BERIKUT ini beberapa pertanyaan dari para peserta Konvensi Nasional II PUKAT (Kelompok Profesional dan Usahawan Katolik). Pertanyaan ditujukan kepada dua Uskup yakni Mgr. Ignatius Suharyo dan Mgr. Vincentius Sutikno yang memberi paparan di forum Konvenas II PUKAT ini. (Baca: Profesional dan Usahawan Katolik: Bangun Relasi Pelaku Ekonomi dan Gereja (2)
- Saya protes pada Mgr. Sutikno. Anak saya satu, inginnya tiga, tapi Tuhan cuma kasih satu. Saya sudah ke dokter. Rencananya satu jadi pengusaha, satu jadi pastor, dan satu jadi dokter. Jadi saya protes pada pernyataan Mgr. Sutikno yang menyalahkan pengusaha ketika hanya punya anak sedikit (Ibu Indah – PUKAT)
- Kami terkesan dengan dua penyaji, tapi kami protes soal satu mina yang tidak dikembangkan tapi oleh Mgr, justru didukung. Bagaimana sosialisasi ke masyarakat? Dan mengapa ada tuduhan yang nggak-nggak kepada mereka yang mengembangkan minanya? (Wahyu Wibowo – PUKAT Keuskupan Jayapura)
- Terkait judul, “Berbagi Talenta dalam Dunia Usaha”, apakah memang ada planning untuk berbagi talenta dalam dunia usaha setelah Konvenas II? Dari Sabang sampai Merauke, berjajar umat Katolik dan pengusaha Katolik, apa yang bisa dilakukan untuk berbagi talenta dalam dunia usaha ini? Apakah tetap masing-masing seperti ini, kumpul dan makan, atau kita ingin benar-benar berbagi? (Selfana Gunawan – PUKAT Keuskupan Bandung).
- Proficiat untuk PUKAT Nasional yang akhir-akhir ini sangat memotivasi PUKAT daerah, dan kita bisa kumpul sangat banyak. Umat Katolik di Indonesia ada 7jt orang. Kalau 0,1% pengusaha, ada 7.000 orang. PUKAT sekarang baru 100 orang yang aktif, sudah berbuat dan ada yang sudah kelihatan. Tidak mustahil, kebersamaan kita harus membangun dan PUKAT di nasional makin tumbuh. Keuskupan tidak bisa jalan sendirian, tidak ada persoalan yang bisa diselesaikan semua oleh hirarki, kita pun sebagai awam perlu memikirkan bagaimana Gereja dibangun bersama. Di Gereja katolik, Romo dan Uskup tidak terbiasa meminta bantuan, jadi perlu kesadaran kita sebagai umat, yang mungkin diberi talenta lebih, menawarkan diri dan bekerjasama dengan para hirarki. Kita, ada juga pak Dirjen di sini, gereja Katolik kalau umat diinventarisir, juga pembayar pajak terbesar. Di pemerintah kita kecil sekali dibantu, sehingga kita berusaha sendiri. Pak Dirjen bisa pikirkan, kita hampir tidak pernah diperhatikan. Gereja katolik, tidak usah sungkan, waktunya juga kita meminta diperhatikan. PUKAT juga perlu lebih promosi, ini juga agar umat yang lain kenal dan bisa terlibat. (Julius Y. Tedja – PUKAT Keuskupan Makassar)
- Ketua punya impian yang luar biasa, khususnya mendirikan rumah sakit. Tapi apakah tidak bertentangan dengan keuskupan karena keuskupan juga punya? PUKAT kalau di Samarinda, ini baru. Selama ini kami tahunya PUKAT itu kelompok Toraja, karena namanya juga Pukat. Setelah baca brosur dari Mgr, baru tahu PUKAT. Apa yang diharapkan seluruh keuskupan di Indonesia pada PUKAT, kalau memang ini sudah betul-betul settled? Apakah impian paling mendalam dari keuskupan? (Johny Sinatra Ginting – PUKAT Samarinda)
Tanggapan nara sumber
Mgr. V. Sutikno:
Tentang anak, konteksnya untuk memotivasi PUKAT Surabaya, untuk membuat program.
Maksudnya Anda punya resource banyak tapi membatasi jumlah anak karena tidak mau repot. Kalau tidak punya anak, maka beri kesempatan kepada anak-anak yang lain. Kalau orang dulu, bilangnya anak itu perlu 4, seperti kaki meja yang kokoh. Kalau tidak membatasi, dan tetap hanya satu, ya tidak apa-apa.
Saya katakan, sekarang kadang orang kawin tetapi bikin program tidak mau punya anak, saat sudah ingin, rahimnya nolak, ya salahmu! Itu yang saya maksudkan, jangan merekayasa, perencanaan ya boleh tapi tidak membatasi, walau juga tidak berarti sebanyak-banyaknya. Anak adalah bonum prolis, kebaikan dari keturunan, buah cinta kasih. Jangan hitung-hitungan buah cinta kasih. Apalagi katakan cukup untuk cinta.
Beri anak-anak penghargaan, tahu cara berhadapan dengan anak perempuan ataupun anak laki-laki. Semboyan KB yang baru, ‘dua anak, lebih baik’. Orang Katolik katakan, ‘dua anak lebih, baik’. Eropa kemasukan migran berlebih, karena sedikit anaknya.
Tanggapan Mgr. I. Suharyo:
Saya memberi tanggapan umum. Kalau tidak memahami kitab suci secara umum, sulit memahaminya. Dibalik setiap perumpamaan ada sejarah. Herodes ada tiga anak. Salah satunya
Archelaus, yang juga ingin jadi raja menggantikan ayahnya. Archelaus kejam dan semena-mena, pekerjaannya merampas, mengambil yang tidak ditabur. Rakyat yang menolak, risikonya dianiaya. Satu orang yang menyimpan satu mina tadi adalah yang menolak tingkah laku Archelaus, active non violence, dan akhirnya daripadanya diambil dan dibunuh. Ini apa ini? Masyarakat seperti apa yang digambarkan di sini?
Archelaus bukan hanya diktator, tapi juga punya pasukan yang bisa menculik dan membunuh. Yang lain takut, dan memperlakukan minanya yang satu itu seperti Archelaus yang jahat. Dalam tafsir kitab suci, orang yang menyimpan mina inilah orang yang resisten, yang menolak pola perilaku kekuasaan yang menindas. Itu inti awal perumpaan.
Dalam perjalanan waktu, ketika konteksnya berbeda, maka penafsirannya berbeda untuk mengembangkan talenta. Tidak masalah, tapi jangan ngawur seperti Archelaus. Sistem masyarakat, politik, sosial sejak dulu itu bisa jahat. Dosa itu tidak hanya pribadi, tapi juga struktural. Sistem ekonomi yang tidak adil itu dosa struktural.
Memang PUKAT bisa melakukan hal-hal yang sangat praktis bagus, tapi salah satu tugas pengusaha Katolik adalah menyucikan dunia usaha. Bagaimana? Berjuang bersama-sama agar sistem ekonomi di Indonesia ini adil. Beri derma kepada keuskupan itu bagus sekali, tetapi tugas yang sangat penting, tidak gampang, dan membutuhkan keberanian adalah menyucikan dunia usaha.
Di Ganjuran, 1927 ada pabrik gula yang dikelola berbeda dibanding pabrik gula VOC. Pabrik gula bernama Gondang Lipuro itu dikelola seorang Katolik yang baik, keluarga Julius Schmutzer (1912). Buruh-buruh pabrik diberi bagian saham, mereka tidak hanya buruh yang digaji, tapi punya saham sesedikit apapun sehingga mereka merasa memiliki pabrik itu, mendapat bagian dari keuntungan. Ini contoh yang konkrit sebagai respons dari Rerum Novarum.
Yang juga sering saya ceritakan yaitu economy of sharing, economy of communion diinisiasi seorang guru TK. Tahun 1991 dia ke Brasil dan melihat jurang antara gedung tinggi dan kumuh. Ia tidak mengerti ekonomi, tapi dia katakan apa mungkin menciptakan sistem perusahaan yang menyejahterakan semua. Lalu setelah beberapa waktu, muncul economy of sharing. Kalau diceritakan secara sederhana seperti ini: perusahaan untung, keuntungan dibagi tiga. Sepertiga untuk derma, sepertiga untuk formasi atau mendidik, mendampingi dan mengkader orang-orang memiliki semangat seperti ini., sepertiga lagi untuk pengembangan perusahaan. Di Eropa ada Fair Trade, yang tidak akan menggunakan tenaga anak-anak dan lainnya. Ini sejalah dengan karitatif.
Seorang dekan universtas Katolik datang kepada saya dan bertanya, “Romo, apakah dosen ekonomi bisa membantu paroki-paroki, bendahara-bendaharanya?”
Saya katakan, “Maksud anda baik, tapi sebagai dosen, baiklah anda mengajar sedemikian rupa sehingga menghasilkan orang-orang yang punya keprihatinan”. Membantu bendahara paroki bagus, tapi sebagai profesional di bidang keilmuan, harus mendidik murid-muridnya agar punya watak yang utuh.
Kalau dari sisi kitab suci, kotbah tidak harus sama terus. Tapi ada yang bisa dilihat dengan baru. Dalam konteks PUKAT, ini relevan, sebagai orang yang menolak praktik-praktik yang tidak bagus.
Apa yang diharapkan oleh PUKAT? Saya kembalikan jawabannya pada PUKAT. Kita tahu ajaran sosial Gereja, tapi ajaran itu tidak berhenti pada ajaran atau konsep teori. Ajaran sosial itu untuk dilakukan, bukan dihafalkan. Cara menjalankan ajaran sosial Gereja, komunitas-komunitas termasuk PUKAT, harus jawab pertanyaan sederhana: Apa yang harus dilakukan agar lingkungan hidup kita semakin manusiawi?
Pada tataran tinggi harus bertanya, dan jawabannya diberikan di situ.
Ada dua hal untuk mengajukan pertanyaan ini, yaitu kompetensi etis compassion atau bela rasa, dan kompetensi etis kedua adalah kerja sama. Bukan sekadar apa yang saya lakukan, tapi yang kita lakukan. Kerja sama itu sulit, berkelahi itu gampang. Kerja sama membutuhkan pengorbanan besar dan kompetensi etis. Silakan PUKAT masing-masing keuskupan mengajukan pertanyaan itu: Apa yang harus kita lakukan agar lingkungan hidup kita semakin manusiawi? PUKAT mengajukan itu dan muncullah gerakan pendidikan. Jawabannya bisa sangat kecil, bertemu sekali seminggu untuk diskusi, dan dari sana muncul jawaban-jawaban yang sangat konkrit. Kita cari jawabannya secara kontekstual.
Tanggapan Mgr. V. Sutikno:
Tanggapan dari Mgr Suharyo membuktikan keseniorannya. Bagaimana dengan PUKAT? Supaya businessman menjadi profesi, punya compassion dan solidaritas pada yang miskin, apakah Anda berani mengatakan profesi Anda adalah businessman dan Katolik? Gereja Katolik itu kadang acuh tapi butuh.
Saya katakan pada PUKAT Surabaya, saya tidak akan minta kepada lembaga. Pernah keuskupan Surabaya hampir bangkrut, dan mengadakan dana abadi. Terkumpul 2M. Keuskupan hidup dari bunganya. Itu kurang percaya pada kemurahan hati Allah. Gereja Keuskupan Surabaya harus percaya penyelenggaraan Ilahi. Hidup dari kolekte.
Sebagai uskup, saya akan minta per pribadi, contohnya pada saat pendirian seminari. Itu karena sudah kadung memutuskan pendirian seminari sendiri. Tidak lewat PUKAT, tapi ya orang-orang PUKAT.
Berbahaya kalau ada kebanggaan kalau PUKAT yang langsung memberi. Tangan kiri tidak perlu tahu yang diberi tangan kanan. Ada satu universitas, Darma Cendikia, didirikan oleh awam. Lalu bagaimana? Dimatikan saja? Kan sudah ada Widya Mandala? Bagaimana saya sebagai uskup sekaligus pembina universitas itu? Ya akan minta, atau pinjam.
Pengusaha juga tidak perlu ditakuti-takuti kurang sumber dana. Sucikanlah pekerjaan Anda sebagai pengusaha yang punya hati dan visi ke depan. Apakah sebatas selesai tugas Anda di dunia? Atau, buah dari itu, fellowship? Antar Anda, tidak perlu saling menipu. PUKAT perlu dipuji dalam soal low risk.
Bagaimana modal/kapital Anda? Kapital itu dari kata ‘caput’ atau otak, jadi ide? Gubernur NTT katakan, kalau mau enterprises baru, bisa dengan ternak babi. Eropa itu dapat protein dan badannya gede karena makan babi. Babi itu murah, tapi jangan kebanyakan juga karena lemaknya berbahaya. Saya harap bisa diekspor juga ke Jawa. Saya sudah mulai, 28 babi jadi 67 babi dalam setahun. Air limbahnya sudah masuk dalam sumur sendiri, tapi ya tidak boleh. Jadi ya diekspor saja, buat kemasan yang bagus.
Tanggapan Bpk. Harry Tjan Silalahi:
Saya ingin menjawab penanya dari Makasar.
Pada permulaan Orba, misalnya Gereja Katolik, pertama kali didirikan Dirjen Katolik karena kita dianggap memenangkan ateis menjadi pietis. Lalu, mau dikasih dana yang banyak, mendirikan sekolah agama negeri Katolik.
Saya ketua fraksi, saya tolak. Karena, nanti ada Sekolah Katolik Negeri dan ada Sekolah Katolik Katolik. Banyak para sepuh Katolik yang marah, karena dikasih duit koq tidak mau. Kami tidak mau urusan Gereja dicampuri negara, karena kalau sudah begitu kita akan diperalat.
Memang itu tidak boleh menurut saya, dan saya rasa benar untuk menolak subsidi dan pendirian sekolah Katolik Negeri. Protestan menerima waktu itu. Maaf kalau ada Dirjen Katolik di sini, kalau kita bertemu seperti ini, jangan minta Departemen Agama. Kalau mahasiswa, mintanya ke Departemen Pendidikan. Kalau pengusaha, ya ke Departemen Perdagangan. Tapi jangan ke Departemen Agama, karena kita ini kerasulan awam, bukan underbow negara. Negara tidak boleh pelan-pelan kita dorong menjadi negara agama. Jangan mau duitnya, tapi tidak lihat prinsipnya.
Rangkuman Moderator:
Saya berterimakasih kepada Mgr. Suharyo dan Mgr Sutikno, juga Pak Harry Tjan. Kita diajak menyucikan pekerjaan kita dan hidup kita, dan kita bisa memulai dari diri kita.