PAK Mansur, begitu aku memanggilnya. Ia adalah seorang bapak tua yang sering kali kulihat terduduk di pinggir jalan sekitar Klender.
Dari raut wajahnya, aku menebak umur sekitar 70-an. Usia yang seharusnya sudah bisa beristirahat tenang di rumah bersama anak cucu.
Pak Mansur tidak pernah menggunakan alas kaki; baik itu sandal, apalagi sepatu. Ia selalu menenteng cangkul dan dua buah pengki yang terbuat dari anyaman bambu.
Aku menebak nebak pekerjaannya adalah menawarkan jasa serabutan. Entah itu jadi tukang kebun atau tukang gali kuburan. Atau bisa juga sekedar bersih bersih pekarangan.
Sering kali, saat aku melintas dengan motorku, aku melihat Pak Mansur duduk di pinggir jalan. Menunggu ada orang yang mau menggunakan jasanya.
Tapi zaman sekarang, pilot maskapai penerbangan terkenal saja banyak yang beralih jadi driver online. Apalagi tukang bersih bersih serabutan seperti Pak Mansur ini.
Beberapa kali, kalau aku sedang tidak terburu-buru, aku hentikan motorku untuk putar balik. Dengan uang seadanya di dalam dompetku, aku mencoba berbagi rezeki dengannya.
Wajahnya selalu sangat senang menyambut bantuanku, sambil dia berucap kepadaku: “Terima kasih Pak, semoga Bapak banyak rezekinya.”
Siang ini, saat aku melintas di Jalan Klender. Aku lihat Pak Mansur lagi seperti biasa.
Nah menjelang magrib saat aku pulang, aku masih melihat Pak Mansur masih terduduk dengan posisi yang sama.
Artinya, mungkin seharian tidak ada orang yang memperkerjakan dirinya.
Begitu sampai Samadi, cepat-cepat aku masuk ke ruang makan Romo Yust, dan kubuka kulkasnya.
Tapi sayangnya sore itu tidak ada makanan yang bisa aku bungkus. Beruntung ada Ibu-ubu dari Komunitas Santo Thomas yang setiap Rabu datang ke Samadi untuk rekaman Jendela Jiwa.
Mereka membawa siomay Bandung, banyak sekali. Aku izin untuk minta dua bungkus. Aku tambah lagi satu paket Yosinoya, jatah para pemain Opera Komedi Samadi yang latihan malam ini.
Setelah kubungkus rapi, aku minta Satpam Samadi untuk menyerahkannya kepada Pak Mansur. Sementara aku hanya melihat dari kejauhan.
Betapa senang raut wajahnya, aku lihat seperti biasa matanya basah oleh air mata. Dengan mulutnya yang bersyukur lagi lagi: “Semoga Bapak murah rezeki.”
Sebagai imam, aku sadar bahwa aku hanya jembatan kebaikan. Dan aku yakin, banyak umat beriman saat ini juga melakukan hal yang sama denganku ini.
Bagi kita mungkin tindakan itu sederhana dan tak berarti. Tapi sarat makna bagi mereka yang menerimanya.
Harikuku pun berlalu, sambil aku bergumam dalam hati membalas perkataan Pak Mansur tadi: “Amin Pak, doa Bapak juga berlaku buat orang orang yang sudah bermurah hati kepada kami para imam.”
Salam kasih
Seorang Pastor yang didoakan murah rezekinya ?