Korban Sindikat Narkoba

3
162 views
Ilustrasi - Narkoba. (Ist)

BARU sebulan menikmati syukur, karena adik bungsunya yang bagai anak hilang telah ditemukan dan kembali dalam lindungan keluarga, ternyata badai kembali datang melanda.

Apakah Reva kurang bersyukur, sehingga hidupnya selalu digempur berbagai masalah dan kasus yang harus mengerahkan tenaga dan pikiran yang serius dan membuat Reva semakin kurus?

Benarkah ini ujian dari Tuhan dan Tuhan tidak akan memberikan ujian yang tak mungkin tertanggungkan?

Sujud Reva pagi ini di depan Bunda Maria mengingatkan Reva kepada sengsara Yesus. Ia tidak meminta cawan maut dialihkan melainkan kehendak Bapalah yang terjadi. Berpasrah.

Mengenang hal itu, Reva tidak menginginkan masalah berlalu darinya melainkan mohon kekuatan untuk menghadapinya, maka ia berdoa, “Ya Bapa dampingilah dan berilah kekuatan iman, agar aku dapat menghadapi dan menyelesaikan masalah ini, sehingga aku bisa semakin bersyukur karena mampu memanggul salib hidupku dengan hanya berserah kepada-Mu.”

***

“Mbak, Hera sudah seminggu ini sakit.” Melania mengirim pesan pagi ini.

“Sakit apa?,” tanya Reva

“Pendarahan,” jawab Melania.

“Sudah dibawa ke dokter?,” lanjut tanya Reva.

“Tidak mau,” jawab singkat Melania.

”Tidak ada yang bisa memaksa?,” tanya Reva mulai tidak sabar.

”Kemarin saya paksa malah gemetaran dan histeris berteriak ’Takut. Aku takut Mbak. Jangan paksa Aku.’ begitu sambil memelukku sangat erat, Mbak,” jelas Melania.

”Kirim dia ke sini, biar saya rawat,” perintah Reva.

“Tidak mau Mbak. Hal itu sudah saya tawarkan. Hera takut dengan Mbak,” papar Melania.

”Mbak pegang HP lama Hera. Tolong dibuka mungkin ada rahasia di sana,” pinta Melania.

“Baiklah. Cukup sekian dulu ya. Salam untuk semua. Donga dinonga ya. Nanti sore saya hubungi lagi,” Reva memotong percakapan panjang mereka, walaupun belum mendapatkan penyelesaian yang baik.

***

Begitu menyalakan HP Hera yang dibawanya, Reva hampir pingsan. HP itu memang dibawa Reva, kalau tidak bisa dianggap disitanya.  Reva membelikan HP terbaru dengan nomor baru, agar Hera bisa menghapus jejak masa lalu setelah berkumpul dengan keluarga. Apalagi masih berhubungan dengan suaminya yang sungguh bajingan.

Ada puluhan pesan.

Yang terakhir dari suaminya.

“Awas, kamu sedang dikejar pemilik barang itu. Kamu jangan main-main dengan kami. Aku sudah tahu mbakmu sekarang ada di mana. Membunuhnya adalah perkara sepele dan tinggal buang di sungai lenyaplah perempuan sok suci itu. Karena dia dan kamu, aku tidak bisa jadi kabur dan  menyebabkan aku dikurung dalam sel isolasi selama sebulan ini. Dasar perpemuan-perempuan sialan,” Reva membaca pesan itu dengan kaget dan ketakutan.

Dengan gemetar dan penasaran, Reva membaca pesan lainnya yang penuh ancaman.  Reva sungguh tidak tahu dan bingung, sekaligus merinding ketakutan.

”Mana klepon-ku. Awas kalau berani melarikannya.”

”Mana onde-ondeku. Kutunggu seminggu, kalau tidak sampai, mati kau.”

”Sampoku belum juga kau kirim? Awas.”

”Pesanan sosisku mana?”

”Mana barangku? Mau kau bawa kabur? Sialan.”

“100 paketku harus sampai dalam waktu 2 hari. Awas kalau berani main-main.”

”Lonthe Birawa mau berulah?”

”Kamu minggat di mana?”

“Kutunggu seminggu tidak nongol, rumahmu kubakar.”

“Di mana kau pelacurnya Birawa?”

“Mau nyusul lakimu di penjara? Awas kamu.”

“Rumahmu dalam pengawasan. Pulang mati kau!”

“Sudah bosan hidup Kau?”

“Kuperkosa ramai-ramai lalu kucincang kau untuk makanan buaya bos.”

“Mau lari ke mana kau tikus got. Ketangkap mati kau.”

***

“Cepat, ambil Hera di rumah Masmu dan antar ke sini sekarang juga. Bawa teman lain, isterimu atau Mbakmu untuk mendampingi Hera,” perintah Reva kepada Heru.

“Mbak aku ada pelanggan minta diantar ke Jogja,” jelas Heru.

“Batalkan. Kerugian tak ganti. Nasib adikmu di ujung tanduk,” paksa Reva.

”Ada apa to Mbak?,” tanya Heru penasaran.

”Nanti tak jelaskan kalau kita bertemu,” kata Reva.

”Iya, Mbak,” ada nada terpaksa tetapi Heru tetap manut mbaknya.

” Baiklah. Tak tunggu, cepat.”

Penuh kegelisahan Reva menunggu kedatangan Hera. Ia juga minta izin tidak bekerja dengan meminta  Elly, teman sesama perawat yang paling tahu dirinya,  untuk menggantikan jam kerjanya.

Ia sungguh cemas, takut, kalut, dan bingung mencerna pesan dalam HP Hera. Klepon, onde-onde, sampo, sosis, barang apa arti semua itu. Apakah selama ini Hera berjualan jajanan dan kebutuhan pokok. Tetapi mengapa ancamannya sangat menakutkan.

***

Ketakutan dan kecemasan Reva menguap begitu melihat mayat hidup yang keluar dari mobil dalam gendongan Heru. Darah mengucur dari tubuh Hera.

Untuk Reva bekerja di rumah sakit sehingga seketika Hera langsung ditangani di ruang IGD. Tubuh lemah, pucat, dan membiru itu masih bisa menitikkan air mata dan dengan lemah berkata. “Maafkan aku Mbak.”

Ternyata Hera harus menjalani dua operasi besar. Berhubungan dengan kandungannya dan rektumnya. Pendarahan yang dialami Hera ternyata berasal dari dua lubang yang berdekatan, vagina dan rektum.

Ada infeksi parah dari kedua organ terluar itu akibat bagian dalamnya yang bermasalah. Reva harus menguatkan hati menandatangani surat izin operasi.

Selama ini Reva yang menyodorkan kepada pihak keluarga pasien untuk menandatangani  izin operasi yang di dalamnya ada diktum yang menyatakan tidak akan menuntut pihak dokter atau rumah sakit bila ada kegagalan operasi.

Selama ini Reva menyodorkan tanpa memikirkan ketakutan keluarga, apabila pasien tidak bisa tertolong. Sekarang Reva dengan gemetar harus membubuhkan tanda tangan  dengan perasaan yang tidak keruan. Dengan menguatkan hati Reva pun menandatangani pernyataan tersebut sambil melirik saudaranya yang menunggu kesanggupan Reva.

Operasi pertama berjalan lancar walaupun delapan dokter harus berjuang selama lima jam. Reva bersama adik dan iparnya hanya bisa berdoa dan menggulirkan butir-butir rosario tiada henti. Empat rangkaian peristiwa habis pun lampu operasi belum juga padam.

Begitu lampu operasi padam, tarikan napas lega dari empat bersaudara itu hampir berbarengan. Dia dipanggil dokter sehabis operasi. Ternyata di dalam rahim Hera ada dua puluh kondom berisi narkoba yang membusuk di dalamnya. Narkoba dalam berbagai bentuk dan jenis.

Reva ditanyai hal itu, tetapi dia tidak tahu. Hera pun belum bisa ditanyai karena belum juga siuman dari  pengaruh anestesinya. Heru, istri, dan kakak iparnya, Melania, juga pasti tidak tahu, karena mereka  tidak tahu masa lalu Hera. Dokter menyarankan Reva untuk melapor kepada polisi. Tetapi Reva masih ragu. Apalagi Hera hasih harus menjalani operasi keduanya.

Selama lima hari menunggu pulih dari luka operasi pertama yang dilakukan dengan telentang, kini Hera harus berhadapan dengan maut untuk operasi rektum dan usus besarnya. Kini ia ditemani Reno dan Heri. Istri Heri merasa tak tega katanya malah minta sopir pergi ke plaza.

Perempuan satu itu memang tidak punya empati sama sekali kepada adiknya yang menderita itu. Kehadiran Hera membuat dia tidak bisa merasa sebagai yang termuda dalam keluarga. Ada yang memanggil dia “mbak”, sehingga membuatnya terusik dan membenci Hera.

Operasi kali ini berjalan lebih lama. Enam jam lebih operasi baru berakhir dengan kebutuhan 10 kantong darah, yang sebelumnya telah digelontor dengan enam kantong. Selain dua kantong dari Reva dan Heru yang ternyata bergolongan darah sama.

Onderdil dalam Hera ternyata hancur, dubur dan usus besarnya infeksi, sebagian membusuk, dan penuh luka robek. Ini kekejaman yang harus diungkap.

Bagaimana harus melaporkan kasus ini kepada polisi. Tetapi apakah kasus ini bisa tertangani dengan baik. Kekerasan seksual, terutama perkosaan selalu dihubungkan dengan penetrasi penis ke dalam vagina, tidak termasuk masuknya penis ke dalam dubur.

Hal ini lebih menyakitkan dan menghinakan harga diri perempuan. Tetapi kasus ini harus diselesaikan secara hukum.

Itu keputusan Reva. Dua minggu kemudian dengan didampingi pengacara Hera bersama empat saudaranya mendatangi unit PPA untuk melaporkan kasus yang menimpa Hera dan minta perlindungan.

Apakah unit PPA bisa menerima aduan Reva. Ternyata tidak. Mengapa?

3 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here