TANGGAL 10 Oktober 57 tahun yang lalu dan atas gagasan Paus Yohanes XXIII, Gereja Katolik menunaikan hajat besar-besaran untuk sebuah perubahan besar pula, yakni Konsili Vatikan II.
Di dalam Basilika Santo Petrus, Vatikan, ribuan utusan Gereja dari berbagai negara yang terdiri dari para Kardinal, Uskup dan Teolog-teolog kenamaan berkumpul untuk menjadi bagian sejarah besar ini, yang pada akhirnya berhasil mengeluarkan 16 Dokumen Konsili Vatikan II bagi pergerakan Gereja Katolik selanjutnya.
Konsili yang dikepalai oleh Paus Yohanes XXIII dan dihadiri oleh wakil-wakil internasional-ekumenis tersebut dibuka pada 11 Oktober 1962 oleh Paus Yohanes XXIII dan ditutup oleh Paus Paulus VI pada 8 Desember 1965.
Perubahan paradigma
Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk membahas berbagai hal.
Konon, Gereja Katolik kala itu menyadari bahwa Gereja tidak hidup hanya dengan sesama pengikut Kristus, namun juga bersama ciptaan Tuhan yang lain yang bukan pengikut Kristus, sehingga Gereja merasa perlu untuk membaharui diri, tanpa harus mengorbankan aqidah.
Konsekuensinya, adagium tua dari Santo Cyprianus dari Karthago abad ke-13 “extra ecclesiam nulla salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan) yang dalam perjalanan waktu sudah diyakini oleh banyak orang itu kemudian menjadi tidak relevan (lagi); apabila terus dijadikan dalil serta prinsip dalam hidup bermasyarakat.
Apabila kita membaca dokumen Konsili Vatikan II, setidaknya dari setiap judul, kita tahu bahwa Gereja Katolik tidak hanya melakukan perubahan sebatas internal Gereja Katolik saja tetapi juga perubahan untuk relasi Gereja Katolik dengan non-Katolik.
Istilah Konsiliar “Ada Keselamatan di luar Gereja” bagi saya tidak sebatas sepatah kata dalam dokumen tapi lebih dari itu yakni merupakan bentuk kebesaran hati dan keterbukaan diri Gereja Katolik untuk tidak sebatas ‘menerima’ liyan (orang lain) tapi juga ‘merangkul’ liyan.
Sesungguhnya, manusia ini diciptakan oleh Tuhan yang Esa, juga sebagaimana dikatakan Paus Fransiskus, bahwa Tuhan tidak akan menelantarkan hambaNya sekalipun hamba tersebut adalah orang yang tidak beragama.
Sebagai orang beriman dan memeluk agama, menurut saya, wajar-wajar saja apabila memiliki keyakinan bahwa hanya apa yang diimaninyalah yang paling benar.
Namun menjadi tidak benar, apabila klaim kebenaran tersebut lalu membutakan nurani orang dan menutup jalan menuju orang lain yang tidak seiman dan sepaham.
Paham demikian cukuplah disimpan di dalam hati dan tidak dibawa-bawa ke dalam hidup bersama orang lain. Sudah banyak kali terbukti bahwa pengabsolutan demikian lama kelamaan akan berubah menjadi fanatisme sempit yang mempersulit pengusung paham ini untuk menerima perbedaan.
Justru fanatisme dan ketertutupan inilah yang membangkitkan rasa benci dan berpotensi terhadap praktek kekerasan terhadap liyan.
Barangkali sudah tidak asing bagi kita mendengar kata Nostra Aetate.
Nostra Aetate (dari bahasa Latin yang artinya “Dewasa Kita”) yaitu sebuah Dokumen Konsili Vatikan II di atas yang berisi pernyataan paling singkat dari semua dokumen Konsili Vatikan II.
Dokumen ini membahas secara khusus relasi Gereja Katolik dan non-Katolik.
Ada yang menggelitik ketika saya mencoba mendalami dokumen tersebut yakni pada Bab 4 tentang relasi Gereja Katolik dengan Umat Yahudi.
Singkat cerita. Menurut pemahaman Kristen, kejadian meninggalnya Yesus di kayu salib tidak luput dari peran orang Yahudi.
Namun dalam bab tersebut Gereja Katolik dengan kebesaran hatinya mengajak untuk melupakan yang sudah-sudah bahkan sangat menyayangkan hingga mengutuk setiap bentuk tindakan anti-semitisme.
Dari pemahaman tersebut di atas saya menangkap bahwa Gereja mengajak umatnya untuk ‘Tidak Menjadi Pewaris Dendam Masa Lalu’, namun sebaiknya belajar dari pengalaman masa lalu sebagai bagian dari perjalanan kehidupan untuk semakin menjalin relasi lebih baik, penuh respek dan penuh pemahaman dengan umat Yahudi dan umat berbagai agama.
Semua yang sudah-sudah adalah tanggungan generasi masa itu. Apa kaitannya dengan generasi masa kini? Tak ada jalan lain selain berjuang untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu.
Tentu juga tidak masuk akal kalau membawa-bawa kesalahan masa lalu dan menjadikannya dasar atau argumen untuk membenci liyan.
Sebagai umat non-Katolik saya merasa kagum dan tersentuh dengan sikap dan cara pikir Gereja Katolik ini.
Sikap dan cara berpikir beginilah yang mampu memutuskan rantai kekerasan dan kebencian sehingga benih-benih perdamaian bisa bersemi.
Bukanlah Mahatma Gandhi yang kita kenangkan hari kelahirnnya ke 150 tahun ini pernah mengatakan: Eye for eye makes the world blind (Mata ganti mata akan mengakibatkan dunia ini gelap)?
Tidak bisa kita pungkiri bahwa akhir-akhir ini muncul kembali di negri kita sekelompok orang yang beragama, tetapi justru menjadi ‘pewaris dendam masa lalu’.
Saya kasih satu contoh: Ada seorang warganet melontarkan komentar kepada saya untuk mengurangi interaksi dengan orang Kristen, karena dia memiliki pemahaman bahwa orang Kristen dan Yahudi akan terus memusuhi umat Islam sampai akhir dunia ini. Oleh karena itu, kata dia, umat Islam dianjurkan untuk tidak boleh berteman dengan mereka.
Diakui dari catatan-catatan sejarah bahwa dulu, ketika agama Islam mulai disebarkan keluar dari jazirah Arab, terjadi crash antara umat Islam dengan non-Muslim.
Tentang siapa yang benar, siapa yang salah, patut kita pelajari sejarah secara saksama, secara kontekstual dan dengan kajian terhadap berbagai sumber serta referensi.
Tetapi hemat saya, konflik-konflik itu terjadi juga pada setiap sejarah penyebaran agama-agama lain, sekalipun berat ringannya konflik-konflik itu berbeda-beda.
Yang berlalu, biarlah sudah jadi sejarah
Semuanya sudah berlalu. Untuk apa kita membawa-bawa semuanya ke masa kini?
Bukankah kita adalah pewaris masa kini yang harus berkaca pada berbagai pengalaman masa lalu, memilah-milah secara kritis dan mengambil hikmahnya untuk kehidupan kita masa kini yang lebih baik, sambil bekerjasama untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik untuk anak cucu kita?
Apa pun dan bagaimana pun sejarah hubungan umat Islam dan umat Katolik di masa lalu, pertemanan dengan mereka saat ini tidak akan melunturkan iman.
Juga kalau kita mencontohi apa yang baik dan benar yang dilakukan oleh Gereja Katolik supaya tidak menjadi pewaris dendam masa lalu, merupakan sebuah pengalaman sangat berharga.
Semua ini kan bertujuan supaya kita beragama yang ayem tentrem.
Kalau boleh saya bilang habluminallah dan habluminannas-nya berjalan beriringan secara harmonis.
Perubahan besar
10 Oktober 57 tahun yang lalu Gereja Katolik dengan berani memulai perubahan besar untuk membuka diri di dalam sebuah dinamika baru untuk hidup bersama dengan orang lain yang berkehendak baik tanpa membawa-bawa lagi perkara agama, suku, ras, budaya, dlsb.
Tentu tidak dipungkiri bahwa masih ada sebagian dari umat Katolik yang masih belum menerima sikap baru ini, tetapi mereka tergolong dalam kelompok kecil. Kakek saya benar ketika beliau mengatakan kepada saya bahwa untuk membangun perdamaian, terkadang orang harus menuai kontra terlebih dahulu.
Kita bisa lihat hari ini, betapa indahnya hidup bersama tanpa mempermasalahkan SARA. Lihatlah Gereja-gereja Katolik yang terbuka kepada siapa saja, yang umatnya berteman dengan siapa saja tanpa ada rasa curiga.
Bahkan ada sesuatu yang lebih indah lagi. Paus Fransiskus sendiri mempertegas hal di atas saat lawatannya ke benua Afrika, bahwa misi Gereja Katolik hari ini bukan lagi untuk meng-kristenkan orang lain, namun hidup bersama-sama dengan orang yang berkehendak baik.
Ini sebenarnya isi ringkas konsep dan paradigma misi Greja Katolik pasca-Konsili yang sesungguhnya.
Saya paham kalau teman-teman saya yang Katolik sangat membantah atau malah kecewa dan sakit hati. Terutama ketika mereka dituduh mau mengkristen orang atau meng-injil-kan orang lain dengan segala aktivitas Gereja dan karya-karya karitas untuk membantu orang-orang miskin dan terlantarkan. Padahal yang sebenarnya hanyallah karena tergerak oleh ajaran Kasih yang mereka terima dan yakini.
Kepada para tokoh dan semua yang terlibat dalam perumusan dokumen Konsili Vatikan II, bagi yang sudah berpulang, semoga kini Anda benar-benar damai dalam rengkuhan illahi rabbi, sedamai untaian kata-kata di dalam Dokumen yang kalian susun untuk perdamaian umat manusia sejagad.
Bagi yang masih dianugerahi umur panjang, semoga berkah Tuhan mengalir deras tiada batas.
Terima kasih bahwa kami boleh mengenal hasil karya Anda, dan memetik nilai-nilai penting untuk memajukan kehidupan kami bersama yang lebih rukun, tentram dan damai. Amin
Selamat 57 Tahun Konsili Vatikan II.