Kisah Agats Asmat: Teledor Jadi Rahmat (2)

0
3,547 views
Pesawat AMA (Associated Mission Aviation) jenis Pilatus berhasil tiba mendarat di 'lapangan terbang seadanya' beralasankan rumput dan sandaran baja di pedalaman Bandara Ewer. Pesawat capung tipe Pilatus buatan Swiss milik Associated Mission Aviation mendarat di Bandara Ewer tanggal 18 Juni 2013. (Mathias Hariyadi)

PERJALANAN tim kecil KBKK dari Jakarta ke Keuskupan Agats di Papua harus menempuh rute penerbangan sangat lama. Mulai dari Cengkareng menjelang tengah malam pukul 23.00 WIB, pesawat Airfast harus mendarat untuk stop-over di Bandara Sultan Hasanuddin Makassaretika jam sudah menunjukkan waktu dinihari. Setelah 30 menit kemudian, rombongan kecil KBKK ini harus melakukan  boarding lagi untuk rute penerbangan langsung Makassar menuju Timika di Papua.

Waktu tempuh penerbangan Makassar-Timika kurang lebih 2 jam 45 menit.

Rombongan kecil tim KBKK dalam misi ke Keuskupan Agats ini terdiri 4 orang: dr. Irene Setiadi, Lily Marcella, Hendra Kosasih, Mathias Hariyadi, dan Sr. Sylvia KFS.

Yang terakhir ini adalah Pemimpin (Suster Provinsial) Kongregasi Suster-suster Fransiskanes dari Sambas, Kalimantan Barat— biasa disebut dengan KFS.

Kisah tentang Agats Asmat: Saudara-saudara Baru di Pedalaman Keuskupan Agats (1)

Sebelum akhirnya bergabung dengan tim kecil KBKK ke Keuskupan Agats, Sr. Sylvia KFS terlebih dahulu meninggalkan Sambas untuk kemudian menempuh perjalanan darat selama kurang lebih 6 jam menuju Pontianak dan kemudian terbang ke Surabaya untuk urusan internal KFS.

“Sore hari,  saya baru tiba dari Surabaya dan kemudian menjelang malam, saya lalu bergabung dengan tim KBKK di Kelapa Gading dan akhirnya bertemu dengan semua anggota rombongan di Bandara Cengkareng,” kata suster biarawati KFS berdarah Dayak ini.

Rombongan kecil KBKK bersama Sr. Sylvia KFS tiba dengan selamat di Bandara Internasional Moses Kilangin di Timika, Papua. Kami berfoto bersama sebelum melanjutkan penerbangan pulang menuju Makassar dari bandara ini setelah menyelesaikan misi persiapan karya kerasulan dua suster KFS di Paroki Atsji. Perjalanan blusukan ke pedalaman Agats ini berlangsung sejak 21-27 Juni 2013. (Mathias Hariyadi)

Kami tiba dengan selamat di Bandara Internasional Moses Kilangin Timika kurang lebih pukul 08-an pagi WIT. Di luar dugaan,  Bapak Uskup Agats Mgr. Aloysius Murwito OFM sendiri yang berkenan menjemput kami di bandara ini.

Memanglah, kata beliau, pas kebetulan tengah ada acara khusus di Timika sehingga Mgr. Murwito OFM bisa berada di Timika. Itu terjadi, kata beliau,  setelah sebelumnya berlangsung rapat para uskup se-Regio Papua di Jayapura. Dari Jayapura inilah, Mgr. Aloysius Murwito datang ke Timika menjemput kami berlima.

Itu pula sebabnya, rencana perjalanan KBKK ke Agats yang sedianya dijadwalkan mulai tanggal 17 Juni digeser menjadi tanggal 21 Juni sampai dengan 26 Juni 2013.

Ternyata rombongan tim KBKK ke Keuskupan Agats ini berjumlah 5 orang.

Bapak Uskup pun terkaget-kaget, karena tidak pernah ada konfirmasi bahwa jumlah anggota tim KBKK sebanyak 5 orang. “Setahu saya sampai hari ini hanya 2 orang saja: dr. Irene Setiadi dan Suster Sylvia KFS,” kata Mgr. Murwito di areal lobi bandar pesawat-pesawat lokal di Timika.

Peng! Peninglah kepala semua orang, tak terkecuali tentu saja Mgr. Murwito karena beliau tahu, jadwal penerbangan pesawat ultra light Pilatus trayek Timika-Agats itu sangat-sangat terbatas.

Tidak hanya jadwalnya yang hanya 2 kali seminggu pada hari Selasa dan Jumat. Lebih dari itu, kapasitas kursi dalam pesawat juga sangat terbatas: hanya 7 seaters.

Jumlah kargo tidak boleh melebihi 800 kg.

Peraturan ini ketat dan tidak boleh dilanggar, karena risikonya jelas: salah-salah pesawat Pilatus buatan Swiss ini tak bisa mengudara karena kelebihan beban. Kalau pun akhirnya bisa terbang, bisa jadi tiba-tiba kehilangan power dan terjun bebas saking beratnya beban.

Teledor jadi rahmat

Uskup Agats Mgr. Aloysius Murwito sempat kecut hati mendengar jumlah rombongan KBKK ada 5 orang. Padahal, yang beliau tahu sesuai laporan hanya 2 orang. Usut punya usut, ternyata kontak dr. Irene Setiadi tentang jumlah penumpang dan beban logistic yang disampaikan ke Romo Joned Pr –Sekretaris Bapa Uskup—tiada balas.

Bapak Uskup di Bandara Ewer 3
Pesawat capung milik Associated Mission Aviation (AMA) jenis Pilatus berhasil mendarat dengan lancar di ‘bandara seadanya’ berupa lapangan berumput dan sebagian berlapis besi baja di kawasan pedalaman Ewer, Kabupaten Agats. Bagasi kami  dibongkar di sini untuk kemudian kami harus melanjutkan perjalanan menuju pusat kota dengan perahu motor membelah sungai nan luas mirip lautan. Tampak Mgr. Aloysius Murwito OFM bertopi  dan memegang gerobag di sebelah kanan. (Mathias Hariyadi)

“Dalam beberapa hari terakhir ini, Romo Joned bepergian ke pedalaman,” kata Mgr. Aloysius Murwito OFM.

“Susahnya lagi, hari-hari terakhir ini pula penerbangan jalur Timika-Agats selalu penuh karena musim liburan sekolah,” kata Monsinyur merespon kebingungan tim KBKK melihat “ketidakcocokan” antara ‘manifest’ dengan informasi yang diterima Bapa Uskup.

Dalam sekejap, Bapak Uskup lalu menyuruh tim menunggu sejenak di areal luar apron bandara khusus untuk penerbangan jarak pendek ini.

Beliau pergi ke konter AMA dan 10 kemudian dengan tersenyum lebar, beliau mengabarkan: “Masih ada tiga seat available untuk KBKK.”

Semua jadi plong rasanya.

Padahal sebelum berita gembira itu tersampaikan, kami bertiga –Lily, Hendra dan saya—sudah bermiat akan tinggal di Timika sampai bisa mendapat penerbangan berikutnya. “Biar dr. Irene dan Suster Sylvia yang harus berangkat ke Agats sesuai keperluan,” kata Lily.

Kalau saja skenario terburuk ini sampai terjadi, tentu saja hanya ada dua opsi yang bisa diambil. Yakni, naik kapal selama 10 jam dari Timika ke Agats atau harus menunggu jadwal penerbangan Pilatus berikutnya pada hari Jumat.

“Itu berarti perlu tiga hari lagi tinggal di Timika sebelum akhirnya bisa ke Agats,” tambah Lily.

Baca juga:  Education and health care, Franciscan nuns on a mission among the tribes of Papua

Teledor dalam pikiran manusia –kata dr. Irene Setiadi di apron luar bandara— tak jarang sering membuka mata kita akan datangnya sebuah rahmat tak terduga.

“Siapa mengira, hanya dalam tempo 10 menit tersedia bagi KBKK tiga seats available untuk penerbangan hari (Selasa) itu juga,” kata dia.

Alhasil, Selasa menjelang sore itu,  tim kecil KBKK berhasil mengudara meninggalkan Bandara Moses Kilangin Timika menuju Agats.

Jauh di bawah sana, seorang dokter PTT di RSU Agats terpaksa harus gigit jari, karena dia bisa terbang bersama kami.

Pesawat AMA di Bandara Ewer2
Dokter ini sudah punya tiket dan sudah tiga kali pula gagal berangkat. Alasannya sepele: membawa beban terlalu banyak dan ini tidak bisa ditolerir oleh AMA: mau berangkat orangnya atau barangnya? Dokter ini memilih harus berangkat kedua-keduanya dan itu tidak bisa. Akhirnya, seat dokter ini ‘diberikan’ kepada penumpang lain yang ternyata juga seorang dokter. (Mathias Hariyadi)

“Dokter yang berhasil terbang itu mestinya lebih mendesak kebutuhannya. Itu karena ia harus segera mengurusi pasien-pasien lepra yang sudah lama terabaikan,” kenang Lily yang bersama Hendra Kosasih sempat mengobrol banyak dengan dokter berdarah Toraja ini. (Bersambung)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here