NAMANYA Vinsensius Setiawan Triatmojo. Waktu kecil ia dipanggil Avin. Ketika menjadi imam, panggilan akrabnya, Romo Avin. Saat terpilih menjadi uskup, ia mengaku senang bila disapa dengan nama Mgr. Avin atau Uskup Avin.
Mgr. Avin terlahir di Sindang Jati, 5 April 1971. Ia adalah anak ketiga dari sembilan bersaudara. Buah cinta dari pasangan Paulus Mikhael Sukidi dan Maria Magdalena Sutarti. Mereka tinggal di Sindang Jati, Kecamatan Kelinggi, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.
Sering menangis
Menurut, kakaknya, Yustina Muliawati (56), waktu kecil Avin adalah anak yang baik hati, lurus, agak pemalu, dan suka menangis. Di sekolah ia selalu mendapat peringkat. Nilainya selalu bagus, meski tidak pernah belajar.
“Sambil tiduran, buku itu hanya di taruh di wajahnya,” cerita Yustina. Pandai, tapi terkadang cengengnya kebangetan, tambah Yustina sambil tertawa.
Avin kecil
Mengingat masa kecil Avin yang suka menangis, siapa sangka justru dipilih Tuhan menjadi Uskup Keuskupan Tanjungkarang.
Yustina mengenang masa kanak-kanak di keluarganya. Saat itu minyak goreng dijual di botol-botol. Satu botol harganya seratus rupiah. Ibunya sering meminta tolong Avin untuk membeli minyak goreng. Tetapi hanya setengah atau seperempat botol saja.
Maka sang ibu hanya memberinya uang Rp.50,- atau Rp.25,- Avin tak akan pernah mau. Ia malu. Lalu ia menangis di belakang pintu. Sampai wajan mereka gosong. “Lha, Avin kemana?,” tutur Yustina menirukan kata-kata ibunya yang menanti anaknya tak kunjung tiba.
Waktu duduk di bangku Sekolah Dasar, Avin menangis kalau nilai matematikanya delapan atau sembilan. Ia selalu ingin mendapat nilai 10. Kebetulan ayahnya sendiri, Sukidi, adalah guru matematikanya. Sampai di rumah, ibunya bertanya, “Pak, mengapa Avin selalu menangis kalau diajar Bapak?”
Lalu bapaknya menjawab, “Lha tanya saja sendiri sama Avin kenapa ia selalu menangis.”
Pernah suatu saat nilai matematika Avin delapan, tetapi tidak ada coretan kesalahan. Lalu ia bertanya pada ayahnya, yang juga gurunya, mengapa tidak ada coretan kesalahan kok nilainya delapan.
“Cari sampai ketemu, lalu dibetulkan. Nanti ayah nilai,” ujar sang ayah.
Avin penasaran. Ia mencari kesalahannya sampai ketemu dan tidak istirahat. Akhirnya, ia mendapat nilai sepuluh.
Ketika duduk di kelas III SD, guru matematika bukan lagi ayahnya. Sama saja. Avin sering menangis, kalau nilai matematikanya tidak mendapat nilai sepuluh.
Guru itu bertanya pada ayahnya, “Pak, mengapa Avin sering menangis kalau saya yang mengajar?”
Sukidi menjawab, “Oh, dia maunya mendapat nilai 10, Pak”
Akhirnya semua guru tahu kalau Avin harus mendapat nilai 10 di bidang matematika. (Berlanjut)
PS: Diambil dari Buku Kenangan Tahbisan Uskup Mgr. Vinsensius Setiawan Triatmojo, hlm 47-48.
Baca juga: Kisah Hidup Mgr. Vinsensius Avin Setiawan Triatmojo, Disayang Bunda Maria (2)