KALAU saja dalam hidupnya ada opsi lain, maka takkan pernah Maria Imin memperbolehkan suaminya pergi meninggalkan dia dan ketiga anaknya untuk mencari makan di negeri jiran: Malaysia. Nyatanya, opsi lain itu tidak ada dan karenanya ia harus melakukan pilihan sangat berat: suaminya boleh merantau ke Malaysia untuk cari makan. Dua tahapan sudah dijalani suaminbya, yakni kurun waktu kerja tahun 2002-2010 dan kemudian kurun waktu 2013- hingga Oktober 2015 ini.
Mengapa harus berpisah untuk merantau cari makan di negeri orang? Di hadapan para peserta SAGKI 2015, Maria Imin pun berkisah demikian.
Ia tinggal tak jauh dari Paroki Riki di Keuskupan Ruteng, Flores, NTT, dimana di sana-sini hanya kegersangan dan tanah tandus yang dia temui. Kemiskinan absolut memaksa dia dan ketiga harus tinggal ikut hidup menumpang di rumah mertua.
Tanah tandus
Ia menghidupi keluarganya dengan bertani di sebuah lahan yang lokasinya jauh dari rumah. Di situ ada tanaman singkong, ubi-ubian, sayuran, dan jagung, selain beberapa pohon kemiri dan kakao meski tidak luas. Jika ada tawaran bekerja di kebun orang, Maria Imin menyanggupi dengan bayaran jasa kerja sebesar Rp 50 ribu sehari penuh, dari pagi hingga petang hari. “Untuk menggarap kebun sendiri, kami sangat bergantung dengan kebaikan Tuhan yang memberi hujan sehingga tanaman dapat tumbuh dan menghidupi kami,” ungkapnya jujur.
Selain juga memelihara babi atas bantuan suster-suster Gembala Baik, Maria Imin juga menenun manakala tidak ada pekerjaan di kebun orang, musim tanaam selesai dan tidak ada hujan. “Saya merangkai benang helai demi helai kemudian menjadi kain yang bisa dijual untuk menghasilkan uang. Kerja di rantau, uang suami juga tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Saya butuh waktu 1-3 bulan untuk menyelesaikan pekerjaan menenun,” terangnya.
Digugat ketiga anaknya
Sekali waktu, hidup kesehariannya menjadi semakin berat setelah mertua laki-lakinya pergi meninggalkan rumah untuk menikah lagi. Maka tinggallah Maria Imin bersama ketiga anak laki-lakinya bersama mertuanya perempuan.
Meski berat karena tidak punya rumah sendiri, Maria Imin merasa ikut terdukung kekuatan hatinya berkat dorongan moral dari mertua perempuan. Hanya saja, seiring dengan perjalanan waktu ketika ketiga anaknya mulai besar, hatinya ikut teriris setiap kali mereka menanyakan kepergian bapaknya ke Malaysia. “Saya memanggil suami dengan sebutan ‘Bapaknya Hendra’,” kata Maria Imin mengacu pada nama anak lelakinya yang pertama dan bernama Hendra.
Banyak kali sudah, Hendra dan kedua adiknya ‘menggugat’ kepergian ayah mereka dan membiarkan ibunya kerja sendirian di Ruteng selama bertahun-tahun sejak 2002 hingga sekarang. “Saya sering ditanyai anak dan keluarga lain: ‘Kapan eh Bapak Hendra pulang?’,” ungkap Maria Imin.
Juga pertanyaan menyentuh hati dari ketiga anak lelakinya yang menggugat: “Kenapa mama kerja sendirian tanpa bapa?,” tukasnya kemudian.
Mengisi sepi dengan kegiatan rohani
Meski mengaku mendapat dukungan moral dari mertua perempuannya, namun sejatinya Maria Imin mengaku juga mengalami hari-hari sepi ditinggal pergi suaminya. Untuk itu, ia sering menyibukkan diri dengan ikut latihan koor atau mendatangi susteran Gembala Baik tak jauh dari rumahnya untuk sekedar ngobrol melepas keletihan batin.
Ditanyai Romo Agung Prihartana MSF apakah dalam kondisi serba tidak bisa ‘memilih’ ini, Maria Imin masih merasakan sukacita Injil? Ia menjawab dengan tenang: Ya. “Sukacitanya sebagai ibu dari tiga anak laki-laki adalah kegembiraannya melihat ketiga anaknya bisa berkembang tumbuh menjadi anak-anak baik di rumah dan lingkungan,” begitu ia menjawab sederhana.
Kalau ditanya harapannya terhadap Gereja, Maria Imin mengatakan bahwa perkembangan teknologi membuatnya suka sering cemas kalau-kalau anak-anak muda sekarang mudah terjerumus ke dalam perilaku sosial yang tidak mapan dan pas seperti mengkonsumsi narkoba, hamil di luar nikah, dan pergaulan tidak sehat. “Di situlah saya punya harapan agar Gereja punya perhatian besar terhadap masalah ini,” pungkasnya.
Kredit foto: Romo FX Adisusanto FX/Yohanes Indra (Dokpen KWI)