KODE etik harusnya tidak hanya mengatur relasi internal, walaupun itu yang utama.
Kode etik yang lengkap juga memuat pedoman umum hubungan dengan pelanggan, hubungan dengan pemegang saham (kalau ada), hubungan dengan pemasok, hubungan dengan konsumen, hubungan dengan pemerintah, dan hubungan dengan masyarakat.
Seluruh jajaran manajemen dan karyawan tentu diharapkan sudah membaca dan memahami Kode Etik sebagai acuan dalam melakukan perbuatan yang dapat diterima. Dan jelas tidak melakukan perbuatan yang tidak dapat diterima.
Dengan sosialisasi kode etik yang terus menerus ke seluruh elemen organisasi, diharapkan karyawan dapat lebih memahami cara bertindak alias sudah internalisasi kode etiknya.
Baru Satu Tahapan Saja
Kode etik merupakan pedoman tingkah laku atau aturan yang harus diikuti dan ditaati oleh anggota suatu lembaga, baik itu perusahaan, organisasi sosial, komunitas, maupun kelompok formal dan nonformal.
Banyak lembaga menginvestasikan waktu dan dana yang signifikan dalam menyusun kode etik. Namun, sering kali upaya ini berhenti ketika kode etik selesai disusun, seolah itu adalah puncak pencapaian. Padahal, itu baru satu tahapan awal.
Menurut penelitian Treviño, Weaver, dan Reynolds (2006), keberhasilan implementasi kode etik tidak hanya bergantung pada keberadaannya tetapi juga pada bagaimana kode tersebut disosialisasikan dan diterapkan dalam budaya organisasi. Oleh karena itu, kode etik bukan sekadar dokumen tertulis tetapi harus dihayati dan dijalankan oleh seluruh anggota lembaga.
Tampilkan Kode Etik dalam Beragam Bentuk dan Metode
Penelitian Felps et al. (2011) menunjukkan bahwa efektivitas kode etik meningkat ketika disampaikan dalam berbagai format, mengingat bahwa individu memiliki gaya belajar yang berbeda:
- Visual: Lebih cepat memahami melalui gambar atau diagram.
- Auditory: Lebih senang mendengar dan berdiskusi.
- Reading/Writing: Memahami lebih baik melalui teks tertulis.
- Kinesthetic: Lebih memahami dengan praktik langsung.
Oleh karena itu, kode etik dapat disajikan dalam bentuk buku, audio, video, poster, gambar, atau bahkan melalui permainan interaktif untuk meningkatkan pemahaman dan keterlibatan anggota lembaga.
Pentingnya Pengulangan dan Konsistensi
Agar kode etik benar-benar menjadi bagian dari budaya organisasi, pengulangannya sangat penting.
Studi yang dilakukan oleh Weaver dan Treviño (1999) menemukan bahwa kode etik yang diulang dan diperkuat melalui pelatihan serta komunikasi reguler lebih mungkin diinternalisasi oleh karyawan. Oleh karena itu, penerapan kode etik harus dilakukan secara berulang dan konsisten melalui berbagai cara seperti pelatihan berkala, pengingat dalam komunikasi resmi, dan diskusi terbuka.
Bahasa yang Sederhana dan Mudah Diingat
Agar efektif, kode etik harus menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah diingat. Penelitian Kaptein (2015) menunjukkan bahwa kode etik yang terlalu panjang atau rumit cenderung diabaikan oleh anggota organisasi.
Salah satu cara untuk membuat kode etik lebih mudah diingat adalah dengan menggunakan “jembatan keledai” atau akronim sederhana yang mencerminkan nilai utama kode etik. Contoh yang terkenal adalah “MEJIKUHIBINIU” untuk mengingat warna pelangi.
Format yang Interaktif dan Menarik
Selain buku manual, metode lain yang dapat meningkatkan efektivitas kode etik antara lain:
- Kursus online dengan sistem sertifikasi.
- Fitur interaktif tanya jawab di website lembaga.
- Kuiz dan permainan dalam acara internal untuk meningkatkan pemahaman.
Studi dari Lytle et al. (2018) menunjukkan bahwa pendekatan berbasis game dapat meningkatkan keterlibatan karyawan dalam memahami dan menerapkan kode etik.
Peran Pemimpin dalam Implementasi Kode Etik
Dukungan dari pimpinan sangat menentukan efektivitas kode etik. Treviño et al. (1998) menekankan bahwa pemimpin yang secara aktif mendukung dan menegakkan kode etik akan menciptakan budaya organisasi yang lebih etis. Tanpa dukungan nyata dari pimpinan, kode etik sulit untuk diterapkan, terutama dalam menangani pelanggaran.
Kode Etik yang Dapat Diakses dan Diperbarui
Kode etik harus mudah diakses oleh seluruh anggota organisasi. Penelitian Hess dan Broughton (2014) menunjukkan bahwa aksesibilitas kode etik meningkatkan kemungkinan anggota organisasi untuk mengacu dan mematuhi aturan yang telah ditetapkan. Selain itu, kode etik harus ditinjau ulang secara berkala agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Proses peninjauan harus melibatkan seluruh anggota organisasi untuk memastikan bahwa kode etik tetap efektif dan dapat diterapkan dalam kondisi yang berubah, seperti yang terjadi selama pandemi COVID-19.
Kode Etik tidak sekedar dokumen
Penerapan kode etik bukan sekadar menyusun dokumen, tetapi juga memastikan bahwa kode tersebut diinternalisasi dan dijalankan dalam budaya organisasi. Tahapan implementasi mencakup penyusunan, pengenalan, pembelajaran, pengulangan, pelaksanaan, dan evaluasi berkala. Dengan pendekatan yang tepat dan berdasarkan temuan ilmiah, kode etik tidak hanya menjadi sekadar dokumen tetapi benar-benar membentuk perilaku dan nilai-nilai dalam organisasi.