“Ko sa pu orangtua ka?”

0
1,282 views

Tiga anak kecil berlalu dari tumpukan sampah dedaunan ketapang dan potongan bambuyang  masih mengepulkan sisa-sisa asap pembakaran pada tengah hari yang terik. Mereka  membawa karung plastik berisi kaleng.

Aku melihatnya dari kejauhan, dari depan pintu kamarku yang sunyi. Aku tidak melihatnya kala mereka datang. Tangan mungil itu mengais-ngais kaleng bekas. Ketika mendapatkan, mereka menjejaknya kuat-kuat sehingga kaleng itu pipih.

Tiga anak kecil itu Papua, dengan tubuh yang belum tumbuh sempurna. Mereka masih sangat pantas untuk beria-ria di sekolah dasar, di kelas 1 atau 2. Mestinya, batinku, mereka masih belajar membaca dan berhitung.

Kemana mereka berlalu?

Ketika kembali ke sekolah, aku mendapati tiga anak kecil itu berteduh di kerindangan pepohonan di belakang kapela yang megah, di bawah  pelepah kelapa berayun-ayun oleh tiupan angin. Tangan mungil mereka memegang kaleng lem kecil  dan satu demi satu menghirupnya. Tampak mereka bak orang dewasa.

Aku tertegun. “Hendakkah aku menegur mereka?” Mereka tidak hirau akan aku yang berdiri dua meter dari mereka. Aku ragu.

Tiga anak kecil itu tiba-tiba berubah menjadi dewasa. Salah satu menghardikku sekaligus menggugat. Lebih tepat, mereka mengenali siapa aku bagi mereka. “Ko sa pu orangtua ka?” (red: engkau sudah punya orangtua kah?)

Lalu, aku menyadari, “Aku adalah orang asing.” I am a perfect stranger.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here