabah hati.
Pada tahun 1934 dibangunlah sebuah bangunan gereja kecil di kompleks rumah sakit dengan dana sebesar 5392,50 Gulden. Pemimpin umum SFIC bersedia menyumbang 4500 Gulden, sisanya pinjam dari Vikariat Apostolik Borneo dan kemudian dilunasi dengan cara menyicil.
Ketika terjadi Perang Dunia II, semua pastor dan suster Eropa dibawa ke kamp tahanan di Kuching (Malaysia), namun para suster di Alverno diperbolehkan untuk tetap tinggal. Setelah perang usai, para misionaris kembali ke Singkawang. Namun, perlu bertahun–tahun lamanya agar karya dapat berjalan seperti semula.
Pindah tangan kepemilikan
Hampir semua keperluan diperoleh dari Misi. Karya pelayanan kasih di RSK Alverno terus berjalan di bawah kepemilikan Keuskupan Agung Pontianak.Pada tanggal 27 Oktober 1954, diadakan perjanjian pinjam pakai RSK Alverno dan empat Rumah Sakit Keuskupan lainnya antara Mgr. Hendrikus Josephus van Valenburg (Vikaris Apostolik Pontianak) dengan Lie Kiat Teng (Menteri Kesehatan Republik Indonesia).
Sejak itu, pengelolaan RSK Alverno diambil dan berubah status menjadi rumah sakit pemerintah. Melalui surat tanggal 3 Oktober 1989, Menteri Dalam Negeri RI mengembalikan semua RS yang dipinjam dan kemudian dikembalikan statusnya menjadi Rumah Sakit Swasta. Namun proses pengembalian RSK Alverno tidak berjalan lancar, dengan alasan supaya tidak kehilangan fungsi sosial maka diserahkan menjadi tanggungjawab Pemerintah Kalimantan Barat.
Sejak saat itu, status RSK Alverno jadi ‘mengambang’ antara milik pemerintah atau murni swasta.
Menyerahkan kepada SFIC
Pada tanggal 10 April 2015 Mgr Agustinus Agus, Uskup Agung Pontianak menyerahkan pengelolaan RS Kusta Alverno dan Klinik di Nyarumkop kepada Kongregasi SFIC melalui Yayasan Karya Kesehatan Santo Vincentius. Penyerahan ini tidak serta merta membuat urusan menjadi lebih gampang karena status RS yang belum jelas.
Berkat bantuan banyak pihak, serta dukungan dari Bapa Uskup dan beberapa pegawai pemerintah di Dinas Kesehatan Kalimantan Barat, pada tanggal 31 Januari 2017, Gubernur Kalimantan Barat Drs. Cornelis MH menandatangani akta penyerahan serta mengembalikan RSK Alverno dan Klinik Nyarumkop kepada Keuskupan Agung Pontianak.
Proses ini diterima langsung oleh Mgr. Agustinus Agus, sehingga RSK Alverno menjadi Rumah Sakit Swasta penuh.
Pada tanggal 1 April 2017 telah dilaksanakan serah terima jabatan dari direktur lama dr. Edy Hermeni, Sp. Kj dan sekaligus pelantikan Direktur baru RSK Alverno, dr. Barita P. Ompusunggu, MKM.
Dengan demikian, Suster-suster SFIC melalui Yayasan Karya Kesehatan Santo Vincentius akan mulai menata kembali pelayanan kasih warisan para Suster SFIC pendahulu.
Para Suster SFIC berterima kasih kepada dr. Andy Jap (Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Barat), Bpk. Subandri dan Ibu Adriana beserta rekan-rekan mereka di Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat yang banyak membantu Yayasan Karya Kesehatan Santo Vincentius.
Lembar baru akan mulai ditorehkan setelah penjalanan panjang, dan kini para Suster SFIC melalui Yayasan Karya Kesehatan Santo Vincentius menatap ke depan seraya berharap pada Tuhan, berani untuk bangkit dan terus melayani dengan kasih.
Dear Sr. Maria Seba
Thank you for this history of ‘Alverno’!!
I was looking for it and knew that you did this research but could not find it …
My great grand aunt was sr. Hermenegildis and I myself am a professional historian now retired and working on the family photo archive in which there is a lot about her years there (1921-1956). I don’t speak Bahasa Indonesia so I will try and translate your story. Maybe there wille be more questions and I hope I can contact you if that is the case.
Best wishes
I will convey this message to the nun in Singkawang.
Dengan hormat
Syukurlah saya ketemu kisah ini. Tante saya adalah Suster Euphemia yang lama bekerja missi di Singkawang. Karena umur dia disiruh pulang ke Zijtaart dekat kota Veghel di Belanda. Tahun depan saya pengen mampir di Singkawang. Masih ada dokumen2 dan foto2 Suster Euphemia disitu?
Terima kasih sebelumnya dan mudah2 bise ketemu thn 2025.
Salam dari Ton Verstraaten
terima kasih atas atensinya Ton