Konvenas II PUKAT: Ngobrol Bareng bersama Ignatius Jonan (4)

0
1,637 views

ACARA bincang bareng ini dimoderatori Andy F. Noya.

Pertama, Andy F. Noya bicara terlebih dahulu tentang siapa dirinya. (Baca: Konvenas II PUKAT: Pengusaha Katolik Bertanya, Uskup Menjawab (3)

SAYA buat biografi karena berteman dengan jurnalis juga, orang Kompas, kebetulan tetangga saya. Ia bilang, kisah saya juga inspiratif. Ia merayu saya saat kami menulis buku Lim Swee King. Proses penulisannya 4 tahun. Saya sendiri agak menyesal menulis buku ini, karena merasa telanjang dengan adanya buku ini.

Sebuah jokes. Ketika dihubungi PUKAT dan tahu tema ini, yang terlintas adalah saya ingin beritakan satu informasi: Belum tentu Romo itu masuk surga karena ketika tiba di sana, tidak semua orang yang ngaku Romo itu langsung masuk, tetap saja malaikat seleksi. Para Romo pun marah-marah.

Di antara Romo yang marah-marah ngantri, ada yang nyelonong masuk, si Poltak sopir metromini. Romo tambah marah. Kenapa, tanya mereka. Rupanya kalau Romo ceramah, orang tidur. Kalau sopir metromini nyopir, semua orang ingat Tuhan. Pengusaha juga sama saja, tetap diseleksi.

Talenta menurut saya adalah passion atau lentera jiwa. Dalam buku saya, saya cerita seorang guru saya di SD. Namanya bu Anna. Ia yang menyadarkan saya betapa saya punya talenta menulis. Ia katakan itu keistimewaan saya yaitu menulis, dan ia katakan kelak saya jadi hartawan. Saya senang ketika pulang bertemu ibu saya dan ia katakana arti hartawan adalah seseorang yang punya banyak harta.

Ternyata kelak saya sadar bahwa saya salah dengar, yang disebut guru saya itu wartawan, bukan hartawan. Tetapi saya sungguh berterima kasih pada guru. Tolong sampaikan pada guru dan orangtua, temukan passion atau lentera jiwa anak Anda sejak dini. Itu yang akan membuat ia bahagia dengan apa yang dikerjakan.

Waktu saya tiga tahun, saya diajak ke Jayapura, Papua, oleh ayah saya. Ternyata di sana ia cuma tukang betulin mesin tik, saya agak malu. Ia masukan saya ke Sekolah Teknik, setelah itu STM. Saya diolok-olok, karena lebih suka menulis sajak dan puisi. Dianggap banci. Itu saya alami, tapi panggilan untuk menulis itu kuat sekali. Ketika tamat STM, saya dapat beasiswa karena tamatan terbaik. Saya tidak mau ambil, karena saya tidak mau jadi guru, karena beasiswanya IKIP. Saya ingin jadi penulis.

pukat noya(1)
Andy F. Noya

Ini memang jalan Tuhan. Ketika baru tamat, saya buka majalah Gadis di Blok M. Saya mau tahu bikin cerpen seperti apa. Ada artikel, “Kalau mau jadi wartawan, ini sekolahnya”. Saya ikut kakak karena orangtua meninggal. Ketika mau masuk Sekolah Tinggi Jurnalistik, kakak saya tidak sanggup membiayai katanya.

Anak muda itu kadang terjebak belajar hal yang tidak membahagiakannya. Saya menemukan banyak anak muda tidak bahagia pada pilihan studinya, begitupun saat ia kerja. Saat ketemu Nugie, ia kenalkan lagi Lentera Jiwa. Itu bisa diberikan kepada anak, adik, murid atau siapa saja. Lentera Jiwa itu harus ditemukan sejak dini, seorang yang mencintai pekerjaannya, sukses itu cuma soal waktu. Bukan sekedar mendapatkan uang.

Ada juga pengusaha sukses yang tidak bahagia, karena bukan itu keinginannya. Kita bisa mundur beberapa langkah untuk menuju apa yang kita yakini. Saya katakan itu pada sang pengusaha, tapi ia tidak siap untuk itu. Saya katakan, Harley Davidson, tidak bahagia jadi nahkoda kapal, ia turun dari kapal dan mulai dengan Harley Davidson. Ia mendapatkan kebahagiaan bekerja. Istri saya tanya, ‘kenapa pulang malam terus?’ Saya katakan, kerja itu seperti rekreasi buat saya.

Persamaan jurnalis dan pengusaha? Ini conflict of interest. Sebagai jurnalis, saat kita menyajikan fakta, akan ada reaksi antara benar dan tidak. Kalau saya bayangkan apa yang terjadi di era senior saya dimana pers adalah alat perjuangan. Mereka menyampaikan kebenaran dan visi bangsa, tidak tergoyahkan oleh materi.

Bedanya ketika saya masuk, industri pers dikuasai pengusaha. Pers dilihat sebagai bisnis yang menarik, di situ kami sebagai jurnalis mendapat harga yang pantas, dibayar sama mahalnya dengan profesi lain. Godaannya adalah visi besar pers untuk menyampaikan kebenaran dan visi bisnis pemodal, maka benturannya luar biasa.

Di buku saya, ada soal ini terkait relasi dengan Surya Paloh saat ingin terjun ke politik. Ada konflik di situ. Saya tidak mau jadi tim suksesnya, tidak mau jadi dewan penasehatnya. Sekalipun saya tidak pernah mau diajak kampanye, ataupun saat tim sukses ingin menyisipkan berbagai kata-kata Surya Paloh, benturan terjadi. Saya jadi banyak skorsing anak buah. Saya tidak mau jadi alat. Ini profesi yang saya cintai dan banggakan. Lebih lengkap, silakan baca sendiri.

Kalau bilang iman tidak cukup, apa takarannya? Saya ada dalam masa transisi antara percaya dan tidak percaya pada Gereja. Saya kecewa pada Gereja, orang-orang Gereja ternyata tidak suci-suci amat. Di Jayapura, saya dan ayah saya ngontrak satu kamar berdua. Di belakang saya, ada gereja. Pada saat itu, saya melihat sesuatu yang menurut saya mengganggu keimanan saya yaitu majelis. Pulang dari gereja, mereka mampir ke induk semang saya, langsung minum-minum bir. Mungkin itu budaya, tapi kalau sampai mabuk, itu tidak masuk akal saya. Ngomongnya ngaco kalau mabuk.

Ada juga majelis, tetangga kami, waktu berantem ia menempeleng istrinya sementara di gereja bicara kasih. Apa yang dikotbahkan di gereja dan yang dilakukan di luar gereja, ini munafik. Bagaimana saya bisa percaya pada orang-orang seperti ini? Saya juga paling jengkel, ini di Jakarta, keluar gereja sudah klakson kiri kanan dan maki-maki di luar. Goyah saya.

Kakak saya yang selalu mendorong saya. Saya katakan, hubungan saya bersifat pribadi dengan Tuhan karena soal iman saya pada Tuhan, kalau mediumnya tidak bisa saya percaya. Itu dulu waktu remaja, jadi saya berani bicara begitu. Kakak saya katakan, kamu itu arang, ketika baranya masih besar kamu bisa seperti itu. Tapi gereja itu seperti tungku, ketika kamu mulai redup, arang-arang yang lain akan menghangatkanmu dan membuatmu tetap membara. Itu kata kakak saya.

Saya tidak pernah ke gereja, masih ada yang belum selesai dengan diri saya. Tiap minggu, saya hanya antar istri ke gereja. Pendeta selalu ajak. Saya katakan, “kalau tidak ada domba-domba sesat seperti saya, tidak ada nanti kerjaan Pendeta”.

Istri saya dari keluarga muslim. Ia satu-satunya yang minta izin saat SMP untuk jadi Katolik. Bapaknya tentara. Ia diizinkan keluarga dan ia jadi Katolik. Waktu saya menikah, saya pun diterima oleh keluarga istri saya yang muslim.

Istri saya katakan, “An, kamu itu kepala keluarga. Anak-anak selalu disuruh ibunya ke gereja, tapi bagaimana dengan ayah mereka yang tidak pernah ke gereja”.

Saya ini jurnalis, kadang saya sering kritis ketika pendeta khotbah. Istri saya minta agar saya beri teladan pada anak-anak.

Suatu hari saya diajak Aburizal Bakrie ke Uzbekhistan. Saya sebenarnya paling takut naik pesawat, tapi agak tenang saat melihat pilot pesawat jetnya bule. Begitu sampai di Maldive, pesawat kena hujan. Saya bilang, “Tuhan, sekarang saya datang pada-Mu sungguh-sungguh”. Selamatlah kami.

Saat pulang, minggu pertama saya katakan pada istri bahwa saya mau ikut ke gereja. Istri tanya kenapa. Saya cerita waktu itu pesawat mau jatuh, dia tanyakan hari dan jamnya. Ternyata saat itu ia bersama si kecil berdoa untuk saya agar saya mau ke gereja. Jadi, mau percaya mau tidak, memang luar biasa.

Lepas dari iman saya yang mungkin belum cukup, ada di buku saya yang lain. Suatu hari, kakak saya kena kanker stadium IV. Kakak saya tidak berani cerita ke saya bahwa ia sudah curiga mengidap kanker payudara. Kenapa? Karena saya menanggung keluarga kakak saya dan lima anaknya, juga kakak yang lain. Penyesalannya, kenapa ia tidak sampaikan dari awal? Ia sembunyi, sampai saat ia sudah tidak tahan lagi.

Dokter bilang, berdoa saja yang banyak, bahagiakan hidup. Ia minta saya ambil alih anak-anaknya. Ia tidak mau masuk rumah sakit, tapi saya masukkan. Walau saya tahu saya tidak punya biaya, tapi saya minta ia di sana. Sampai di sana saya berdoa, ‘Tuhan….”. Saya tidak tahu uang darimana, kalau harus sembuh, harus dipotong. Saya sudah pikir akan hutang kemana kemana dan bagaimana mengembalikan. Harusnya saya bisa sekolahkan anak ke sekolah yang lebih baik, tapi karena menanggung ponakan-ponakan, maka anak sekolah di sekolah negeri. [tidak diselesaikan karena pak Jonan sudah hadir]

Kini saatnya ngobrol bareng dengan Ignatius Jonan dengan fasilitator moderator Andy F. Noya.

Andy Noya: Kalau lihat Pak Jonan, kita tidak tahu bahwa ia tegas. Kita tidak tahu nilai-nilai apa yang ia bawa, hingga kita lihat hasil kerjanya. Apa nilai yang diwarisi dari keluarga?

Ignatius Jonan: Kalau menurut saya, hidup itu pilihan. Saya tidak pernah dalam hidup saya melihat gajah punya sayap, kecuali di dongeng anak-anak. Kalau gajah punya sayap, bahaya. Sudah nangkapnya susah, pohonnya juga tidak cukup besar untuk bertengger. Bertengger di atas rumah Pak Andy, juga bisa ambruk rumahnya. Kalau ditanya tentang ketegasan, saya kira, kerja itu sesuai kebutuhan saja. Kalau butuh tegas ya tegas, kalau butuh tidak tegas ya tidak tegas.

Andy Noya: Apakah datang dari pengalaman hidup atau nilai dalam hidup Anda?

Ignatius Jonan: Kalau boleh prediksi, anggap saja hidup sampai umur 75. Maka 25 tahun pertama itu lebih banyak mengonsumsi daripada memproduksi. Jadi lebih banyak menikmati dunia daripada berkontribusi pada masyarakat. 25 tahun berikutnya, saya kira imbang antara menikmati dan berkontribusi dalam satu dan lain hal. 25 tahun sisanya, harusnya memproduksi jauh lebih banyak, agar neracanya imbang antara consume and contribute.

Waktu krisis 1997-1998, sebelumnya di tahun 1995, saya pikir di umur 40 saya tidak mau kerja. Mau main saja, maksudnya cukup jadi pegiat PMI, bangun sekolah di daerah terpencil dsb. Waktu krisis besar, itu ubah perspektif saja. Saya tidak bisa tidur. Saya pikir, kalau saya tidak kontribusi maka saya jadi warga masyarakat yang egois, bukan karena saya takut uang saya habis. Umur 27 tahun itu saya sudah jadi direktur. Yang saya lakukan di masa krisis itu, saya ketemu teman-teman seperti Marzuki Usman dll. Saya masuk Citibank. Saya juga katakan, kalau negara perlu saya, saya mau kerja apa saja.

Saya pertama di Bahana awal 2001, 5 tahun lebih saya di sana, setelah itu tidak mau terus. Saya bicara dengan Gubernur BI, ia tawarkan saya ke IndoFair, tapi saya pilih ke Citibank. Saya katakan, kalau ke Belanda, saya tidak mau. Saya pergi dari Bahana, karena semua direktur sudah tua semua. Tahun 2009, Pak JK minta saya urusi kereta api. Saya tidak mengerti transportasi, apalagi kereta api itu sangat spesifik. Kalau ada 20 hal di teknik, 18 halnya ada di kereta api. Untuk karakter, semua perjalanan hidup berkontribusi.

Andy Noya: Hidup harus bermanfaat bagi orang lain, menurut Anda. Tapi secara spesifik, apa yang secara spesifik Anda pegang? Ketika Anda membenahi kereta api, ada rumah-rumah digusur, ibu-ibu nangis, dan semua orang bilang pemerintah kejam? Tempat-tempat yang digusur itu, air dan listrik bisa masuk. Dilema Anda menggusur pedagang asongan. Saya menikmati hasil karya Anda, tapi bagaimana dengan yang digusur? Bagaimana itu mengganggu akal sehat kita?

Ignatius Jonan: Kita itu siapa?

Andy Noya: Saya salah bertanya rupanya. Maksud saya, apa yang anda pikirkan dengan penertiban itu? Saya membayangkan, mereka pulang ke rumah dan mereka tidak bawa apa-apa untuk anak istri? Dimana hati nurani Anda?

Ignatius Jonan: Jurnalis itu pro-mainstream, pro ketidakadilan. Tapi begini, kalau ditanya tentang perkereta apian? Semua yang berbicara seperti begitu tadi tidak mengubah apa pun, tapi saya melakukan perubahan. Diundang ke acara PUKAT ini, lama sekali saya tidak respons. Saya katakan, saya tidak cocok ngomong di PUKAT, karena ini profesional dan usahawan Katolik. Kalau bawa-bawa agama itu sulit. Romo mengingatkan saya untuk datang, padahal saya sebenarnya ingin tolak, bahaya mencampurkan agama dan usaha. Siapa itu Romo yang sms saya terus? Ini bahaya menurut saya. Tapi karena ada Pak Andy F. Noya, saya mau datang. Salah satu anchor TV terkenal yang belum pernah wawancara saya, cuma Pak Andy.

Kembali soal tega ngga tega. Kita melihat suatu kejadian atau situasi, harus depth, lalu dipikir lagi apakah plus lebih banyak dari minus. Kalau plus lebih kecil dari minus, pasti saya tidak mau. Asongan itu di banyak stasiun KAI. Kurang lebih 673 stasiun yang beroperasi di Jawa Sumatra. 15% stasiun signifikan untuk naik turun penampung. Separuh dari asongan adalah agen warung di dalam stasiun. Warung itu punyanya anak buah saya semua. Apakah dia bayar sewanya? Bayar.

Ada pegawai namanya IW. Waktu saya bersihkan Jabodetabek, saya tanya dia ini siapa, punya 120 warung. Ini kurang ajar. Kalau Bahana itu keuangan, upper class. Saya ditugaskan di KAI itu 2009. Saya menata internal dulu, baru mulai 2011. Pegawai KAI itu awalnya penghasilan sangat kecil. 2009, penghasilan penjaga palang pintu rel itu 1,5jt. Ia kerja sambilan, kadang mengantuk saat menjaga palang, kecelakaan kereta api tinggi. Saya naikkan pelan-pelan, sekarang penghasilan di Jabodetabek 3-8jt.

Saya ke Gambir, ketemu kepala stasiun di 2009. Anaknya 3, paling besar SMA, paling kecil SD. Tinggal di Serang. Penghasilan sebulan, 2,5jt. Saya katakan pasti kamu nyolong. Ia katakan demikian agar bisa hidup. Sekarang penghasilan 21-22jt. Setelah itu baru saya mulai penggusuran di areal kereta api, karena memang tidak tertib dan asetnya tinggi sekali. Kalau pegawai saya punya 120 warung di Jabodetabek, ini lebih bos daripada saya. Orang melawan ya caranya macam-macam. Termasuk yang lewat arus bawah dan buat banyak orang terharu. Si orang itu, saya pindah dia, tidak terlalu jauh. Cuma di Lhokseumawe.

Untuk ditaruh di perhubungan, saya senang karena bisa ngeluyur. Tapi kalau urusan tulis-menulis tidak bisa. Suatu hari saya ke stasiun Bogor, ada ibu-ibu yang minta bicara. Dia istrinya Ije Wahyudin. Ia berterimakasih kepada saya karena warung-warung suaminya digusur. Kalau tidak demikian, si suami kawin terus.

Saya tentu punya hati nurani. Pedangan asongan ditawari dua kerjaan, yaitu sebagai portir atau petugas kebersihan. Jadi, saya tidak bunuh orang. Jadi kalau ditanya, kami di KAI itu mikirnya lengkap. Waktu saya di KAI, Presiden SBY minta bangun jalur kereta ke Bandara Soekarno Hatta. Ada urusan membeli tanah dan membebaskan tanah, 11 km di Batuceper.

Dalam pengadaan lahan itu, kami buat tim untuk approach warga di situ. Warga tidak mau, ngomong saja tidak mau. Saya datang dan katakan, “Saya tidak datang untuk menggusur Anda, tapi datang untuk membeli tanah Anda. Kalau saya jadi Anda, tentu tidak suka diambil dari akar kehidupannya. Kalau mau nego tidak apa-apa. Ada 1.700KK, tiap anggota keluarga, bisa calonkan satu anggota keluarga untuk bekerja di KAI. Dan akan ada prasasti ucapan terimakasih bagi 1.700KK untuk dipasang di Batuceper. Langsung semua mau!”.

Begitu semua boleh 1 anggota keluarga diterima jadi pegawai, mereka senang, karena mereka pun jadi bagian.

Mengenai penggusuran, itu begini. Ingat sampai kira-kira 2011. Kadang-kadang berita di koran atau TV, ada yang namanya Kapak Merah. Sekarang sudah tidak ada. Kapak Merah itu, rumahnya dulu di Stasiun Juanda. Saat saya bersihkan Juanda, selesai juga urusan Kapak Merah.

Andy Noya: Itu dengan sengaja atau tidak? Ketika ketertiban dilakukan, kejahatan menurun?

Ignatius Jonan: Itu impact. Mungkin sebagian besar tidak pernah ke stasiun Pasar Senen. Dulu, orang ke stasiun Senen, setelah magrib takut masuk, polisi pun takut. Tapi tidak lagi sekarang. Waktu membereskan semua itu, rekan-rekan saya di KAI itu bukan tidak berani tapi harus meyakinkan secara moralitas itu betul atau ngga. Yang tanahnya dibeli, anaknya jadi porter. Untungnya Rp 50rb-100rb di stasiun besar. Tidak ada yang dirugikan, tapi banyak yang diuntungkan. Dulu orang naik atap KRL, sekarang tidak lagi, karena ada saya.

Andy Noya: Waktu kita sempit. Tapi saya ingin Pak Jonan berbagi tentang bagaimana pemerintah RI percaya pada kinerja dan integritas Anda sehingga mempercayakan posisi Menteri Perhubungan pada Anda. Apakah ini membuat Anda bahagia?

Ignatius Jonan: Yang kenal saya dari muda, di samping istri saya ada Pak Darmono, dsb. Saya ini umur 52. Pertanyaan bahagia atau tidak bahagia itu bagus, tapi tidak pada tempatnya saja. Tugas ini harus dipandang sebagai amanah, soal hati harus ditaruh di pinggir. Saya akan merasa bahagia apabila… begini, goalnya itu transportation harus safety, kemudian urus public transport capacity, dan kalau bisa public transport quality. Kalau ini bisa, saya akan bahagia nantinya. Saya dulu sekolah di Senlui, ijazah Matematika saya 10 waktu itu. Anda bisa tanya kepada orang-orang yang mengalami agar bisa dapat perspektif.

Andy Noya: Yang hadir hari ini adalah kaum profesional, pengusaha (di luar Romo dan Mgr). Bolehkah ada sesuatu terkait integritas? Terlepas Anda tidak suka ada embel-embel agama, tapi mereka adalah pengusaha-pengusaha yang ‘kebetulan’ beragama Katolik? Apa yang Anda harapkan? Di negeri ini, jadi pengusaha jujur itu bisa mati, apa batas untuk menjaga integritas dan mengurangi dosa kita, menurut pandangan Anda?

Ignatius Jonan: Saya naik mobil dari rumah ke sini, ada tulisan di salah satu truk: “Keselamatan (safety) dimulai dari diri sendiri”. Dunia makin lama makin borderless, perspektif moralitas dan integritas jadi makin seragam. Di generasi yang lebih muda, perkembangannya makin cepat. Suka atau tidak suka, dibuat atau tidak, perubahan jalan terus. Termasuk, standar integritas. Dalam perspektif saya, coba sajalah. Bukan mungkin atau tidak mungkin, tapi bisa mungkin untuk tidak menciderai orang lain, tidak mengambil hak publik. Satu saja itu dulu. Tidak merampas hak publik secara tidak fair. Ini broad perspektif nya.

Saya ingin tanya, yang kerja di airlines atau air charter siapa? Atau yang berkaitan dengan civil aviation ada? [Ada satu peserta yang kerja untuk Rajawali Air, sedang proses untuk AOC. Tidak terbit karena Jayawijaya itu ‘cargo only’. Ada juga yang kerja di Singapore Airlines – Singapore] Saya mau pesan begini, kalau ada PUKAT lagi, ini bisa jadi topik karena saya sudah tidak urusi asongan lagi. Saya dulu urusi KAI, kumpulkan tantangannya dulu. Kalau KAI itu kurang lebih sebotol, penerbangan sipil itu se-drum tantangannya. Pemerintah sekarang berpikir tentang safety untuk public aviation.

Safety itu menjadi hak pengguna transportasi umum. Pemerintah akan menjalankan semua upaya yang dimiliki untuk menjamin keselamatan transportasi membaik. Kalau ini diterapkan dengan sungguh-sungguh, silakan mulai dipikirkan.

Andy Noya: Terimakasih pak Jonan. Tadi seluruh hadirin sudah was-was antara Anda bisa hadir dan tidak, tapi ternyata Anda bisa hadir. Karena rencana Tuhan, Anda dan saya bisa hadir di sini, dan saya yakin banyak perenungan yang bisa kita dapatkan. Nilai-nilai semoga bisa ditangkap dan jadi pegangan kita.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here