KETIKA usia perkuliahan memasuki batas akhir, rentang tahun 1999-2000, saya bertemu seorang perempuan yang sudah lama hidup membiara. Hari itu, usai menghias telur Paskah di komunitas para suster, perempuan itu menawari saya sebagai tukang tebas di kompleks biaranya.
Saya senang dapat tawaran itu. Selain akan dapat upah dari pekerjaan menebas, sehingga bisa membantu biaya hidup di Pontianak, waktu perkuliahan juga sudah lowong.
Daripada tidak ada kegiatan di asrama, tawaran itu saya terima.
Perempuan itu bernama Sr. Aloysia SFIC. Dia adalah seorangsuster biarawati anggota Kongregasi Suster SFIC (Sorroum Fransiscalium ab Immaculata Conceptione a Matre Dei), yang dalam bahasa Indonesia Kongregasi Suster Fransiskus dari Perkandungan tak Bernoda Bunda Suci Allah.
Sebenarnya hari itu bukan pertemuan pertama dengan Suster Aloy, begitu orang-orang menyapanya. Ketika masih sekolah menengah pertama di Pusat Damai, saya juga sudah bertemu Suster Aloy.
Dia menjadi pembina di asrama putri. Saya menghuni asrama putera. Itu kurun waktu 1989-1991. Setelah itu, saya tak pernah bertemu dia.
Bersama seorang teman, akhirnya saya bekerja sebagai tukang tebas di kompleks Susteran SFIC, Pontianak. Tidak setiap hari. Hanya kalau rumput-rumput sudah cukup meninggi. Kadang sebulan sekali. Kadang dua bulan. Lebih banyak satu bulan sekali.
Kami menebas menggunakan mesin yang digendong dengan mata tebas seperti baling-baling. Mesin itu milik asrama yang dibeli bruder MTB untuk menebas rumput di kompleks asrama.
Kami meminjam, kalau pas ada pemberitahuan dari suster. Kami ditugaskan menebas di sekitar Wisma Immaculata. Lumayan luas. Perlu waktu dari pagi hingga sore.
Saya pergi naik opelet. Ongkos opelet dua ribu rupiah. Teman saya naik sepeda sambil membawa mesin tebas. Pergi pagi sekitar pukul enam. Pulang menjelang malam, ya sekitar pukul enam juga.
Pergi pagi, pulang petang, namanya.
Apa yang sulit dalam pekerjaan menebas? Bukan menebasnya. Melainkan menyapu rumput bekas tebasan. Pekerjaan yang dilihat sepele itu sungguh memberatkan.
Sebab, semua rumput hasil tebasan harus dikumpulkan. Di situlah tantangan terberat dalam pekerjaan ini. Kami bergiliran untuk hal itu. Kadang beberapa suster datang memberi semangat.
Saya senang karena suster menyediakan makan siang bagi kami. Tentu Ini meringankan beban, sehingga kami tak perlu bekal atau beli nasi bungkus.
Suster Caroline SFIC, yang bertanggung jawab atas Wisma Immaculata, selalu memberi semangat. Ini orang baik bagi saya.
Hampir satu tahun kami bekerja sebagai tukang tebas di Wisma Immaculata. Kesibukan perkuliahan karena harus selesaikan skripsi membuat tugas itu berakhir.
Pada tahun 2019 ini, SFIC memeringati 175 tahun berkarya di dunia. Ucapan syukur kongregasi yang didirikan Teresia van Miert pada 1844 itu dipusatkan di Pontianak.
Meriah sekali. Suster-suster dari berbagai negara, yang menjadi lokasi pelayanan SFIC, berdatangan. Ada dari Belanda, Afrika, Pilipina, dan tentu saja berbagai daerah di Indonesia.
Lokasi perayaan di kompleks Persekolahan Suster di Pontianak. Sebuah perayaan yang sederhana tapi sangat meriah.
Selamat ulang tahun SFIC. Teruslah berkarya bagi kebaikan dunia. Tuhan akan menjadikan segala karya itu sebagai berkat.
Demi Cinta Allah, upahmu besar dibanding surga. Ubi caritas et Amor, Deus ibi est.
Budi Miank | 11 Oktober 2019
PS: http://budimiank.blogspot.com/2019/10/sfic-dan-sebuah-kenangan.html?m=1