Kongregasi Bruder Maria tak Bernoda (MTB), Inilah Wajah Pelayanan Misionernya (1)  

0
1,359 views
Foto dokumentasi para bruder MTB pertama di Singkawang koleksi Museum MTB Singkawang. (Mathias Hariyadi)

Pengantar Redaksi

DALAM rangka menyambut kehadiran para bruder misionaris MTB di Singkawang 11 Maret 1921,  Dewan Pembinaan Kongregasi MTB  melakukan kegiatan  rekoleksi gabungan komunitas selama tiga kali di tahun 2018 di luar rekoleksi mandiri komunitas. 

Tema kali ini adalah menengok dimensi misioner Bruder MTB  yang dipandu langsung oleh penulis. 

Untuk wilayah Yogyakarta, peserta rekoleksinya adalah gabungan para  postulan, novis, yunior, medior, dan senior.   

Selama dua hari, para peserta bergumul dan berrefleksi untuk  melihat kembali sejarah panggilan hidup sebagai bruder MTB dengan berkiblat pada panggilan bruder misionaris dari Huijbergen, tepatnya di Belanda Selatan. 

Bahan rekoleksinya disusun oleh Bruder Petrus Handoko MTB. 

Kongregasi Bruder MTB  akan genap merayakan 100 tahun berkarya di Indonesia; tepatnya pada 11 Maret  2021. 

Berdirinya Kongregasi MTB di Belanda

Mari kita menengok kembali situasi Negeri Belanda pada tahun 1.800-an. Keadaannya saaat itu sangat menyedihkan.

Itu terjadi, karena dampak Perang Belanda-Belgia, lalu juga ada bencana alam berupa gagal panen dan wabah penyakit kolera. Tentu saja, harus  juga disebut adanya tekanan dari pemerintah yang didominasi kelompok Protestan.

Semuanya ini menimbulkan kegoncangan sosial dan penderitaan di masyarakat.  Banyak orang tua meninggal dan itu menyebabkan banyak anak menjadi yatim, piatu; kurangnya sarana hidup menimbulkan banyak pengangguran, merosotnya pendidikan dan perkembangan anak terganggu. Penghayatan nilai-nilai keagamaan dan kehidupan sosial merosot.

Pada waktu itu,  ada sekitar 30-an ribu anak yatim piatu. Keadaan yang menyedihkan seperti ini bukannya tidak ada upaya untuk memperbaikinya.

Di Keuskupan Breda, Belanda, pada waktu itu, sudah ada yayasan sosial yang berusaha memberi  perhatian pada anak yatim piatu.

Namun kemampuan yang ada itu tidak sebanding dengan tuntutan nyata. Situasi seperti itu  -mengutip penyair Kahlil Gibran- mirip seolah-olah Tuhan tidak lagi ada lagi mau ‘bicara’ dengan manusia. Ia tidak menampakkan senyum-Nya kepada dunia, seolah-olah Negeri Kincir Angin tersebut sedang mengalami kegelisahan di padang kemiskinan iman akan Allah.

Foto sosok Mgr. J. van Hooydonk, Uskup Keuskupan Breda di Negeri Belanda yang memprakarsai berdirinya Kongregasi MTB. (Koleksi Museum MTB Singkawang/Mathias Hariyadi)

Melihat latar belakang kebutuhan di masyarakat dan kepekaan hatinya terhadap penderitaan umat tersebut, Mgr. Van Hooydonk mulai menata kembali Biara Wilhelmit  untuk rumah perawatan dan pendidikan bagi anak yatim piatu. Untuk sementara waktu, semua urusan tentang hal ini dipercayakan kepada Bruder CSA.

Di kemudian hari, ada tiga pemuda yaitu Petrus Kerremans, Yohans Broumels dan Henri Claeren berniat mengabdikan diri pada pendidikan anak-anak, khususnya yang miskin dan yatim. Mereka tidak sekedar mencari tempat bekerja,  tetapi ingin membaktikan seluruh hidupnya. Semua ini  menjadi cikal-bakal terbentuknya Kongregasi Bruder Huijbergen yang di Indonesia lalu dikenal sebagai Bruder Maria Tak Bernoda (MTB).

Sebagai pokok kehidupan ialah menaruh perhatian pada pekerjaan demi kemuliaan Allah dan kebahagian orang lain; bukan untuk diri sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari,  mereka wajib melatih diri akan keutamaan Kristiani yakni hidup atas dasar semangat kemiskinan, ketaatan, kemurnian dan pembaktian diri. Mereka menyerahkan diri dalam persekutuan hidup  yang ditandai dengan kasih, amal dan ketabahan dalam penderitaan dan kesediaan untuk mengabdi.

Dan mereka menyediakan diri menjadi instrumen agar Allah dapat dekat dan berbicara kepada umat-Nya.

Bruderan MTB di Singkawang pada tahun 1921 koleksi Museum MTB Singkawang. (Mathias Hariyadi)

Mengembangkan sayap ke Singkawang

Kemauan menjadi misionaris itu  muncul, ketika Uskup Pontianak waktu itu Mgr. Pasificus Bos resmi meminta kesediaan para Bruder Huijbergen mau menangani sekolah St. Dyonisus Singkawang. Ketika itu, sekolahan yang akan diambil Pemerintah Kolonial Belanda  di tahun 1920.

Selain itu, karya misi di luar Belanda juga sudah menjadi sangat populer di Gereja Katolik di Belanda.

Semangat bermisi itu didasari cinta kasih yang mau mengembangkan solidaritas kepada umat beriman. Tambahan pula,  pada waktu itu kondisi finansial Kongregasi dirasa mampu untuk memberi jaminan misionaris di luar Belanda.

Duc in altum, bertolaklah ke tempat yang lebih dalam (jauh).

Kelima bruder lalu itu meninggalkan Belanda ke “Tanah Misi”. Mereka berani meninggalkan zona nyaman hidup, tanah kelahiran, sanak saudara dan famili, meninggalkan tradisi budaya, pola hidup yang sudah mapan dan telah memberi jaminan  hidup aman dan nyaman.

Kelima bruder MTB misionaris awal yang tiba di Singkawang, Kalbar. Foto koleksi Museum MTB. (Mathias Hariyadi)
Hollandsche Chinese School St. Dionysius Singkawang tahun 1923 koleksi Museum MTB. (Mathias Hariyadi)
Para Bruder MTB menghadiri acara di Keraton Pontianak era tempo doeloe tahun 1934, koleksi foto dokumenter Museum MTB. (Mathias Hariyadi)

Mereka berani pergi  ke Singkawang, sebuah tanah asing di mana hidup orang-orang yang tidak dikenal, perbedaan cara hidup, fasilitas yang jauh dari kurang, daerah banyak tantangan dan ancaman. 

Museum MTB Singkawang, Saksi Sejarah Misi Para Bruder Maria Tak Bernoda di Kalbar

Pernah dengar, tapi tak pernah alami

Ketika baru tiba di Singkawang, mereka betul-betul mulai dengan kehidupan baru di titik nol; iklim, orang, makanan bahkan penyakit dsb. Mungkin semuanya itu pernah mereka dengar,  tetapi belum pernah dialami. Mereka berani mengakhiri hidup di  zona nyaman dan memulai hidup baru dengan segala kesulitan dan tantangan.

Life begins at the end of the comfort zone. 

Sebagai misionaris, mereka ingin berbagi kebahagiaan, menjadi mediator bagi Allah yang berbicara kepada umat-Nya. Dengan menjadi misionaris, mereka mengungkapkan passion for Jesus is  the passion for the people – kalau kita ada hati kepada Yesus, tentunya ada hati pula kepada orang-orang. Mereja juga mau membuktikan bahwa penyelamatan Kristus di dalam Gereja itu tidak berhenti pada diri sendiri dan  tidak di satu tempat, tetapi juga kepada orang lain dengan aneka situasi dan kondisinya.

 

Sampai di Singkawang mereka langsung menangani karya asrama dan sekolah.

Perpisahan dengan Br. Canisius di Hoi Sen Pontianak tahun 1960, foto dokumenter koleksi Museum MTB Singkawang. (Mathias Hariyadi)
Foto dokumenter tentang Bruderan MTB pertama di Pontianak tahun 1924 koleksi Museum MTB. (Mathias Hariyadii)

Maka lalu muncul pertanyaan-pertanyan seperti ini:

  • Apa artinya semboyan “menyebarkan pengetahuan dan menebarkan iman” dalam hidup kita sekarang ini (sekolah, asrama, komunitas,dsb)?
  • Apa konsekuensi bagi kita, setelah merenungkan hidup dan karya bruder misionaris (pembinaan, hidup dan karya dan kepemimpinan)?
  • “Tidak perlu kita menganut cita-cita yang tertuang dalam hidup dan karya Bruder Misionaris, jika kita sekedar menghargai dan mengagumi prestasinya yang luar biasa” (Gubakata-kata Karen Armstrong).

Refleksi teologis Paus Fransiskus

Menghayati panggilan hidup menjadi bruder dalam Gereja itu mengandung tiga dimensi:

  • Gereja sebagai persekutuan umat beriman.
  • Umat yang dipilih.
  • Memancarkan kekayaan panggilan khusus.

Pusat ketiga dimensi ialah ‘persaudaraan’.  Hal itu merupakan karunia yang diterima, dibagikan (persekutuan) dan diberikan (misi).

Sebagai seorang bruder di tengah-tengah Gereja, maka ia menjadi bagian persekutuan umat dan milik umat Allah; yang ikut berpartisipasi sebagai tanda kenabian Kristus.

 

Bruder Greg MTB, alumnus Seminari Mertoyudan tahun 1976, yang menjadi pencetus berdirinya Museum MTB Singkawang. Bruder asal Paroki Blok B Kebayoran Baru Jakarta ini sekarang menjadi kurator utama Museum MTB di Singkawang. (Mathias Hariyadi)
Bruder Greg MTB, pemrakarsa berdirinya Museum MTB. Semasa muda, alumnus Seminari Mertoyudan tahun 1976 ini aktif ‘bergerilya’ masuk ke hutan-hutan di pedalaman untuk pelayanan pastoral. Kini, bruder yang berasal dari Paroki Blok B Jakarta ini mengurus Museum MTB di Singkawang. (Mathias Hariyadi)

Karena itu, persekutuan bruder  yang didirikan oleh Kristus itu merupakan persekutuan hidup, amal dan kebenaran yang digunakan sebagai instrumen penebusan bagi umat dan diutus keseluruh penjuru sebagai terang dan garam dunia.

Di dalam konteks Gereja persekutuan, bruder merupakan orang yang dipanggil-dipilih dari persekutuan umat Allah untuk memancarkan kebaikan Allah kepada dunia.  Ia menyadari dirinya sebagai saudara dari orang Kristiani yang mendengar dari dalam dirinya panggilan Tuhan untuk hamba-Nya, “Aku telah memilih kamu sebagai perjanjian umat manusia” (Yesaya 42:6).

Panggilan ini memberi arti demikian. Untuk segala sesuatu yang dia tinggalkan dan kerjakan, hal itu menjadikan dia seorang ’nabi’ di antara saudaranya. Berdasarkan itu, ia tinggal membaktikan diri menjadi misionaris dan untuk misi penginjilan pada masyarakat.

Panggilan bruder adalah bagian dari jawaban Tuhan yang memberi semangat persaudaraan universal di dalam Kristus; sebuah iklim persaudaraan yang tidak membeda-bedakan umat Allah.

Tanggapan atas panggilan itu merupakan pilihan hidup  hanya untuk cinta akan Tuhan. Itu berarti pemberian diri secara total kepada Allah di dalam  Gereja. Ia menanggapi panggilan Roh dan berupaya setia menjaga kenangan kasih Kristus sampai akhir hayatnya.

Dan dengan cara yang khusus, bruder berusaha mengikuti Kristus dalam cara hidup murni, miskin, dan taat.

Suara Allah mengandung suatu perutusan: Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku keluar dari Mesir” (Kel 3:7-10).

Seorang buder dipanggil hidup integral sebagai tanda bukan untuk dirinya sendiri tetapi sebuah pelayanan gerejani yang memasyarakat. Religius bruder, baik di dalam komunitas biara, hidup apostolik atau persaudaraan sebagaimana dijelaskan di atas, menekankan martabat pelayanan.

Dalam konteks Gereja dan persekutuan zaman sekarang, bruder berperan sebagai ragi dalam adonan, sebagai panduan ahli dalam kehidupan spiritual, persaudaraan menyertai orang percaya  dan membantu mereka menemukan kekayaan “Tradisi Kristiani”. (Berlanjut)

—————-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here