INILAH kisah seorang Anak Manusia yang teramat dahsyat. Kisah Seorang yang mengubah sejarah manusia bukan dengan tinta emas namun dengan kucuran darah.
Waktunya hanya sepekan. Namun gaungnya sepanjang abad bangsa manusia. KisahNya membekas di relung hati terdalam tiap manusia peka. Walau maksud hati manusiawi ingin mengabaikan namun percikan adikodrati membuat manusia mengabadikan. Inilah Pekan Suci. Inilah pekan terakhir kehidupan di dunia seorang yang telah mengharu biru miliaran orang sepanjang zaman.
Ia menjadi kisah abadi. Ia dikenang. Tiap tahun orang mementaskan drama-Nya, merenungkan kata-kata-Nya, menonton film tentang penderitaan-Nya. Dan terutama Ia mengisi liturgi yang amat kaya simbol. Liturgi paling suci dalam sepanjang tahun liturgi.
Kisah-Nya bermula dengan menunggang keledai.
Apa istimewanya? Sebuah kelakar yang memperbesar rasa superior sang penguasa?
Herodes pasti memperolok-olok saat melihat Raja naik binatang bodoh itu. Pilatus masih ragu apa mungkin kerajaan terbangun dari daerah pinggiran Galilea. Orang sejaman-Nya tidak bangga tokoh yang diharapkan menggulingkan penjajah datang tanpa kuda dan senjata. Bahkan murid yang paling hebat pun belum mantap dengan ‘revolusi keledai’ itu. Namun keledai itu mendatangkan hamparan pakaian dan ribuan daum palem, daun kemenangan, kedamaian dan sukacita hosana.
Dia masuk kota suci bukan demi kudeta. Dia membuat pesta kenangan. Tapi kenangan itu terjadi dengan pembasuhan kaki. Dialah guru yang membasuh kaki murid-Nya. Perpisahan-Nya adalah perjamuan makan dengan sahabat dekat. Namun Dialah sahabat yang ditinggalkan, dibuang dan dikhianati.
Dan di malam itu Ia akhirnya diciduk tanpa dasar. Tanpa pengacara. Ia diambil saat berdoa. Ia dicium untuk selanjutnya dihancurkan.
Inilah kisah satu orang menghadapi kawanan. Inilah kisah satu orang menghadapi semua orang. Inilah kisah seorang yang berhasil menyekutukan para lawan, bersatu membuat jebakan. Kawanan pembenci memperoleh katarsis. Kawanan penguasa fatwa memperoleh kesempatan mempertontonkan kehebatan palsu. Kawanan oportunis memperoleh kesempatan menjual dan mencari untung sesaat. Kawanan perempuan menangis…. dan hanya menangis. Sabahat pergi, murid mencari aman, yang lain tercekik hukum untuk diam. Hanya ayam yang berkokok.
Dia diadili tanpa roh keadilan. Ia dipaksa memanggul salib agar orang lain ringan beban hidupnya. Ia menerima kesengsaraan agar yang lain merdeka. Ia mengurbankan diri-Nya agar manusia bebas dari belenggu dosa. Ia memberikan diriNya agar manusia lain memperoleh kehidupan dan kebahagiaan.
Di salib itu, kulihat, Dia menangis. Dominus flevit, Tuhan menangis.
- Dia menangis, bukan karena luka yang teramat banyak nan dalam. Bukan karna ludah penghinaan. Bukan karna siksa tanpa henti. Bukan karena tubuh hancur-Nya, runcing tombak, kasar dan olok-oloakan.
- Dia menangis bukan karena dibiarkan sendirian, bergelantung, kehausan, kepedihan. Dia menangis bukan karena harus berkurban dan mengalirkan darah.
- Dia menangis memandang orang yang dikasihi-Nya menolak percaya, menantang Kerajaan Kasih yang diwartakan-Nya.
- Dia nenangis memandang yang dikasihinya beku dalam kebenaran manusiawinya sendiri. Dia menangis karena belarasa dan iman pada Allah tak bertumbuh.
- Dia menangis karena melihat yang dicintaiNya bergeming dari dosa. Yang dikasihiNya berkubang dalam kesombongan. Yang dilindungiNya lepas kendali dalam kehinaan. Yang didampingi-Nya menusuk hatiNya dengan kecintaan duniawi.
- Dia menangis melihat pemimpin agama dan pengkhianat Tuhan terus tertawa melihat nabi-nabi jaman dibuang, diinjak, dipenjara, dan disalibkan.
- Dia menangis melihat kenisah suci, agama menjadi tempat jualan mengeruk untung.Dia menangis melihat imam hidup dari panggilan, ahli taurat dan hukum memberati khalayak dg.fatwa dan kanon. Dia menangis melihat kekerasan demi pembunuhan memenuhi relung peradaban.
- Dia menangis melihat bumi terinjak dan teraniaya oleh roh ketamakan, bumi disakiti demi pemuasan foya-foya keuntungan.
- Dia menangis melihat sahabat menusuk sabahat, murid membunuh guru, pejabat asyik menilep uang negara, aparat sibuk menelan tanah orang miskin, tukang pajak berlomba mengantongi pajak dari rakyat.
- Dia menangis memandang pemimpin bangsa sibuk bicara kebenaran namun membungkam keadilan dan abai pd suara nurani murni rakyat tertindas.
- Dia menangis memandang rakyat yang menangisi ketidakadilan namun diam dalam ketakutan.
Akhirnya Dia mati. Biji gandum itu jatuh. Darah kurban termulia itu mengalir agar manusia lain hidup. Dia telah menulis sejarah bukan dengan tinta emas namun dengan darah pengurbanan. Dia menorehkan sejarah manusia bukan hanya dengan ajaran yang memukau namun dengan kematian yang membebaskan kehidupan.
Dia yang datang untuk mati, kini Dia akan datang untuk hidup. Dia yang lahir dari rahim bunda, kini Dia masuk ke haribaan pertiwi. Kisah sehebat ini ternyata belum berakhir….. (JB.easter.18)