PADA tanggal 8 Januari 2018, sebuah kabar mengejutkan datang. Namaku termasuk dalam 100 besar Lomba Cipta Puisi se-ASEAN yang diselenggarakan Dewan Mahasiswa (Dema) FTIK IAIN Purwokerto.
Kabar itu mengejutkan, bukan karena angka 100 besar se-ASEAN. Namun, karena aku berhasil mematahkan ketakutan seorang kawan. Ia bernama Martin Edison asal Kupang. “Kita yang Kristiani, mana mungkin menang? Berhasil masuk 100 besar saja bisa-bisa dunia kebalik,” katanya.
Maklum penyelenggara lomba itu adalah kampus berbasis agama. Pertayaan gugatan itu menguat, karena aku dan beberapa kawan Kristiani juga pernah mengikuti ajang serupa setahun sebelumnya. Dan ternyata kami gagal masuk posisi 100 besar.
Salah keyakinan
Aku sejak awal membantah kesan peyoratif semacam itu. Keyakinanku, sastra akan menjadi pemersatu, bisa menghilangkan jurang perbedaan kelompok sosial berbasis agama.
Manusialah yang selalu merasa berbeda dan bahkan saling membeda-bedakan. Keyakinanku itu benar. Tidak ada perbedaan dalam sastra. Semua orang dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.
Martin, kawanku yang selalu berapi-api itu, akhirnya mengangkat dua jempolnya. Bukan karena keberhasilanku, tapi keyakinan pada sastra yang tak akan membeda-bedakan manusia.
“Kamu benar sobat. Selamat ya, kamu sudah masuk 100 besar. Tapi, untung saja, dunia tidak kebalik,” ucap Martin mengingat kembali kata-katanya dulu.
Komsos Keuskupan Banjarmasin: 28 Tahun ‘Hilang’, Bertemu di Wisma Keuskupan (2)