Pengantar Redaksi
DALAM rangka menyambut kehadiran para bruder misionaris MTB di Singkawang 11 Maret 1921, Dewan Pembinaan Kongregasi MTB melakukan kegiatan rekoleksi gabungan komunitas selama tiga kali di tahun 2018 di luar rekoleksi mandiri komunitas.
Tema kali ini adalah menengok dimensi misioner Bruder MTB yang dipandu langsung oleh penulis.
Untuk wilayah Yogyakarta, peserta rekoleksinya adalah gabungan para postulan, novis, yunior, medior, dan senior.
Selama dua hari, para peserta bergumul dan berrefleksi untuk melihat kembali sejarah panggilan hidup sebagai bruder MTB dengan berkiblat pada panggilan bruder misionaris dari Huijbergen, tepatnya di Belanda Selatan.
Bahan rekoleksinya disusun oleh Bruder Petrus Handoko MTB.
Kongregasi Bruder MTB akan genap merayakan 100 tahun berkarya di Indonesia; tepatnya pada 11 Maret 2021.
Berdirinya Kongregasi MTB di Belanda
Mari kita menengok kembali situasi Negeri Belanda pada tahun 1.800-an. Keadaannya saaat itu sangat menyedihkan.
Itu terjadi, karena dampak Perang Belanda-Belgia, lalu juga ada bencana alam berupa gagal panen dan wabah penyakit kolera. Tentu saja, harus juga disebut adanya tekanan dari pemerintah yang didominasi kelompok Protestan.
Semuanya ini menimbulkan kegoncangan sosial dan penderitaan di masyarakat. Banyak orang tua meninggal dan itu menyebabkan banyak anak menjadi yatim, piatu; kurangnya sarana hidup menimbulkan banyak pengangguran, merosotnya pendidikan dan perkembangan anak terganggu. Penghayatan nilai-nilai keagamaan dan kehidupan sosial merosot.
Pada waktu itu, ada sekitar 30-an ribu anak yatim piatu. Keadaan yang menyedihkan seperti ini bukannya tidak ada upaya untuk memperbaikinya.
Di Keuskupan Breda, Belanda, pada waktu itu, sudah ada yayasan sosial yang berusaha memberi perhatian pada anak yatim piatu.
Namun kemampuan yang ada itu tidak sebanding dengan tuntutan nyata. Situasi seperti itu -mengutip penyair Kahlil Gibran- mirip seolah-olah Tuhan tidak lagi ada lagi mau ‘bicara’ dengan manusia. Ia tidak menampakkan senyum-Nya kepada dunia, seolah-olah Negeri Kincir Angin tersebut sedang mengalami kegelisahan di padang kemiskinan iman akan Allah.
Melihat latar belakang kebutuhan di masyarakat dan kepekaan hatinya terhadap penderitaan umat tersebut, Mgr. Van Hooydonk mulai menata kembali Biara Wilhelmit untuk rumah perawatan dan pendidikan bagi anak yatim piatu. Untuk sementara waktu, semua urusan tentang hal ini dipercayakan kepada Bruder CSA.
Di kemudian hari, ada tiga pemuda yaitu Petrus Kerremans, Yohans Broumels dan Henri Claeren berniat mengabdikan diri pada pendidikan anak-anak, khususnya yang miskin dan yatim. Mereka tidak sekedar mencari tempat bekerja, tetapi ingin membaktikan seluruh hidupnya. Semua ini menjadi cikal-bakal terbentuknya Kongregasi Bruder Huijbergen yang di Indonesia lalu dikenal sebagai Bruder Maria Tak Bernoda (MTB).
Sebagai pokok kehidupan ialah menaruh perhatian pada pekerjaan demi kemuliaan Allah dan kebahagian orang lain; bukan untuk diri sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari, mereka wajib melatih diri akan keutamaan Kristiani yakni hidup atas dasar semangat kemiskinan, ketaatan, kemurnian dan pembaktian diri. Mereka menyerahkan diri dalam persekutuan hidup yang ditandai dengan kasih, amal dan ketabahan dalam penderitaan dan kesediaan untuk mengabdi.
Dan mereka menyediakan diri menjadi instrumen agar Allah dapat dekat dan berbicara kepada umat-Nya.
Mengembangkan sayap ke Singkawang
Kemauan menjadi misionaris itu muncul, ketika Uskup Pontianak waktu itu Mgr. Pasificus Bos resmi meminta kesediaan para Bruder Huijbergen mau menangani sekolah St. Dyonisus Singkawang. Ketika itu, sekolahan yang akan diambil Pemerintah Kolonial Belanda di tahun 1920.
Selain itu, karya misi di luar Belanda juga sudah menjadi sangat populer di Gereja Katolik di Belanda.
Semangat bermisi itu didasari cinta kasih yang mau mengembangkan solidaritas kepada umat beriman. Tambahan pula, pada waktu itu kondisi finansial Kongregasi dirasa mampu untuk memberi jaminan misionaris di luar Belanda.
Duc in altum, bertolaklah ke tempat yang lebih dalam (jauh).
Kelima bruder lalu itu meninggalkan Belanda ke “Tanah Misi”. Mereka berani meninggalkan zona nyaman hidup, tanah kelahiran, sanak saudara dan famili, meninggalkan tradisi budaya, pola hidup yang sudah mapan dan telah memberi jaminan hidup aman dan nyaman.
Mereka berani pergi ke Singkawang, sebuah tanah asing di mana hidup orang-orang yang tidak dikenal, perbedaan cara hidup, fasilitas yang jauh dari kurang, daerah banyak tantangan dan ancaman.
Museum MTB Singkawang, Saksi Sejarah Misi Para Bruder Maria Tak Bernoda di Kalbar
Pernah dengar, tapi tak pernah alami
Ketika baru tiba di Singkawang, mereka betul-betul mulai dengan kehidupan baru di titik nol; iklim, orang, makanan bahkan penyakit dsb. Mungkin semuanya itu pernah mereka dengar, tetapi belum pernah dialami. Mereka berani mengakhiri hidup di zona nyaman dan memulai hidup baru dengan segala kesulitan dan tantangan.
Life begins at the end of the comfort zone.
Sebagai misionaris, mereka ingin berbagi kebahagiaan, menjadi mediator bagi Allah yang berbicara kepada umat-Nya. Dengan menjadi misionaris, mereka mengungkapkan passion for Jesus is the passion for the people – kalau kita ada hati kepada Yesus, tentunya ada hati pula kepada orang-orang. Mereja juga mau membuktikan bahwa penyelamatan Kristus di dalam Gereja itu tidak berhenti pada diri sendiri dan tidak di satu tempat, tetapi juga kepada orang lain dengan aneka situasi dan kondisinya.
Sampai di Singkawang mereka langsung menangani karya asrama dan sekolah.
Maka lalu muncul pertanyaan-pertanyan seperti ini:
- Apa artinya semboyan “menyebarkan pengetahuan dan menebarkan iman” dalam hidup kita sekarang ini (sekolah, asrama, komunitas,dsb)?
- Apa konsekuensi bagi kita, setelah merenungkan hidup dan karya bruder misionaris (pembinaan, hidup dan karya dan kepemimpinan)?
- “Tidak perlu kita menganut cita-cita yang tertuang dalam hidup dan karya Bruder Misionaris, jika kita sekedar menghargai dan mengagumi prestasinya yang luar biasa” (Gubakata-kata Karen Armstrong).
Refleksi teologis Paus Fransiskus
Menghayati panggilan hidup menjadi bruder dalam Gereja itu mengandung tiga dimensi:
- Gereja sebagai persekutuan umat beriman.
- Umat yang dipilih.
- Memancarkan kekayaan panggilan khusus.
Pusat ketiga dimensi ialah ‘persaudaraan’. Hal itu merupakan karunia yang diterima, dibagikan (persekutuan) dan diberikan (misi).
Sebagai seorang bruder di tengah-tengah Gereja, maka ia menjadi bagian persekutuan umat dan milik umat Allah; yang ikut berpartisipasi sebagai tanda kenabian Kristus.
Karena itu, persekutuan bruder yang didirikan oleh Kristus itu merupakan persekutuan hidup, amal dan kebenaran yang digunakan sebagai instrumen penebusan bagi umat dan diutus keseluruh penjuru sebagai terang dan garam dunia.
Di dalam konteks Gereja persekutuan, bruder merupakan orang yang dipanggil-dipilih dari persekutuan umat Allah untuk memancarkan kebaikan Allah kepada dunia. Ia menyadari dirinya sebagai saudara dari orang Kristiani yang mendengar dari dalam dirinya panggilan Tuhan untuk hamba-Nya, “Aku telah memilih kamu sebagai perjanjian umat manusia” (Yesaya 42:6).
Panggilan ini memberi arti demikian. Untuk segala sesuatu yang dia tinggalkan dan kerjakan, hal itu menjadikan dia seorang ’nabi’ di antara saudaranya. Berdasarkan itu, ia tinggal membaktikan diri menjadi misionaris dan untuk misi penginjilan pada masyarakat.
Panggilan bruder adalah bagian dari jawaban Tuhan yang memberi semangat persaudaraan universal di dalam Kristus; sebuah iklim persaudaraan yang tidak membeda-bedakan umat Allah.
Tanggapan atas panggilan itu merupakan pilihan hidup hanya untuk cinta akan Tuhan. Itu berarti pemberian diri secara total kepada Allah di dalam Gereja. Ia menanggapi panggilan Roh dan berupaya setia menjaga kenangan kasih Kristus sampai akhir hayatnya.
Dan dengan cara yang khusus, bruder berusaha mengikuti Kristus dalam cara hidup murni, miskin, dan taat.
Suara Allah mengandung suatu perutusan: “Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku keluar dari Mesir” (Kel 3:7-10).
Seorang buder dipanggil hidup integral sebagai tanda bukan untuk dirinya sendiri tetapi sebuah pelayanan gerejani yang memasyarakat. Religius bruder, baik di dalam komunitas biara, hidup apostolik atau persaudaraan sebagaimana dijelaskan di atas, menekankan martabat pelayanan.
Dalam konteks Gereja dan persekutuan zaman sekarang, bruder berperan sebagai ragi dalam adonan, sebagai panduan ahli dalam kehidupan spiritual, persaudaraan menyertai orang percaya dan membantu mereka menemukan kekayaan “Tradisi Kristiani”. (Berlanjut)
—————-