SANTO Arnold Janssen bersama Beata Helena Stollenwerk dan Beata Hendrina Stenmanns mendirikan Kongregasi Suster Abdi Roh Kudus (Latin: Servae Spiritus Sancti – SSpS) di Steyl, Negeri Belanda, tahun 1889.
Lela – Sikka (1920-1930)
28 tahun kemudian, tepatnya 13 Januari 1917, enam orang suster SSpS tiba di Lela, Flores. Keenam suster SSpS ini datang ke Flores atas permintaan Mgr. Peter Noyen SVD, Prefek Apostolik Kepulauan Sunda Kecil saat itu.
“Kami sangat memerlukan para suster, jika tidak, hidup akan menjadi terlalu mahal,” tulis Mgr. Noyen dalam korespondensinya dengan Superior General saat itu, Pater Nikolaus Blum SVD.
Para suster datang untuk mendukung pekerjaan misionaris SVD.
Sejak awal kedatangan mereka, para suster bekerja di tiga bidang: pendidikan, kesehatan, dan karya pastoral.
Kehadiran para suster SSpS di Lela, dan kerinduan tiga gadis yang ingin mengikuti Yesus, menjadikan Lela sebagai jejak awal sejarah CIJ.
Lela adalah tapakan awal, perhentian pertama untuk mengeksplorasi potensi gadis pribumi demi menjawab panggilan suci menjadi suster biarawati.
Tahun 1925, enam calon ditampung di asrama susteran SSpS di Lela.
Pater Lambertus Flint SVD, misionaris dari Osnabrück Jerman (RIP 11.1.1950) dipercaya untuk mendampingi mereka sebagai bapa rohani.
Asrama susteran ini sudah dibangun oleh Suster-suster Cinta Kasih dari Tilburg.
Sejak tahun 1800
Kongregasi ini sejak 1890 bekerja di Flores. Mereka meninggalkan wilayah misi Flores dan memberi tempat ini untuk Suster SSpS.
Tanggal 23 Januari 1917, sepuluh hari setelah kedatangan para suster SSpS, para Suster dari Tilburg meninggalkan Flores dan 230 anak didik di Lela.
Perbedaan budaya, latar belakang pendidikan dan kematangan iman menjadi bagian orientasi yang terus digeluti oleh puteri-puteri Flores ini.
Asa mereka pun tak pupus dimakan waktu. Mereka terus bergerak maju, kemana pun Roh mengutus mereka.
Mataloko (1930-1932)
Mataloko telah dipilih menjadi tempat persemaian panti imam (seminari kecil) sedaratan Flores dan Timor. Seminari Kecil ini tahun 1926 dimulai di Sikka oleh Pater Frans Cornelissen SVD.
Pembukaan seminari kecil ini adalah ide dan kerinduan dari Mgr. Arnoldus Verstraelen SVD.
Walau mendapat banyak kritik dari misionaris Belanda saat itu, Uskup Vikaris Apostolik untuk Kepulauan Sunda Kecil ini tetap teguh pada pendiriannya dan melihat formasi pendidikan untuk calon imam pribumi sebagai masa depan Gereja Lokal.
Tahun 1929 seminari kecil ini dipindahkan ke Mataloko.
Tanggal 16 Juli 1930 dengan diperluasnya medan misi ke arah barat daratan Flores, Suster-suster SSpS pun mulai membuka komunitas baru di Mataloko.
Uskup Verstraelen juga mencari format baku untuk formasi para suster pribumi. Langkah awalnya adalah memindahkan para calon suster dari Lela ke Mataloko.
Bersamaan dengan itu Uskup Verstraelen mengangkat Sr. Helene Geizemann SSpS menjadi pendamping para calon suster ini, yang sejak saat itu disebut “kandidat”.
Suster Helene pun dipindahkan dari Larantuka ke Mataloko.
P. Johann Köberl SVD, misionaris kelahiran Vöslau, Austria (RIP 7.12.1988), dipindahtugaskan ke Mataloko.
Pater Köberl, selain mengajar di Sekolah Rakyat, juga diangkat oleh Uskup Verstraelen menjadi bapa rohani para kandidat suster ini (sampai tahun 1932).
Pater Köberl bersama Suster Helene merancang regulasi, aturan hidup harian para kandidat ini dan juga mengonsepkan model pakaian biara mereka (Bdk. Stegmaier: 1978).
Tempat formasi dan tugas utama para suster kelak, menjadi diskusi panjang para misionaris; dan mereka belum menemukan jalan keluarnya.
Meninggalnya Uskup Vestraelen karena kecelakaan mobil (RIP 16.3.1932) melahirkan kerumitan baru dan diskusi tentang formasi para suster pribumi hampir mengalami jalan buntu.
Pater Heinrich Leven SVD, yang diangkat menjadi Pro-Vikaris, membutuhkan waktu untuk merealisasikan proyek besar panggilan hidup membiara untuk puteri-puteri lokal ini.
26 Desember 1932 Pater Leven meliburkan para kandidat dan mempercayakan kepada pastor paroki masing-masing untuk menjadi pendamping mereka selama liburan.
Gambar Hati Kudus Yesus dan St. Yosef yang menggendong bayi Yesus menjadi tanda resmi, siapa yang diterima untuk formasi lanjut dan siapa yang seterusnya tinggal di rumah.
Vikaris Apostolik Sunda Kecil
15 April 1933, Paus Pius XI mengangkat Pater Heinrich Leven SVD menjadi Vikaris Apostolik Kepulauan Sunda Kecil. Kebijakan untuk melanjutkan formasi para suster pribumi kini sepenuhnya ada di tangannya. Dengan penyelenggaraan Ilahi, Deus providebit, ia memilih untuk melanjutkan proyek besar ini.
Dari 14 kandidat yang diliburkan, tujuh diantaranya dinyatakan lulus seleksi (menerima gambar Hati Yesus), dan ketujuh yang lain menerima gambar Santo Yosef.
Tujuh calon itu:
- Veronika Buik.
- Veronika Telik.
- Maria Veronika.
- Lusia lise.
- Antonia Kuki.
- Raimunda Roja.
- Yohana Hewot.
Enam kandidat lain juga turut dipanggil adalah:
- Elisabeth Bota dan Ernesti de Ornay dari Lewolaga, Flores Timur.
- Angela Tahan dan Maria Belak dari Timor.
- Alberta Tuto dari Belang – Lembata.
- Petronela Pagang dari Nita, Sikka (Komisi Spiritualitas CIJ: 2015).
Jopu (mulai 1933)
26 Mei 1933 tujuh kandidat yang lulus dipanggil oleh Vikaris Apostolik, untuk hari itu juga diberangkatkan ke Jopu. Juga enam kandidat lainnya.
Ketiadaan rumah formasi, minimnya personal untuk pendampingan dan letak geografis yang ideal untuk formasi para suster menjadikan Jopu sebagai satu-satunya pilihan.
Di Jopu ada gedung kosong, yang sebelumnya dijadikan kantor polisi dan kini dijadikan sebagai rumah formasi bagi “kongregasi” baru ini.
Suster-suster SSpS sejak 1924, empat tahun setelah berdirinya paroki Jopu, sudah berkarya di sana.
Karya kesehatan, misalnya, yang dibuka oleh Sr. Carina M. Kumpitsch SSpS berkembang hingga kini menjadi Rumah Sakit St. Antonius Jopu.
Mula-mula para postulan CIJ didampingi oleh Sr. Odelberta SSpS, dibantu oleh Sr. Carina M. Kumpitsch SSpS.
Misionaris Jerman kelahiran Telgte, Münster, Pater Johann Suntrup-Schütte SVD (RIP 4.7.1966) ditugaskan menjadi bapa rohani bagi para calon CIJ.
Pater Suntrup-Schütte selama 17 tahun (1933–1950) lamanya bertindak menjadi pendamping para novis di Jopu. (Berlanjut)
PS: Artikel ini ditulis bersama Sr. Ivonny Kebingin CIJ