KONFERENSI Gereja-gereja Seluruh Afrika mengapresiasi berlakunya Perjanjian tentang Proliferasi Senjata Nuklir (TPNW) baru-baru ini dan menyebutnya sebagai inspirasi lebih lanjut untuk bekerja demi dunia bebas senjata nuklir.
Perjanjian pertama tentang Proliferasi Senjata Nuklir (TPNW) mulai berlaku pada 22 Januari 2021 setelah berlangsung negosiasi bertahun-tahun. Perjanjian tersebut disambut baik oleh banyak orang sebagai langkah untuk membersihkan dunia dari senjata nuklir. Lalu ditandatangani empat tahun, setelah diterima PBB pada tahun 2017.
Menyambut perkembangan baru-baru ini, Konferensi Gereja-gereja Seluruh Afrika (AACC), dalam sebuah pernyataan hari Selasa (26/01/2021) menyatakan dukungannya bersama dengan komunitas ekumenis lainnya untuk traktat perjanjian yang sekarang menjadi hukum internasional.
Badan ekumenis mengatakan bahwa perjanjian itu “mengantar pada peluang-peluang untuk menggembar-gemborkan dunia baru yang bebas dari ancaman dan ketegangan yang telah ditandai dengan pertempuran untuk mengembangkan dan mempertahankan senjata nuklir.”
Tidak ada tangan yang aman untuk senjata nuklir
Dalam pernyataan Selasa, AACC menyatakan keyakinannya “bahwa ancaman kepemilikan dan potensi penggunaan senjata nuklir adalah tidak bermoral.”
Mereka menambahi bahwa pihaknya menantikan hari “ketika dunia akan dibebaskan dari senjata-senjata ini secara permanen.”
“Tidak ada tangan yang aman untuk senjata ini,” tambah AACC.
“Ledakan senjata nuklir yang tidak disengaja atau disengaja akan menyebabkan kerusakan parah, tahan lama, dan luas pada semua aspek kehidupan kita dan lingkungan kita di seluruh dunia.”
Pada saat yang sama, teknologi ini adalah “bagian dari struktur dan sistem yang menyebabkan penderitaan dan kehancuran hebat” dan telah menjadi penyebab “ketegangan besar dan ancaman kehancuran yang meluas”.
TPNW: inspirasi untuk dunia bebas senjata nuklir
Setelah berlakunya perjanjian, AACC mengatakan bahwa pada saat dunia sangat membutuhkan harapan baru, TPNW menginspirasi kita untuk bekerja untuk sepenuhnya menghilangkan “ancaman senjata nuklir, dan untuk menciptakan kondisi untuk perdamaian, keadilan. dan kesejahteraan.”
AACC juga menunjukkan bahwa perjanjian itu membahas dampak senjata nuklir yang tidak proporsional terhadap perempuan dan masyarakat adat, serta “pentingnya bantuan korban dan penyembuhan kerusakan lingkungan dengan cara yang inovatif.”
Mengutip contoh dari kota bernama Hibakusha yang selamat dari dua serangan nuklir yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada akhir Perang Dunia II – AACC mencatat bahwa keberanian dan ketekunan mereka berfungsi sebagai “inspirasi, pedoman, dan dasar moral” dalam pencarian dunia tanpa senjata nuklir.
Menyoroti bahwa tidak satu pun dari sembilan kekuatan nuklir global, dan banyak negara dengan pakta pertahanan dengan mereka telah menandatangani atau meratifikasi perjanjian tersebut, AACC menunjukkan bahwa banyak pekerjaan yang masih harus dilakukan. Pada saat berlakunya, TPNW ditandatangani oleh 86 negara dan diratifikasi oleh 51 negara.
Dalam hal ini, AACC mengimbau komunitas ekumenis global untuk memberikan kontribusinya, dengan cara apa pun yang memungkinkan untuk berpartisipasi dalam karya global untuk perdamaian, keadilan dan penghormatan terhadap kehidupan.
Secara konkret, badan ekumenis mendesak semua negara untuk menandatangani dan meratifikasi TPNW, serta bergabung dengan pertemuan pertama negara-negara yang terlibat di dalamnya sebagaimana telah dijadwalkan akan berlangsung tahun depan.
AACC selanjutnya menyerukan tindakan tegas “untuk memperkuat kekuatan TPNW saat mulai berlaku, dan bekerja untuk perdamaian, kerja sama, dan keamanan bersama.”
“Kita tidak boleh putus asa dengan langkah lambat, tetapi menjadi lebih bertekad untuk mendorong dunia yang lebih baik,” kata AACC.
“Ini adalah bagian dari misi kami dan kami tahu Tuhan ada di pihak kami.”
AACC
Didirikan di Kampala, Uganda, pada tahun 1963, AACC adalah asosiasi ekumenis yang saat ini memiliki 173 gereja anggota yang hadir di 40 negara Afrika.
IAa mewakili lebih dari 120 juta orang Kristen di benua itu. Kantor pusatnya berada di Nairobi, Kenya.
PS: Ditulis oleh Benedict Mayaki SJ di Vatican News.