KITAB Suci terkesan menampilkan kisah-kisah kegagalan. Manusia pertama, Adam dan Hawa ditempatkan di Taman Firdaus agar menikmati kebahagiaan bersama Tuhan. Tetapi, mereka malah memilih mengikuti bujukan setan.
Bangsa Israel yang berteriak-teriak di Mesir karena ditindas dibebaskan Tuhan. Tetapi mereka memberontak melawan Tuhan. Ingin kembali bernostalgia di Mesir. Mereka malah membuat patung lembu dan menyembahnya sebagai allah.
Kurang ajar bukan?
Tidak puas dipimpin oleh Tuhan, setelah nyaman di Tanah Terjanji, mereka meminta raja. Artinya, menolak Tuhan sebagai pemimpin mereka.
Mereka tidak menghargai Tuhan.
Masih banyak lagi kisah demikian. Bahkan di antara murid Yesus pun ada yang berkhianat terhadap gurunya.
Bukankah ini kegagalan besar?
Memang, penilaian terhadap berhasil atau gagal tidak bisa tergesa-gesa dilakukan. Bukankah Kerajaan Surga itu seumpama pukat yang dilabuhkan di laut, lalu mengumpulkan pelbagai jenis ikan (Mat 13: 47)?
Setelah ditarik ke pantai, orang mengumpulkan ikan yang baik; sedang yang buruk dibuang (Mat 13: 48). Itulah gambaran tentang penilaian di akhir zaman nanti (Mat 13: 49).
Selama masih dalam perjalanan di dunia ini, Tuhan selalu berusaha memperbaiki hidup manusia. Dia mengutus para nabi untuk menegur dan mengajar mereka.
Akhirnya, Dia mengutus Yesus untuk mengajak manusia bertobat dan kembali percaya kepada Tuhan.
Itulah yang Tuhan sabdakan dalam kitab nabi Yeremia.
Tukang periuk mengerjakan kembali bejana tanah liat yang sudah rusak (Yer 18: 4). Tuhan pun dapat melakukan yang sama terhadap manusia selama waktu masih tersedia.
“Masakan Aku tidak dapat bertindak kepada kamu seperti tukang periuk ini, hai kaum Israel.
Demikianlah firman TUHAN. Sungguh, seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di tangan-Ku, hai kaum Israel!” (Yer 18: 6).
Jadi, tidak benar bahwa Kitab Suci berisi kisah rangkaian kegagalan.
Kamis, 28 Juli 2022