Kongregasi Suster-suster Passionis (CP) 50 Tahun Melayani Indonesia dalam Pelukan Kristus Tersalib (1)

0
0 views
Ketiga suster misionaris Kongregasi Susrer-suster Passionis (CP) dari Italia yang merintis karya misi pertama di Indonesia tahun 1974 bersama pastor pembimbing spiritual Padre Giorgini dan Nuncio Mgr. Farano. (Dok. Generalat CP Roma)

PENDIRIAN Kongregasi Suster-suster Passionis Santo Paulus di Indonesia sungguh merupakan sebuah kisah penuh harapan dan iman. Ini awalnya dimulai dari permohonan tulus dari para pastor Passionis (CP) yang telah lebih dulu berkarya di tanahair Indonesia.

Mereka mohon kepada Pemimpin Umum Kongregasi Passionis saat itu yakni Madre Tomazina Costa Bontorini CP agar Generalat Suster CP di Roma bersedia mengutus beberapa suster kami demi membantu dalam misi pendidikan dan pengembangan kaum muda di asrama puteri.

Namun, seperti halnya banyak rencana Tuhan yang sering kali tidak langsung terungkap, Madre Tomazina CP saat itu merasa belum saatnya menjawab permintaan tersebut. Ternyata juga tidak ada suster CP mana pun yang dianggap siap sedia untuk memulai tugas misi yang sangat mulia ini.

Meski demikian, dalam hatinya, Madre Tomazina CP tetap menyimpan harapan bahwa suatu hari sayap pelayanan Kongregasi Suster-suster CP akan merentang jauh hingga ke Indonesia.

Krisis panggilan di Belgia tahun 1960

Waktu berlalu dan rencana Tuhan mulai mengalir dengan cara-Nya yang juga sangat misterius. Sekitar tahun 1960, krisis panggilan melanda negara Belgia. Kardinal Suenens dari Belgia laluminta kongregasi-kongregasi yang kekurangan anggotanya agar segera mau bergabung dengan kongregasi lain yang memiliki spiritualitas dan kharisma yang serupa.

Dalam situasi ini, Pemimpin Umum Kongregasi Passionis Misionaris dari Salib saat itu yakni Madre Maria Martha Vandeputte mohon kepada Kongregasi Suster Passionis untuk bersedia bergabung. Di sinilah doa-doa yang telah lama dipanjatkan mulai mendapatkan jawabannya. Madre Tomazina mulai merenungkan kembali permintaan dari para pastor Passionis yang telah lebih dulu berkarya di Indonesia.

Madre Tomazina Costa Bontorini.CP (kiri) dan Madre Maria Martha Vandeputte. (Dok. Generalat CP Roma)

         

Dalam keheningan hati, ia menyadari bahwa inilah panggilan Tuhan. Seperti air yang mengalir tenang namun pasti menuju samudera, hati Madre Tomazina CP akhirnya terbuka bersedia menanggapi permintaan itu. Maka, di suatu hari di bulan Mei yang cerah, tepatnya 7 Mei 1974, tiga suster Passionis Italia dengan penuh keberanian memulai perjalanan mereka yang tidak hanya melintasi jarak, tetapi juga waktu.

Dari Roma yang megah, mereka berangkat dengan iman menuju Jakarta -tanah yang jauh- namun dipenuhi harapan baru. Di sisi mereka ada Pastor Fabiano Giorgini CP, seorang pendamping setia, menemani setiap langkah mereka.

Perjalanan ini bukan hanya tentang penyeberangan geografis, tetapi juga sebuah ziarah rohani. Sebuah panggilan untuk memberikan diri sepenuhnya bagi pelayanan di Indonesia. Tangan Tuhan membimbing mereka. Dan dengan iman kuat, mereka melangkah, membuka bab baru dalam sejarah kasih yang ditulis oleh Tangan Ilahi.

Ketiga suster misionaris Kongregasi Susrer-suster Passionis (CP) yang merintis karya misi pertama di Indonesia tahun 1974. Ke-3 suster CP misionaris pertama adalah Sr. Beatriz CP, Sr. Etienne CP, dan Sr. Clorida CP. Dalam foto ini tampak ketiga suster misionaris pertam CP ini bersama pastor pembimbing spiritual Padre Fabiano Giorgini CP dan Nuncio Mgr.
Vincenzo Farano. (Dok. Generalat CP Roma)

Ketiga suster misionaris pertama CP di Indonesia itu kini telah tiada. Namun jejak langkah mereka tetap hidup dalam kenangan. Sr. Maria Etienne Coopman CP berasal dari Belgia, Sr. Clorinda Aresta dari Italia, dan Sr. Beatriz Mendizabal dari Spanyol.

Mereka adalah jiwa-jiwa yang berani, menempuh perjalanan panjang dengan hati penuh ketulusan, meskipun jalan yang mereka pilih tak pernah mereka kenal sebelumnya. Pada tanggal 8 Mei 1974 SILAM, ketiga suster Passionis (CP) ini berhasil tiba mendarat di Jakarta. Dan hanya beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal 11 Mei, mereka segera melanjutkan perjalanan mereka menuju Pontianak, Kalbar.

Mereka tiba di tanah yang asing, di mana keheningan dan kedalaman alam lebih mendominasi daripada hiruk-pikuk dunia yang mereka tinggalkan. Sejenak, mereka tinggal hampir sebulan di Susteran Fransiskan Belanda, merasakan ketenangan sebelum memulai misi besar yang telah menanti. Pada tanggal 22 Juni, ketiga suster ini tiba di Sekadau sebuah pelabuhan pertama yang sederhana namun penuh arti dalam misi mereka. Misi yang tak sekedar melintasi batas geografi, tetapi juga budaya dan bahasa.

Apa yang mereka bawa dalam perjalanan ini bukanlah harta duniawi, melainkan keyakinan yang mendalam dan doa-doa yang tak pernah berhenti terucap dari bibir mereka. Doa yang menjadi iringan setiap langkah mereka menuju pedalaman, sebuah tempat yang jauh dari segala hingar-bingar kota. Sekadau adalah tanah yang mungkin tak pernah mereka bayangkan, sebuah wilayah yang asing dan penuh tantangan. Namun, di sanalah, di tengah hening dan keterbatasan, mereka menemukan rumah bagi pelayanan mereka yang penuh makna.

Di Sekadau -jauh sekali dari Pontianak waktu itu, mereka menghadapi bukan hanya tantangan fisik, tetapi juga tantangan hati dan iman. Tanah ini memang asing, namun semangat mereka tetap membara.

Mereka datang bukan untuk mencari kenyamanan atau kemudahan, melainkan untuk memberikan seluruh hidup mereka bagi orang-orang yang membutuhkan. Mereka yakin bahwa Tuhan telah menuntun langkah-langkah mereka dengan penuh cinta dan tujuan yang mulia.

Meski ketiganya kini telah berpulang, jejak langkah mereka tetap hidup mengukir kisah tentang cinta, keberanian, dan ketulusan dalam pelayanan yang tak pernah lekang oleh waktu.

Berkarya di Sekadau, Kalbar

Kota kecil Sekadau di wilayah pedalaman Kalbar dan kini masuk ranah wilayah Keuskupan Sanggau sungguh menjadi saksi bisu dari langkah-langkah penuh kasih dan keberanian ketiga suster Passionis yang di tahun 1974 itu berhasil tiba di Sekadau. Waktu itu, Sekadau sungguh merupakan sebuah lokasi permukiman penduduk yang masih dikelilingi hutan lebat dan sungai besar yang seolah tak berujung.

Mereka tidak hanya membawa koper berisi pakaian, tetapi juga membawa hati yang dipenuhi cinta Tuhan. Yakni, membawa misi mulia untuk memperkenalkan kasih yang terlihat dalam Sengsara Kristus.

Air Sungai Kapuas yang berwarna cokelat mengalir dengan tenang, menyimpan misteri yang mendalam. Arusnya tampak menantang, seakan menguji keberanian ketiga suster CP dari Eropa itu untuk memasuki jantung Pulau Kalimantan yang tersembunyi dari dunia luar.

Ketakutan sempat menyelimuti hati mereka. Terutama karena tak satu pun dari mereka bisa berenang. Namun, dalam diam dan doa, keberanian mereka bangkit, didorong oleh iman yang tak tergoyahkan.

Mereka mulai berani menaiki motor air; menembus kesunyian yang dikelilingi hutan belantara, dengan semilir angin yang seolah berbisik. Semua pengalaman turne pastoral ini sungguh menguatkan hati mereka. Setiap percikan air yang menyentuh wajah mereka seperti ucapan “Selamat Datang” dari alam Tanah Kalimantan – tanda bahwa perjalanan ini adalah bagian dari rencana Ilahi yang lebih besar. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here