Kisah Panggilan Jadi Imam: Doa Mama Saat Kunjungan Paus Johannes Paulus II (3)

1
2,002 views
Saat saya menerima Sakramen Imamat dalam Misa Tahbisan Imam bersama Uskup Penahbis Mgr. Ignatius Suharyo Pr.

INILAH motto hidup saya: “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan.” (Filipi 4:4)

Sukacita di Dalam Keluarga

Beberapa tahun yang lalu, mama menceritakan kisah yang amat menarik bagiku. Kisah ini menarik, karena aku sendiri baru tahu setelah berumur 24 tahun.

Kisah singkatnya demikian, pada saat kunjungan Bapa Paus Yohanes Paulus II ke Jakarta pada tahun 1989, mama ikut merayakan misa di Gelora Bung Karno.

Ketika melihat perarakan para petugas liturgi, para imam dan Bapa Paus, mama berdoa dalam hatinya. “Ya Tuhan, apabila Engkau memberikan berkat seorang putra kepada keluarga kami, aku berdoa suatu hari agar aku melihat puteraku berarak seperti perarakan para imam yang mendampingi Bapa Paus.”

Itulah doa mama 30 tahun yang lalu. Beberapa bulan kemudian, mama mengandung diriku.  

Kini, aku aku semakin mengerti arti nama yang papa-mama berikan kepadaku. “SUBEKTI” – SU berarti sangat, lebih, selalu, paling, unggul, terbaik. BEKTI berarti berbakti, mengabdi. Berarti namaku berarti orang yang selalu berbakti, orang yang sangat mengabdi.

Mungkin papa-mama memberikan nama ini sebagai doa dan persembahan kepada Tuhan karena doanya sudah dikabulkan. Mereka juga memilih  nama baptis “ANDREAS”, yang adalah salah satu dari murid Yesus.

Papa-Mama, doakan selalu anakmu ini agar dapat menjadi murif Yesus yang selalu berbakti.

Menuju altar sebagai Diakon diantar oleh kedua orangtua, sejenak kemudian resmi menjadi imam usai menerima Sakramen Imamat.

Subekti kecil tumbuh besar di tengah keluarga yang sangat membahagiakan. Sebagai anak paling kecil dan laki-laki satu-satunya, papa, mama, dan kedua kakak sangat menyayangiku.

Sejak kecil, papa secara diam-diam selalu memberikan hadiah-hadiah yang tidak terduga. Aku ingat betul, suatu hari papa pernah membuatkan ring basket di depan rumah karena aku sering berlaga bermain basket tetapi tidak mempunyai ring.

Mama selalu memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk menentukan tindakan. Mama tidak pernah memaksaku untuk belajar, mandi, ataupun ikut berbagai kegiatan. Mama mendidik kami anak-anaknya untuk bertanggung jawab terhadap apa yang aku pilih dan lakukan.

Tentu tidak ketinggalan, kedua kakak perempuanku yang selalu menyayangi adiknya. Kakak pertama, Yovita Krisma Wuryaningtyas, selalu berusaha menjaga adik kecilnya ini.

Mengenakan jubah untuk misa.

Sementara kakak kedua, Lucia Dwi Estuningtyas, dengan caranya selalu memberikan tantangan kepada adiknya untuk semakin mengembangkan diri. Pernah suatu ketika, kami bertiga makan semangkuk mie rebus. Karena hanya semangkuk, kak Tyas hanya makan sedikit dan memberikan jatahnya kepada kedua adiknya.

Penumpangan tangan oleh Uskup Penahbis Mgr. Ignatius Suharyo menjadi penanda diterimanya Sakramen Imamat dalam Misa Tahbisan Imam ini.

Sementara, kak Lusi dan aku berebutan makan mie itu. Karena ribut, lalu papa keluar dari kamar dan memarahi kami. Kami sangat takut, karena seingatku itulah pertama dan terakhir kalinya hingga saat ini papa marah kepada kami.

Akhirnya, drama ini selesai ketika mama memasakan kami mie rebus lagi.

 Tentu banyak pengalaman yang kurasakan bersama keluarga. Pengalaman yang mengajariku hidup dalam sukacita, kebahagiaan, perselisihan, dan rasa syukur. Aku sungguh berterima kasih pada Tuhan karena boleh mengalami cinta Allah di dalam keluarga sederhana ini.

Di dalam keluarga inilah aku memulai seluruh perjalanan sukacita peng”abdi”anku pada Tuhan.    

Sukacita di Dalam Panggilan

Saat masih kecil, aku sering diajak main ke Biara OMI, Condong Catur, Yogyakarta.  Aku ingat kala itu senang sekali karena sering diberi buah-buahan oleh para frater. Papa juga sering kali mengajakku bermain ke pastoran untuk menghantarkan koran ataupun majalah untuk romo.

Pengalaman bertemu dengan para frater dan para romo yang baik-baik ternyata menumbuhkan keinginanku untuk menjadi seperti mereka. Ya, Bekti kecil ingin menjadi romo.  

Menerima jubah imamat dan orangtua menolong mengenakannya.

Ketika duduk di kelas tiga SD, aku diam-diam (malu kalau diketahui orang lain) sering bermain misa-misaan di teras rumah. Aku bergaya seperti romo yang sedang memimpin misa, bahkan lengkap dengan tata geraknya. Sampai suatu hari, aku bermimpi bahwa di rumah diadakan Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh tiga orang imam.

Seingatku bermimpi, di antara tiga romo itu, salah seorang adalah diriku. Perayaan ekaristi itu dilaksanakan sungguh dengan meriah. Akan tetapi aku tidak tahu acara apa yang dirayakan di rumah saat itu.

Kelas empat SD, aku mendaftarkan diri untuk menjadi seorang misdinar. Dalam gambaran masa kecilku, menjadi misdinar itu sungguh keren. Jubah yang menjuntai, bisa pegang-pegang piala, minum anggur di sakristi, dan duduk di dekat romo tampaknya begitu menarik bagiku. Akhirnya bersama kurang lebih 30 orang teman aku dilantik menjadi misdinar.  

Menerima seperangkat alat misa.

 Di kegiatan misdinar itulah aku mulai rajin pergi ke gereja dan sering berdoa. Selalu ada ajakan untuk pergi ke gereja dan ajakan untuk tugas di dalam misa. Aku pikir, roh apakah yang merasuki diri aku sehingga aku menjadi rajin begitu.

Sampai pada akhirnya, dari seluruh anggota misdinar yang mendaftarkan diri bersama aku, mengundurkan diri bahkan hilang entah kemana.

Di tengah situasi seperti itu, aku masih dengan semangat untuk menjadi putra altar walaupun teman-temanku hilang. Bahkan aku sering kali mengayuh sepeda dari rumah ke gereja hanya untuk rapat misdinar.

Pengurapan tangan oleh Uskup Penahbis.

Lalu, apa yang sebenarnya membuat aku tetap datang, tetap melayani ekaristi, tetap ikut berbagai kegiatan misdinar yang ada?  Tuhan inginkan apa dalam diri aku?

 Sukacita pelayanan sebagai seorang misdinar ternyata semakin menguatkan keinginan kecilku untuk menjadi Romo. Berbekal ketidaktahuan, aku pergi diboncengi motor oleh papa menuju ke Seminari Menengah Wacana Bhakti. Di sanalah, keinginanku menjadi romo bukan hanya sekedar mimpi.

Bersama ke 14 teman lain, aku memulai pendidikan calon imam di Seminari Menengah. Sejauh pengetahuanku, angkatan tahun 2006 ini adalah angkatan dengan jumlah seminaris paling sedikit sepanjang sejarah Wacana Bhakti.

Maka, kami memilih semboyan “Non Multa, Sed Multum” yang artinya “Bukan Jumlahnya, Tetapi Mutunya”.  

Motivasi menjadi imam semakin dimantabkan dengan pengalaman selama empat tahun di Wacana Bhakti dan Gonzaga. Melalui sahabat-sahabat angkatan WB, teman-teman Gonzaga, para Romo dan Frater pamong, dan para guru, aku merasakan cinta Tuhan yang sungguh luar biasa.

Didikan dan doa yang mereka lakukan semakin meyakinkanku untuk menjadi Man of God for Others, menjadi sarana/alat yang dimiliki Tuhan untuk melayani sesama. Kini masih 4 orang yang masih setia dalam panggilan, aku, Romo Vano, Romo Almo dan Saudara Eduard Salvatore da Silva OFM.   

 Lulus dari Wacana Bhakti, aku memutuskan untuk menjalani formasi sebagai calon imam Keuskupan Agung Jakarta. Penyertaan Roh Kudus ternyata tidak pernah berhenti dan mengalir terus menerus, setelah aku melamar ke Keuskupan Agung Jakarta, ternyata aku diterima untuk menjalani proses pendidikan calon imam.

Waktu itu sejujurnya aku menyadari banyak sekali kekurangan dan kelemahan yang aku miliki. Bahkan aku menganggap ada teman-teman lain yang sepertinya lebih layak. Berawal dari keragu-raguan terhadap diri, selanjutnya dengan rela dan rendah hati aku mulai menjalani formasi sebagai calon imam Keuskupan Agung Jakarta.

Kedua orangtua dan kedua kakakku.

Sukacita dalam Perutusan

 Kisah pertobatan Paulus menjadi penyemangatku untuk berjumpa dalam kasih Kristus. Mengapa engaku masih ragu-ragu? Bangunlah, berilah dirimu dibaptis dan dosa-dosamu disucikan (Kis 22:16).

Ayat itu menggambarkan bagaimana Saulus yang awalnya ragu akhirnya memberikan diri untuk menjadi seorang rasul. Paulus diteguhkan dengan kenyataan bahwa ia masih dipilih, diterima, dikasihi dan diperhatikan oleh Allah. Kisah Paulus ini juga semakin menyadarkanku akan kebesaran kahendak Tuhan Yesus yang masih mengasihi, memilih dengan mendidikku untuk menjadi alat-Nya di Gereja Keuskupan Agung Jakarta.

Masa-masa perutusan di mulai dari TOR Puruhita, Seminari St. Yohanes Paulus II, Cempaka Putih, Masa TOP di Bomomani, Papua dan diakhiri di Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan, Yogyakarta.

Selama sembilan tahun pendidikan di Seminari Tinggi, banyak hal yang aku dapatkan. Salah satu pengalaman pengutusan yang paling membahagiakan adalah ketika saat bertugas di Bomomani. Salah satu tugas yang tidak boleh terlewatkan setiap harinya adalah mengecek PLTA di Kali Mapiha.

Suatu kali, PLTA rusak dan kami memperbaikinya seharian penuh. Melelahkan? Pasti, tidak diragukan lagi. Namun, rasa lelah itu hilang ketika aku menyalakan tuas yang mengalirkan listrik ke rumah masyarakat. Lereng gunung yang tadinya gelap gulita, seketika itu juga menjadi terang karena lampu-lampu di setiap rumah sudah menyala. Bahagia tak terkira melihat pemandangan yang amat mengagungkan. Aku semakin yakin, bahwa aku diutus bukan untuk diriku sendiri, tetapi diutus untuk semakin melayani sesama.       

Pengalaman perjumpaan dengan teman frater, dengan para romo, dan umat di berbagai tempat telah memberikan kesannya masing-masing. Pengalaman senang dan sedih, suka dan duka, pengalaman berhasil dan gagal, pengalaman bangun dan jatuh menjadi pengalaman kasih Allah yang sungguh nyata dalam hidupku.

Allah membentuk diri aku sedemikian rupa dan dengan berbagai cara mempersiapkan diriku untuk menjadi sarana sukacita kasih-Nya bagi sesama.

Aku merasakan bahwa begitu besar kasih Allah kepada diriku. Perjalanan formasi menjadi seorang imam memberikanku kesadaran bahwa Allah selalu hadir dalam diriku yang lemah dan rapuh ini.

Kasih sukacita Tuhan mendorongku untuk dengan hati yang mantab mau melayani Tuhan dengan menjadi seorang imam. Aku berterima kasih kepada papa-mama, kedua kakak, para romo pendamping, dan seluruh umat yang dengan caranya masing-masing telah mendukung panggilan aku hingga saat ini.

Tahbisan menjadi rahmat Tuhan yang sungguh besar dalam diriku. Terima kasih, terima kasih, terima kasih.

Mohon doa dari anda semua. Mari kita selalu bersama tinggal dalam Tuhan agar senantiasa merasakan sukacita yang sejati. Amin.

1 COMMENT

  1. Luar biasa Romo Bekti. Dengan kesederhanaan kata perkata yg menyentuh,, mengalirkan sesuatu yg membasahi pipiku.
    Selamat melayani Romo,, semoga sll setia dgn panggilan perutusan utk menjadi Berkat bagi sesama.
    Pasti Romo nggak kenal saya,, tp saya kenal Mama, Papa Romo. Salam sehat Mo..
    Selamat berkarya,, Tuhan memberkati..

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here