Kembali ke komunitas
Asap tebal yang menyelimuti kota Pontianak dan beberapa kota lain di Indonesia membuat banyak penerbangan dibatalkan pada hari Minggu itu, termasuk penerbangan pulang saya ke Jakarta. Hal serupa masih terus terjadi selama beberapa hari.
Banyak orang terpaksa reschedule atau beli tiket baru, yang keberangkatannya pun tidak bisa dipastikan.
Begitu ada pengumuman bahwa pesawat Lion Air yang saya tumpangi batal terbang, maka saya pun ikut dalam barisan (sebenarnya tidak berbaris karena sama sekali tidak teratur dalam antri, siapa kuat berdesakan, dia bisa maju duluan) yang berdesakan untuk mengurus tiket: diuangkan atau dijadwalkan ulang.
Saya tidak berhasil mengurus tiket lama karena sesak dan berdesakan. Saya memutuskan untuk mencari dan membeli tiket baru lalu kembali ke komunitas SdC Pontianak.
Bukan hanya saya yang gelisah, para suster pun ikut was-was sambil memantau keberadaan saya. Setelah berjalan kaki sekitar 20 menit dari Bandara Supadio, tibalah saya kembali di komunitas.
Puji Tuhan, pesawat yang saya tumpangi pada hari berikutnya bisa terbang dan sampai dengan selamat meski harus delay selama berjam-jam.
Namun, itu jauh lebih baik dari pada batal lagi.
Sr. Siwi SdC sampai berujar, “Wow…, semoga tidak kapok datang lagi ke Kalimantan yang penuh asap.”
Saya menjawab, “Tidak kapok, suster. Itu situasi kondisional.”
Saya punya keyakinan, kalau di sana manusia bisa hidup, maka saya pun mestinya bisa, apalagi yang ada di sana para suster, para saudari saya yang tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga berjuang untuk menebar kasih dan melakukan kebaikan sebagai agen kerajaan Allah.
Penutup
Kaul bukanlah prestasi, melainkan komitmen diri yang terpuji karena berhasil mengalahkan dorongan-dorongan instingtif manusiawi yang tendensinya untuk keuntungan dan kehebatan diri sendiri.
Dengan kata lain, kaul adalah kemenangan atas dorongan naluriah manusiawi untuk menemukan dan membagikan nilai Ilahi dan manusiawi kepada dunia yang kita abdi.
Perayaan kaul kekal kedua suster sudah selesai.
Para tamu sudah kembali, saya pun sudah beraktivitas lagi seperti sediakala. Namun, pengutusan yang kita terima melalui kaul masih terus menjadi penyerta sekaligus daya dorong untuk hidup taat kepada Allah dan kehendak-Nya, untuk hidup murni berbagi kasih, serta untuk hidup miskin demi melayani dan memperkaya orang lain.
Salah satu pesan yang saya sampaikan dalam sambutan mewakili keluarga adalah seperti ini
“Pulau Nias dan pulau Kalimantan jauh, jauh sekali. Namun, jaraknya masih bisa diukur. Semoga ‘jarak hati’ antara anggota SdC tidak jauh sehingga tidak perlu berteriak-teriak ketika hendak memanggil atau menyampaikan sesuatu kepada anggota komunitas yang lain.”
Mari kita menjadi ‘hadiah’ yang pantas dan bermakna bagi komunitas, tarekat, dan karya pelayanan kita. Jangan lupa bahagia dan membahagiakan.
SdC di Indonesia memang kecil dari segi jumlah. Namun, jadilah SdC yang relevan dan signifikan: kecil, tapi berpengaruh besar. Tuhan memberkati.
Bandung, 25 September 2019
(Selesai)