SUATU sore, di sela-sela acara Konferensi IPEV (International Panel on Exiting Violence) di Beirut, Libanon, saya memutuskan mengambil waktu sejenak untuk bisa datang mengujungi makam dan nyekar Pater Hans-Peter Kolvenbach SJ.
Almarhum lahir di Druten Negeri Belanda 30 September 1928, Druten, dan meninggal dunia di Beirut tanggal 26 November 2016.
Semasa masih menjadi dosen di Institut Oriental Kepausan di Beirut, almarhum adalah profesor ahli linguistik. Baru sesudahnya, beliau terpilih menjadi Vice Provinsial Provinsi SJ Libanon dan kemudian menjadi Superior General alias Pater Jendral Ordo Serikat Jesus selama kurun waktu 1983-1995.
Almarhum adalah sosok Pater Jenderal SJ yang dicintai para Jesuit.
Letak makam itu berada di dalam kompleks kampus universitas Jesuit. Namanya Collegé Notre Dame de Jamhour.
Saya datang ke sana dan ternyata lokasi itu sedang dijaga ketat oleh puluhan tentara Libanon berseragam dan bersenjata lengkap. Ada juga truk-truk dan mobil militer.
Penulis bersama dua teman dosen AS ingin bisa masuk kompleks makam. Namun sejenak, kami dicegat dan dilarang masuk oleh pasukan militer yang mengitari kompleks tersebut. “Lain kali saja, kalau mau ke sini,” begitu kata mereka.
Suasana di situ waktu itu memang tegang. Tapi, mau kapan lagi, kalau bukan waktu yang paling pas itu?
Masalahnya kapan lagi penulis bisa datang mengunjungi Libanon dengan promosi dari panitia. Karena itu, penulis tidak mau menyerah atas cegatan tentara tersebut dan terus negosiasi sambil berdoa dalam hati.
Nyekar “Jenderal”
Tentara boleh berkuasa, tetapi Tuhan lebih berkuasa lagi. Demikian pikir penulis.
“Saya mau nyekar Pater Jenderal Kolvenbach,” begitu kata penulis kepada serombongan tentara itu.
Mendengar kata “Jenderal”, tampaknya tentara itu mulai mikir-mikir.
Setelah berdiskusi antara mereka dan melakuan perbincangan telepon dengan entah siapa –bisa jadi dengan komandan sektor– akhirnya … puji Tuhan, para tentara itu lalu mengizinkan kami masuk.
Namun demikian, karena negosiasi terlalu lama dan dua teman AS itu masih ada acara lain lagi, maka setelah sampai di kompleks kampus itu, mereka minta pulang duluan dengan mobil yang tadi kami tumpangi.
Saya pun ditinggal sendirian.
Makam Pater Kolvenbach itu sendiri tampak begitu sederhana. Beliau dimakamkan di sebuah petak pemakaman bersama sekitar 40-an Jesuit lain di tanah sanat kering dan berdebu, di antara pohon-pohon akasia.
Di lokasi itu ada rumput, tetapi tidak banyak dan hampir semuanya kering.
Dalam hal ini, makam para Jesuit di Kompleks Novisiat SJ Girisonta atau Kerkop Muntilan ternyata jauh bagus dan mewah. Makam Pater Kolvenbach sekian kali jauh lebih sederhana.
Presiden Michel Aoun
Syukurlah, di situ ada petugas keamanan yang baik dan seorang tentara yang juga baik hati.
Mereka malah bersedia mengantar saya ke makam sehingga saya bisa sowan dan berdoa di samping makam Pater Kolvenbach dengan relatif tenang, tapi tetap diawasi oleh tentara tersebut lengkap dengan senjatanya.
Saya sempat berttanya, kenapa kampus kok dijaga tentara begini ketat. Ternyata, pada hari itu dan di universitas tersebut tengah ada acara wisuda. Presiden Libanon Jenderal (Purn.) Michel Aoun juga akan hadir.
“Oo…,” kata penulis yang langsung ingat bahwa di Libanon pembunuhan terhadap pemimpin politik bukan merupakan hal baru.
Setelah saya selesai nyekar dan kemudian meninggalkan makam, para tentara itu malah membantu saya memesankan taksi ke lokasi konferensi. Saya lalu diminta menunggu taksi di pos satpam.
Seorang tentara dengan bedil laras panjang hadir tetap mengawasi. Ia ada di samping saya tengah duduk. Saya pura-pura tenang, sembari nonton TV.
Tak lama kemudian taksi datang. Dan sopirnya sangat baik. Semula, ia tampil layaknya orang menyeramkan, tapi ternyata suka humor.
Sepanjang jalan kami ketawa berdua. Kata dia, “Lah Presiden Libanon datang ke sini, kok lupa ngabari saya.”
Keesokan harinya dua teman dosen dari AS itu cerita, waktu mereka balik ke pos keamanan di depan kampus, para tentara sempat bertanya: Kemana itu temanmu tadi?
Mereka lalu memberi penjelasan serius bahwa mereka berdua harus segera pulang duluan, karena ada acara lain.
Salah seorang tentara konon lalu nyeletuk: “O ya sudah…. Saya kira, begitu sampai di makam, temanmu itu tadi memutuskan untuk ikut meninggal dan kemudian nyemplung ke makam,” kata teman saya menirukan omongan tentara.
Wah, ternyata tentara Libanon boleh juga citarasa humornya. Orang serius mau nyekar sambil gemetaran, kokk malah dikira meniru kisah Sampek-Engtai atau Romeo-Juliet.
Dalam hidup pelayanan maupun dalam kematiannya, almarhum Pater Kolvenbach telah meninggalkan kepada kita contoh kesederhanaan yang sangat mendalam dan menginspirasi. Terima kasih Pater Jendral Kolvenbach.