“SUSTER tidak mau bermalamkah?”
Gadis kecil duduk di samping sebelah kiriku bertanya padaku. Namanya Siska. Siswi kelas 4 SD Negeri tepi Sungai Mengkiang.
“Hari tengah hujan, Suster.”
Gadis yang duduk di sebelah kananku menyahut.
Aku senyum. Dan bersamaan dengan mereka melihat arah luar rumah dari pintu sebelah kanan kami. Ya, hari masih hujan. Lebat lagi, dengan angin yang cukup kencang.
Beberapa umat yang duduk melingkar di sebelah kanan kiri kami turut menyatukan pendapat. Meminta aku bermalam saja.
Ada yang meminta menunggu hingga sore hari. Ada yang menahan kami dengan menuangkan kopi panas di gelas-gelas dan diedarkan ke kami juga.
Kalau ada kopi, tak akan mampu membungkam pesonanya, aromanya, dan nikmatnya. Apalagi kopi desa asli. Aduhai, mertua ada pun tak ditoleh.
Memang tak bermertua. Jomblower pilihan hidup. Ada juga yang masih lanjut menyantap ikan bakar yang hangat, dimakan dengan sambal manis asam. Yang lain menyaringkan suara, menyanyikan lagu berpantun sahut menyahut, nyambung nggak nyambung yang penting gayeng.
Beginilah saat kumpul bersama umat.
Bila tak ada jadwal lain, pastilah bersedia menahan diri sementara waktu untuk menikmati kopi pemersatu orang kampung bersama mereka. Umat di stasi-stasi sudah tahu dan saling memberi info apa yang disukai suster. Kopi.
Tidak tahu juga bagaimana umat meracik dan membuat kopi siap diseruput. Aroma dan nikmatnya melekat. Soal rasa tetap ada pahitnya. Tetapi di balik pahitnya, ada rasa manis yang menyertai pahitnya. Gula pasir tentunya.
Begitu pula dengan peristiwa hidup.
Memikat peminum berbagi kisah-kisah hidup hingga tak terasa berapa lama waktu untuk berbagi. Di saat berbagi itulah yang sering kali ada saja kisah yang menguatkan, menginspirasi, memotivasi, mengenal satu sama lain, dan terciptalah cakrawala baru.
Urusan tidur tetap tidur, tak ada pengaruh dengan adanya kopi. Nikmati kopi bersama umat.
Perjalanan menuju Stasi Enjaber
Stasi yang kukunjungi ini menjadi awal pelayanan di tahun 2024. Beberapa kali pernah melewati stasi ini untuk turne ke stasi yang lebih jauh dan lebih dalam ke pelosok sana. Perayaan sabda di salah satu stasi yang cukup jauh. Dengan waktu tempuh kurang lebih satu jam. Bila lancar tanpa kendala.
Jadwal perayaan sabda pukul 08.00 WIB. Kami bertiga memutuskan berangkat pukul 06.30 WIB.
Perjalanan kami melewati tujuh desa, hutan, kebun sawit, dan ladang. Jalan yang penuh sensasi; berlubang, beraspal, tanah berbatu besar, tanah berkerikil, tanah padas, jalan bersemen dan tanah kuning timbunan baru oleh tentara masuk desa.
Empat desa dari tempat kami tinggal masih jalan mulus, beraspal. Tetapi setelah itu, mulailah dengan aneka jenis tanahnya. Bila musim kemarau berdebu bagaikan salju. Bila hari hujan, kubangan-kubangan lumpur, berbubur dan licin, sandal putus kenanya. Bisa dijadikan museum sandal disepanjang jalan.
Lokasi terpencil dan jauh
Tempat ini jauh ke dalam, masuk ke kampung. Sudah beberapa kali jalan diservis, diperbaiki ditimbun dengan tanah berbatu kecil, jadi jalan agak keras. Saat hujan jalan masih bisa dilewati. Tetapi pemakai jalan berkendara dengan berbagai jenis muatan dan jenis armada, tidak bisa juga menuntut jalan selalu bagus.
Rasanya letih. Tetap saja letih, tetapi menyenangkan. Sepanjang melewati hutan, kanan kiri aneka pohon buah, pohon hutan yang menjulang tinggi sampai dengangak, pucuknya nun jauh tinggi. Batangnya besar, ada satu seperempat sampai satu setengah pelukan orang dewasa. Sejuk, seger, adem.
Kondisi jalan yang tidak beraspal membuat badan capeknya bertumpuk-tumpuk. Lebih capek dari pada jalan mulus beraspal. Dari posisi duduk anteng berkendara, lalu badan geter-geter melewati jalan berbatu kerikil sekian menit.
Gerakan badan berganti lagi menjadi lompat-lompat kecil dari tempat duduk karena jalan mulai berbatu agak kasar, terpelanting kalau melewati jalan yang tak rata seperti sungai kering. Tekstur jalan yang bersensasi ini membuat kita yang membonceng harus rileks ngikuti yang membonceng.
Cara yang saya lakukan ini setidaknya membantu memperingan beban goncengan, tidak berlawanan dengan yang membonceng.
Riuhnya tertawa bersama dan bercerita sepanjang jalan mengurangi rasa jauhnya jarak yang ditempuh. Dari pada mengeluh, semakin terasa capeknya. Lagian untuk apa mengeluh. Senang hati dengan perjalanan turne, ragam kisah ragam pengalaman.
Lebih berat yang dialami Maria
Kalau pengen mengeluh, ingat saja Ibu Maria waktu mengandung Yesus dan setelah Yesus lahir. Juga saat mereka diuber-uber Herodes yang menggila ketakutan dengan Bayi yang akan menjadi Raja, Herodes yang takut disaingi posisinya oleh seorang Bayi.
Jalan jelas tak beraspal, tak ada listrik, tak ada ojek online, kalau ada apa-apa dengan bayi tak ada posyandu, apa lagi puskesmas. Lebih berat, lebih susah.
Tetapi Ibu Maria, Yosep dan Si Bayi tetap sehat, kuat. Sepertinya, di Injil tak ada data tumbuh kembang kesehatan fisik mereka. Mencoba membaca dan mengerti bahwa sesulit apa pun situasi, Allah memberi rahmat agar kita mampu melalui segala peristiwa hidup. Perjalanan turne tak seberapa dibandingkan perjalanan Keluarga Kudus meski kami melewati jalan berlumpur.
Tak bisa mengelak, sudah menjadi kewajiban sebagai imam, biarawan, biarawati yang bertugas di desa. Penanaman iman dan memelihara iman umat wajib dilakukan, berperan. Juga membumikan Injil di mana pun, kapan pun, dan bagaimana pun caranya.
Ini adalah ketaatan. Kewajiban membagikan Kristus dalam rupa sakramen. Risiko janji ketaatan, mau nggak mau ya harus mau. Inilah dasar hidup ngejomblo demi Kerajaan Allah. Biar pun jomblo akut tetap harus jalani.
Perjalanan berangkat kami tempuh kurang lebih satu jam. Sempat berhenti menambah bensin dan mengecek angin ban motor. Diusahakan tidak terlalu banyak angin supaya tidak licin dan lebih aman berkendaraan.
Pelayanan turne
Tiba di gereja Stasi Enjaber, Paroki Katedral Keuskupan Sanggau, Kabupaten Sanggaupas, Kalbar, pukul 08.00 WIB. Agak tergesa-gesa turun dari motor dan melangkah masuk ke gereja. Suara orang menyanyi dengan iringan musik. Tepat di depan pintu gereja dan melihat ke dalam, ternyata bangku masuk kosong. Beberapa OMK Latihan menyanyi Mazmur dan Alleluya.
“Suster, kami latihan menyanyi dulu.” Izin dengan nada keakraban, padahal kami belum pernah bertemu sama sekali.
“Oke,” jawabku singkat. Ada juga waktu untuk persiapan.
Perayaan sabda dimulai pukul 09.00 WIB, menunggu umat hadir. Gereja pun terisi penuh; anak-anak, remaja, OMK, dan orangorang tua. Sound system dicek, lilin mulai dinyalakan, memilih lagu bersama dan menulisnya di papan tulis hitam berukuran 50 x 70 cm dengan kapur tulis putih.
Beberapa kali lagu dihapus dan diganti. Lagu yang dipilih yang mudah dinyanyikan. Pemain keyboard begitu hapal dengan lagu-lagu yang dipilih. Tanpa buku dia mainkan alat musik itu. Mereka begitu paham lagu yang pas untuk dinyanyikan dimasa biasa. Inilah tanah subur untuk menanamkan iman. Meski di sudut sebelah kiri dekat patung Yesus masih terpajang pohon Natal lengkap dengan hiasan dan lampu yang kelap-kelip.
Menurut penuturan salah satu umat, sengaja tetap dipasang dan tidak dikemas dirapikan dan disimpan. Biar rame, bagus, dan bikin semangat. Dan hal ini akan berlangsung sampai ketemu Natal lagi. Biarpun Masa Prapaska, masa sengsara. Biar Yesus lahir terus, pesta terus.
“Hadeehww.” Batinku merespon. Jadi bukan mereka tak mengerti tentang liturgi, mereka tahu tapi sengaja demikian, beri pengertian pun percuma.
Perayaan Sabda
Perayaan Sabda berlangsung khidmat, lancar, dan meriah. Ada kejadian yang membuat saya kagum. Seorang laki-laki muda, gagah berjalan ke gereja saat kami Perayaan Sabda. Dia memberi tahu seorang ibu yang saat itu membawa anaknya masuk ke gereja dari teras gereja. Ibu itu berjalan maju ke tempat duduk seorang bapak yang duduk dekat altar. Laki-laki itu tidak berkutik, tidak menghiraukan apa yang dikatakan ibu itu. Ibu itu kembali ke tempat duduk.
Bapak dan ibu tetap melanjutkan mengikuti perayaan Sabda, sedangkan laki-laki muda yang berdiri di luar gereja akhirnya pergi setelah menunggu beberapa menit. Tanah subur berikutnya yang saya temukan, bagaimana bapak ibu ini tetap fokus pada Perayaan Sabda, mengutamakan Kristus, urusan manusia bisa diurus nanti.
Umat menyatu dalam perayaan Sabda ini hingga usai. Memuji dan memuliakan Tuhan dengan penuh semangat, tak peduli dirigen menghentikan lagu. Umat tetap lanjut menyanyi sampai semua bait dinyanyikan. Dirigen hanya mampu senyum-senyum dengan wajah memerah. Melihat antusias umat menyatukan hati dan budi dalam perayaan Sabda menjadi obat capeknya badan dan pengobar semangat mewartakan Kristus. Tanah subur berikutnya, penanaman iman terus melaju.
Harapan–harapan dan permintaan dalam renungan, untuk tetap bertahan dalam iman kuutarakan. Membiasakan anak-anak untuk jatuh cinta pada Yesus dan Bunda Maria, dengan melihat orang tua berdoa bersama di gereja dan di rumah, juga dalam doa Rosario. Melibatkan anak-anak mendoakan Salam Maria dalam doa Rosario bersama meski ucapan mereka belum tembus jelas.
Perayaan Sabda berakhir di pukul 10.00 WIB. Pukul 10.30 WIB beranjak keluar gereja ke rumah pemimpin umat. Tiga puluh menit untuk foto-foto dengan umat. Bersama seluruh umat, ada yang pribadi, khusus dengan OMK, dan ada yang bersama keluarga. Serasa jadi artis, banyak yang minta foto. Seperti ini bisa dimengerti karena baru kali ini suster ke Stasi Enjaber dan pimpin sembahyang di gereja stasi.
Kunjungan umat
Kebersaman berlanjut di rumah umat. Beberapa umat mengundang untuk datang ke rumah mereka. Hukumnya wajib. Makan bersama, makan buah-buahan yang tinggal petik.
Inilah kesempatanku makan buah durian dan mentawak yang baru musim buah lebat. Kalau tak musim buah, buah ini tak ada sama sekali. Dan ngopi dulu, sebelum lanjut pulang sambil menunggu hujan reda.
Kebersamaan ini tidak hanya makan bersama dan ngopi, makin gayeng saat berpantun dalam lagu. Di akhir lagu menyebutkan siapa yang akan ditunjuk untuk berpantun selanjutnya. Menjadi gayeng karena lirik-lirik yang mereka ciptakan spontan, menarik, lucu, dan romantis. Tetapi semua dikemas dalam kacamata bercanda bukan serius. Umat begitu mudah menyambung pantun dalam nyayian, secara spontan tanpa konsep.
Kami mengundurkan diri setelah hujan mereda. Mereka meminta untuk saya bermalam karena jalan basah dan buruk. Saya menolak halus karena esok hari harus kerja, rutinitas perutusan di sekolah dan rekan yang menghantar juga da kegiatan persiapan kegiatan OMK di stasi tempat tinggalnya.
Mereka tetap mengharapkan kedatangan kami saat hari gawai adat, hari syukur panen tahunan. Hari pesta panen dan setiap rumah menyajikan makan hasil panen. Ini biasanya dari rumah ke rumah sampai semampunya. Sampai capek, sampai satu desa kalau mampu.
Korban smackdown tunggal
Sebelum lanjut perjalanan pulang, cek kondisi angin ban motor. Persiapan jalan yang pasti lebih buruk dari saat berangkat, karena hujan lebat sudah mengguyur dan kini sedang gerimis lembut. Tidak menutup kemungkinan gerimis tetap turun sampai biara.
Senyuman-senyuman kami sudah menjadi tanda bahwa kami siap dengan kejadian-kejadian yang mengejutkan yang bakal terjadi, setelah melihat jalan di depan kami yang seperti nasi tim adek bayi.
Lima ratus meter dari kampung, motor tak bisa bergerak karena lumpur. Motor pun mulai berjarak cukup jauh satu dengan yang lain. Laga lumpur tanah kuning dimulai.
Otak mulai main tebak-tebakan dengan tanah di depan, mana yang keras mana yang lembut. Bekas-bekas jejak ban motor terlihat dalam. Jalan yang keras pun tetap harus pelan, karena licin. Gerimis tetap tebar pesona. Dan aku yang membonceng memilih turun dan berjalan. Setelah tampak aman, aku mulai membonceng dan berjalan.
Belasan meter kemudian, motor berhenti, di depan lumpur. Aku memilih berjalan, baru beberapa langkah, terbanting d ilumpur. Bagai korban smackdown, tanpa penantang.
Smackdown tunggal. Senyuman yang nempel di bibir kami, berubah jadi cekaka’an, tertawa lepas dan keras. Jalan milik kami bertiga saat itu, tak ada yang lain.
Karena terjadi beberapa kali, aku putuskan untuk jalan kaki sampai menemukan jalan yang bener-bener aman menurutku. Dalam perjalanan berlumpur ini, kami bertemu dua motor dengan masing-masing dua orang pengendara, empat orang.
Dua orang pembonceng, bapak dan ibu juga memilih turun, berjalan bersamaku. Bapak begitu lancar jalannya, lebih cepat dari kami, saya dan ibu.
Saya dan ibu bercerita di sepanjang jalan kaki kami. Ibu menenteng sandalnya. Saya menggendong tas yang berisi buku-buku untuk Perayaan Sabda, air suci dan sibori. Tak ada bawa baju ganti.
Celana panjang saya pakai pergi dan pulang dari pelayanan. Jubah linthing dan disembunyikan dalam jaket linthingannya. Tas kecil milik rekan dan sandalku yang lekat dengan tanah kuning yang tebal.
Kami berhenti bersama pengendara yang lain di jembatan semen. Sambil bercanda, berhenti membersihkan lumpur dalam mesin dan di dalam ruji-ruji motor. Bertumpuk-tumpuk tanah kuning itu tersimpan. Ban motor milik pastor yang kami pakai sudah di-setting menggunakan ban khusus untuk di lumpur.
Tapi sungguh hebat tanah kuning ini. Tetap menyumbat mesin dan ruji-ruji motor yang membuat motor berat berjalan. Saya tak bisa bayangkan, bila memakai motor dengan ban motor biasa. Pasti tak akan bisa berjalan sama sekali. Ranting-ranting kayu yang kami dapat di kanan kiri jalan sudah banyak yang patah. Sedikit-sedikit tanah lumpur terlepas, tapi tidak yang masih nongkrong di dalam mesin motor.
Gerimis masih tetap berbaris padat ke arah bumi, tak bisa membantu kami melepas lumpur ini. Jaket sudah mulai berat, mulai basah.
Melepas ketakutan, melepas kelekatan
Selagi masih berpijak di semen, saya membersihkan tanah liat yang menebal di sandal di rumput-rumput yang basah. Tanah liat mulai menipis dan kembali ringan untuk dipakai. Tanah liat di ruji-ruji motor pun mulai berkurang. Kami lanjutkan perjalanan. Tawaran untuk membonceng saya tolak, memilih untuk jalan sampai menemukan jalan tanah keras.
Beberapa meter kemudian tanah kembali menebal di sandal. Dan sandal pun putus sebelah kanan. Sayang ditinggal, masih ada penahan satu meski tak nyaman kalau dipakai. Sandal saya tenteng. Sayang ditinggal, kalau dijalan bagus masih bisa dipakai.
Otak mulai cerewet. Hati mulai kesal. Antara mau ninggalkan sandal dan tetap membawanya. Antara sayang masih bisa dipakai dengan ikhlas tinggalkan. Antara sandal nyaman dipakai, hanya bisa dibeli di kota propinsi, dengan jalan kaki kosong dan beli sandal jepit kalau ketemu warung di desa terdekat. Takut meninggalkan kenyamanan, karena melekat pada kenyamanan sandal. Pikiran dan hati mulai cerewet terus, tangan mulai berat bawanya.
Kaki berhenti melangkah di rumput Putri Malu. Tangan kiri meletakkan sepasang sandal itu dan hati berkata “Aku tinggalkan’. Dan melanjutkan Langkah.
Saat itulah saya merasa ringan. Hati ringan, pikiran ringan, Langkah kaki pun ringan. Gerimis semakin padat, jaket makin basah, tas mulai basah, tetapi tak terasa berat.
Inikah sengatnya rasa ikhlas? Inikah sentuhan ketulusan? Inikah pelukan lepas bebas? Atau inikah permintaan Yesus untuk lepas bebas, melatih kebebasan batin? Semoga manusia satu ini menjadi tanah subur.
Jauh di depanku, kulihat dua rekan teman berjuang menguasai motor, tanah, jalan dan diri sendiri. Kasihan melihat rekan-rekan yang membawa motor.
Saya tetap memilih untuk tetap berjalan, entah sudah berapa kilometer saya berjalan. Dan masih di kampung yang sama, belum keluar kampung belum masuk kampung berikut.
Perbandingan
Kulihat rekan berbaring letih di semak-semak dengan orang lain lagi. Mereka berkisah tentang jalan buruk dengan bahasa lokal. Salah satu rekan mendahului pelan-pelan, satu rekan menunguku dan memintaku untuk membonceng karena jalan tanah lebih aman.
Tak terasa dua desa terlewati dengan berjalan kaki kosong. Diujung Desa Biding dekat Desa Tonye jalan tanah agak lebih aman. Kami memilih jalan masuk kampung Tonye, jalan bersemen.
Keluar kampung ini jalan sudah mulai beraspal. Masuk ke kampung berikutnya kami berhenti sementara waktu, menghitung waktu tempuh selama pulang, beristirahat sejenak, mencari sandal jepit di warung, dan tukar rekan untuk membonceng. Perjalanan pulang kami tempuh lebih dari satu jam lebih empat puluh lima menit, belum sampai tempat kami tinggal.
Perjalanan mulai lebih aman, jalan beraspal, kami jalan pelan menikmati jalan halus sekalian menikmati sore hari melewati hutan yang sejuk dan pendaran warna surya yang berubah sedikit demi sedikit menjadi jingga.
Sampai di rumah pukul 16.00 WIB. Berangkat dari stasi pukul 13.00 WIB. Bandingkan, kami berangkat ke stasi dari rumah sampai stasi satu jam. Lebih lama pulang, tiga kali lipat waktu tempuh dari berangkat.