Korea yang Terekam Nyata

0
530 views
Turis Jawa di Korea tahun 2006.

KAMI mendarat dengan selamat dari Jakarta dengan pesawat Korean Air Airbus A330-300 di Incheon International Airport, jauh di sebelah barat Seoul, pada pagi yang cerah Sabtu, 7 Oktober 2006 pk. 06.50 waktu setempat yang sama dengan WIT (Waktu Indonesia Timur).

Bandara ini sungguh suatu bandara yang modern, tertata, rapi, bersih dan didominasi warna biru laut yang membuat ayem. Proses imigrasinya luar biasa banget, teliti, waspada penuh dan sedikit mencekam, maklum dalam situasi darurat militer.

Setelah proses pembagian tempat duduk di bis, akhirnya kami harus menuju tempat parkir penjemput yang cukup jauh, melalui lorong bandara yang tertata, menyala dan dipenuhi space iklan dalam bahasa dan huruf Korea yang sama sekali tidak kami mengerti.

 Sayang sekali, penjelasan guide kami dari Jakarta maupun local guide yang bisa berbahasa Indonesia, tidak cukup kami dengar jelas, sehingga banyak masalah penting lewat begitu saja.

Arah jarum jam: Kendaraan made in Korea, gerbang tol berbentuk arsitektur rumah adat khas Korea, mengikuti jalan salib di Bukit Terberkati dan Mataair Suci di Naju, Kapel Keajaiban di Naju.

Yang utama menurut kami adalah masalah sinyal HP. Di Korea waktu itu di tahun 2006 lalu hanya dikenal sistem CDMA, bukan GSM, dan tidak ada kartu chip, voucher isi ulang ataupun kartu perdana. Jadi, dianjurkan menggunakan kartu telepon untuk telepon internasional ke Indonesia, menggunakan telepon umum dengan kode internasional, dalam instruksi berhuruf Korea dan bertarif Rp. 7.000/menit.

Kalau tidak mau repot, dapat juga menyewa HP di airport, deposit untuk pesawat HPnya dan pulsanya dibebankan pada kartu kredit. Hal ini juga tidak kami lakukan, sebab terasa ruwet dan di luar kemampuan harian kami.

Menuju Gwangju

Dari Bandara Incheon, kami menggunakan sebuah bis wisata besar berisi 50 seat dan sebuah van sejenis KIA Pregio (di Korea dinamakan KIA  Bangoo 3). Kami ditempatkan di van, beserta dokter dari Bandung, Jakarta dan Medan. Kami langsung menuju ke Gwangju, di sisi selatan Semenanjung Korea.

Perjalanan itu kami lakukan melalui jalan tol yang bagus, tertata dan teratur. Setelah makan pagi dengan menu Korea di pinggiran pantai barat semenanjung, kami melanjutkan perjalanan sejauh 580 km yang akan kami tempuh dalam waktu 6 jam atau lebih, selalu melalui jalan tol. Di sepanjang jalan tol, semua mobil adalah buatan Korea, dari segala ukuran, jenis, model, kemewahan dan merk seperti KIA, Hyundai, Ssyangyong dan Daewoo.

Hanya ada 1 Honda CRV, sedikit sekali BMW, Audi dan Mercedez. Memang hampir tidak ada sama sekali barang impor di Korea, semua dihasilkan oleh pabrik di dalam negeri. 

Kami beristirahat di rest area pinggiran tol 2 kali, sekaligus makan siang. Semua rest area sangat penuh sesak, sebab hari itu bertepatan dengan liburan panjang Hari Tjung Chu (hari ke 15 bulan ke 8 setelah Imlek), seperti arus mudik lebaran di Indonesia.

Makan siang menu Korea, dengan rasa hampir hambar untuk lidah kami, menu rata-rata berharga W5.000 (setara dengan Rp. 50.000). Meski sangat padat, tetapi antrian makan sangat teratur, semua pembeli lapor ke kasir, menunjuk gambar menu pada neon box di dinding (sama sekali tidak bicara, lha wong mereka hanya bisa berbahasa Korea), membayar dan menerima struknya, mengambil sendiri pesanan makannya di konter koki dengan menukar struk pembayaran, membawa ke meja, memakan sampai habis dan mengantar kembali perlengkapan makan yang kotor ke konter pencuci piring. Hanya gelas untuk minum yang harus dimasukkan sendiri ke mesin pencuci di sisi yang lain.

Tidak ada pelayanan rumah makan untuk aktifitas sepadat itu, sungguh efektif SDM dan hal ini menjamin tempat makan seperti itu selalu bersih, meskipun padat pengunjung.

Perjalanan kami lanjutkan kembali melalui jalan tol yang simpang siur, teratur, saling jerat dan menakjubkan. Saking banyaknya jalan tol, susunannya sudah seperti jaringan elektronik atau saraf manusia yang ruwet. Di Korea pengemudi menggunakan sisi kanan jalan, dan di lajur paling cepat di sisi kiri jalan hanya digunakan untuk bis atau van dengan penumpang 9 orang atau lebih, mirip aturan three in one di Jakarta.

 Jadi, kami semua sangat lancar di jalan, meskipun arus mudik di sana sangat padat sekali, sebab kami menggunakan sebuah bis dan sebuah van dengan penumpang banyak, sementara hampir semua mobil berbentuk sedan, jeep atau MPV kecil. Hampir semua penumpang tertidur lelap, sebab selain jalan tolnya relatif datar, meski harus melalui jurang dan gunung berhutan lebat dengan adanya terowongan dan jembatan, juga karena fisik kami yang kelelahan dan belum mandi semua dalam 24 jam terakhir.

Arah jarum jam: rest area yang luas, papan penunjuk arah berbahasa Korea, Everland Yongin Theme Park, National Folk Museum.

Setelah kami mencapai Gwangju, salah satu dari 5 kota besar di Korea, perjalanan kami teruskan ke Naju, sebuah kota kecil 45 menit dari Gwangju.

Naju

Naju adalah kota tujuan ziarah kami. Tahun ini genap 20 tahun terjadinya mukjizat pertama di situ, meskipun sampai saat ini hal tersebut belum secara resmi diakui oleh Tahta Suci Vatikan. 

Kami mengunjungi Gunung yang Terberkati (Blessed Mother’s Mountain) yang merupakan Bukit Doa dan Jalan Salib. Sore itu kami mengikuti ritual jalan salib bersama dengan rombongan peziarah dengan menggunakan Bahasa Korea.

Di sepanjang rute jalan salib itulah Ibu Julia Kim yang terberkati sering berdoa, ditemani Yesus dan Maria, mendapatkan tetesan darah Yesus, rambut cokelat Yesus dan cambukan, pukulan ataupun tendangan kaki serdadu Romawi yang dulu dirasakan sendiri oleh Yesus.

Mukjizat terakhir terjadi pada Hari Jumat Agung, 14 April 2006 yang lalu. Untuk lebih jelasnya, silakan mengunjungi www.najumary.or.kr versi Bahasa Indonesia.

Menjelang malam, kami mengunjungi Kapel Keajaiban Ekaristi (Eucharistic Miracle Caple), d imana patung kecil Bunda Maria memberikan pesan-pesan damainya kepada Ibu Julia Kim, juga mengeluarkan air mata, air mata darah, maupun wewangian untuk jenazah Yesus.

Patung tersebut hanya seukuran bayi baru lahir, tetapi sejak tahun 1985 tidak henti-hentinya menjadi jembatan rohani antara Ibu Julia Kim dengan Bunda Maria (Shrine for Criying Virgin).

Setelah berdoa secara khusus, juga menyampaikan doa-doa titipan para teman dan kerabat di Indonesia, perjalanan kami lanjutkan dengan makan malam menu Korea dan menginap di Hotel Prado, pusat kota Backwoon-Dong, Nam-Gu, di Gwangju, Korea sisi selatan.

Di seluruh Korea, teknologi sudah sangat lumrah dalam keseharian mereka, termasuk internet 24 jam gratis di banyak tempat, juga di kamar setiap hotel, meskipun di layar monitor komputer maupun keyboard terpampang huruf Korea, sehingga kami sedikit pusing karenanya, meski pada akhirnya tetap pulas tidur di kamar hotel itu.

Menuju Seoul

Pada hari selanjutnya, setelah makan pagi di Hotel Prado Gwangju, kami ber-6 kembali melanjutkan perjalanan dengan van KIA Bangoo3 mengikuti rombongan yang menggunakan bis pariwisata besar menuju Seoul.

Jadwal perjalanan dirancang  ulang oleh local guide kami, sebab hari Minggu, 8 Oktober lalu merupakan hari terakhir libur panjang di Korea. Kami mengikuti arus mudik para penduduk kota metropolitan Seoul, sehingga acara berdoa kembali di Bukit Terberkati dan Mata Air Suci (Blessed Mother’s Mountain dan Miraculous Spring) di Naju terpaksa dibatalkan.

Pagi itu kami kembali menyusuri jalan tol yang ruwet, bertingkat dan terstruktur rapi dengan under pass (jalan nunduk) maupun fly over (jalan layang) yang bersusun bahkan sampai 4 tingkat. Pengemudi kami terpaksa mencari jalur alternatif menuju Seoul, sebab arus mudik sangat padat.

Meskipun jalur alternatif, tetapi semuanya tetap merupakan jalan tol, bebas hambatan dan bebas berhenti sembarangan. Kami sempat berhenti di jalur darurat tol, sebab ada beberapa peserta yang tidak tahan lagi menahan kencing.

Begitu kedua mobil kami berhenti di pinggiran tol, banyak teman-teman kami yang lari berhamburan mendaki bukit untuk kencing, termasuk beberapa teman wanita, maklum rest area hanya ada setiap 45 menit perjalanan. Peristiwa serupa, ternyata tidak hanya kami alami, sebab di beberapa tempat kemudian ada juga beberapa mobil yang parkir darurat untuk buang hajat. 

Kami berhenti untuk makan siang di rest area kecil di tengah hutan. Local guide kami meminta maaf, sebab di rest area tersebut kami harus makan siang seadanya. Informasi dari GPRS (alat monitor di dashboard setiap mobil di Korea) menunjukkan bahwa rest area berikut yang lebih besar sudah sangat padat pemudik.

Kami makan siang menu Korea, yaitu nasi pulen semangkok kecil, sayur sawi awetan yang pedas, ikan bakar 2 potong, dan beberapa jenis makanan yang tidak dikenal di rumah dan terasa hambar.

Rate menu Korea paket di rest area seharga W5.000. Sama seperti di rest area hari sebelumnya, kami mengambil menu di konter koki dalam nampan, mengambil air putih dari mesin minum di pojok ruang, membawa ke meja, memakan habis, meski terasa hambar.

Setelah itu kami harus mengembalikan kembali gelas minum ke mesin minum yang mencuci secara otomatis di pojok ruang, mengantar nampan makanan ke konter cuci piring dan mengembalikan kursi secara rapi.

Kerapian, kebersihan dan keteraturan di tempat makan umum yang luas menjadi sangat terjaga, meskipun tidak ada pelayanan.

Luar biasa. 

Setelah cukup kenyang, kami berbelanja di areal parkir kendaraan. Rest area itu cukup kecil, meskipun demikian tempat parkirnya hampir dua kali lipat lapangan sepak bola. Dapat dibayangkan luasnya tempat parkir di rest area ataupun tempat-tempat umum lainnya di Korea, sangaaat luas.

Lapangan parkir yang luas tersebut tetap bersih, rapi dan semua kendaraan parkir di tempat yang telah disediakan menurut ukuran besar kecilnya kendaraan, meskipun sama sekali tanpa petugas parkir.

Banyak pedagang kaki lima yang menjajakan barang dagangannya menggunakan mobil van bertenda. Barang yang dijual sangat beragam, dari perlengkapan rumah, kendaraan, radio, onderdil sampai pakaian. Kami kembali memasuki jalan tol yang semakin siang justru semakin padat. 

Menjelang sore, masih dalam keadaan mengantuk, kami memasuki kota metropolitan Seoul. Kota ini berpenduduk 13 juta orang dari sekitar 40 juta penduduk Korea. Hampir semua penduduk tinggal di apartemen dan memiliki rata-rata 2 mobil setiap keluarga. Kendaraan yang ada hampir semua buatan Korea berbentuk sedan.

Sepeda motor sangat jarang, dan apabila ada hanya digunakan untuk mengantar barang. Sama seperti kota metropolitan di negara maju, Seoul merupakan kota bersih, teratur, dan ramai. Kota ini dibelah oleh Sungai Han yang lebar dan dilalui oleh 14 jembatan untuk kendaraan dan 3 jembatan untuk kereta api.  Angkutan penumpang terbanyak berupa bis kota yang melalui 2 jalur busway di setiap jalan besar, taxi, kerata api dan 8 jalur subway (kereta bawah tanah) dengan 4 tingkatkan lorong.

Yang mengagumkan, semua moda angkutan adalah buatan dalam negeri, dengan KIA, Hyundai dan Daewoo yang merupakan mayoritasnya. 

Dong Daemon

Sore itu hampir menjelang pukul 5 kami masuk pusat kota. Kami diturunkan di kawasan Dong Daemon, sebuah sentra bisnis yang baru saja berkembang di bekas arena olah raga.

Memang masih ada Stadion Dong Daemon yang megah dan kuno, tetapi sekarang hanya dipakai untuk tempat parkir kendaraan, sebab di Seoul sudah dibangun World Cup Stadium yang megah sebagai gantinya, dan sudah digunakan untuk sebagian pertandingan kejuaraan Piala Dunia FIFA 2002 yang lalu.

Setelah membeli beberapa buah cindera mata, kami lanjutkan dengan makan malam dan bersistirahat di M Hotel (memang namanya hanya huruf M) di kawasan Youido-Dong, Yeoungdeungpo-Gu, pinggiran sungai Han, Seoul. Malam itu kami beristirahat dengan pulas. 

Pada hari ketiga di Korea, Senin 9 Oktober 2006, setelah makan pagi di Cafe MU, Hotel M lantai 2 di tengah kota metropolitan Seoul, kami berangkat menuju Everland. 

Everland Yongin Theme Park

Dengan 2 kendaraan yang kami gunakan hari sebelumnya, kami menuju Everland Yongin Theme Park. Everland merupakan salah satu dari 7 taman rekreasi besar yang merupakan tujuan wisata utama di seluruh dunia. Bahkan pada tahun 1996, Everland memecahkan rekor dunia, sebab dikunjungi oleh 9 juta pengunjung, mengalahkan Disneyland Tokyo. Banyak permainan yang sangat menantang tersedia di sana.

Kami masing-masing disediakan jatah 5 tiket permainan yang berharga W45.000 per orang per permainan. Sebenarnya arena bermain ini lebih cocok untuk anak-anak usia SD dan SMP, seperti kebanyakan tamu yang datang bersamaan dengan kami.

Walaupun demikian, kami tetap menjalaninya sebagai sebuah sekedar pengalaman, tanpa penjiwaan berarti, karena kami jadi teringat akan semua anak yang terpaksa dititipkan karena keberangkatan kami.

Perjalanan, permainan, makan siang dan kepulangan kami kembali ke kota metropolitan Seoul menghabiskan waktu tiga perempat hari, melewati jalan tol yang menembus hutan lebat, terowongan panjang, melintasi jembatan di atas jurang dalam atau jalan yang lain, dan masuk areal underpass atau fly over yang simpang siur. 

Sore harinya kami mengunjungi The National Folk Museum of Korea dan Gyeongbokgung Palace, dilanjutkan ke Myeong-dong Cathedral, makan malam dan belanja di areal bisnis Myeong-dong. The National Folk Museum of Korea (Museum Nasional Rakyat Korea) dibangun pada tahun 1972 dan setelah dipugar secara megah berwujud modern sejak 17 Februari 1993.

Di halaman depan (outdoor exibition) museum terdapat batu dan kayu berukir peninggalan bangsa Korea kuno sampai yang terbaru peninggalan abad 19, termasuk kereta listrik (trem) pertama) dan pompa air kuno. Di dalam museum ini terdapat koleksi benda bersejarah yang menggambarkan sejarah kuno bangsa Korea dari dinasti ke dinasti, siklus kehidupan bangsa Korea sejak lahir sampai meninggal dan dilengkapi beberapa fasilitas untuk seminar, pentas, eksposisi dan pertunjukan kebudayaan bangsa Korea. Gedung utama berbentuk pagoda Beopjusa dengan arsitektur serupa dengan Geunjeongjeon (gedung pusat pemerintahan Korea kuno) dinasti Joseon (1392-1910).

Gambaran kehidupan bangsa Korea pertama adalah kerajaan Goguryeo (37 SM sampai 668 M), bersamaan dengan kerajaan Baekje (18 SM sampai 660 M) sampai yang paling besar adalah kerajaan Silla (57 SM sampai 935 M), diteruskan dengan kerajaan Balhae (698 sampai 927 M) dan dinasti Goryeo (918 sampai 1392 M).

Gyeongbokgung Palace

Setelah mengambil gambar seperlunya, perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki saja menuju Gyeongbokgung Palace (istana raja) yang terletak dalam 1 kompleks besar. Pada awal abad ke 20 bangsa Korea dijajah oleh bangsa Jepang. Hampir semua sisa-sisa kebesaran bangsa Korea dihancurkan oleh tentara Jepang, sampai-sampai tidak satupun yang tersisa utuh.

Istana Gyeongbokgung pada awalnya didirikan oleh dinasti Joseon pada tahun 1394 dan dipugar kembali dalam bentuk aslinya pada tahun 1972, yang dapat kita nikmati sekarang ini. Paling tidak terdapat 11 gedung yang tertata rapi, berarsitektur serupa, berupa rumah panggung dengan atap segitiga melengkung ke atas pada ujungnya dan yang terbesar dilengkapi dengan tahta raja.

Pada halaman depan gedung terbesar, biasa diselenggarakan tarian tradisional Korea yang ditonton dan digemari semua pengunjung.  

Myeongdong

Setelah mengamil beberapa gambar, kami melanjutkan perjalanan dengan kendaraan ke Myeong-dong Cathedral. Katedral (gereja Katolik terbesar) ini dibangun pada tahun 1784 oleh sekelompok bangsa Korea yang pertama kali memeluk agama Katolik, pada awalnya dinamakan gereja Myeong-Nae-Bang.

Bentuk yang sekarang digagas oleh Pastor Coste dari Perancis dan diberkati pada 29 Mei 1898 dengan sebutan Bunda Maria Tak Bernoda (Our Lady of the Immaculate Conception).

Pada tahun 1900 dilakukan pemakaman ulang para martir Korea yang dibunuh sejak tahun 1839 sampai 1866 di gereja ini. Pastor Korea asli yang pertama (Pastor Rhee Ki-jun) dan Uskup Korea asli yang pertama (Mgr. Rho Ki-Nam) ditahbiskan di gereja ini pula.

Sejak tahun 1945 saat bangsa Korea merdeka dari penjajahan Jepang, nama gereja diubah dari Chong-Hyen menjadi katedral Myeong-Dong. Katedral yang terletak di pusat kota metropolitan Seoul ini berarsitektur murni Gothic, memiliki lantai berbentuk salib dengan 16 buah tiang penyangga berjajar rapi ke depan, atapnya setinggi 23 meter dan lonceng gereja setinggi 45 meter.

Kaca patri berhias pada setaip jendela yang aslinya dirancang oleh Benedictine Monasteris dari Perancis, pada tahun 1982 dipugar oleh perancang Korea, Lee Nam-gyu, menjadi bentuk yang sekarang ini, yaitu menggambaran cerita Injil dan doa Rosario. Patung Bunda Maria yang Terberkati (Blessed Mother) yang dipersembahkan oleh Mgr. Rho Ki-Nam pada 27 Agustus 1960 untuk perdamaian abadi di Semenanjung Korea, diletakkan di tepi tempat parkir di depan gereja.

Kami melakukan doa pribadi bersama-sama dengan para pekerja yang pulang kantor, di depan patung Bunda Maria yang Terberkati. Meskipun di pinggiran tempat parkir mobil di area bisnis yang padat, ruwet dan berdenyut 24 jam, tempat tersebut sangat damai, tenang, dan cocok sekali bagi siapa saja yang lewat untuk berhenti sejenak dan berdoa.

Sehabis berdoa Rosario, kami mengikuti misa kudus harian yang dimulai setiap pk. 6 sore dalam Bahasa Korea. Lagu, doa, bacaan Injil, homili dan semua liturginya disampaikan dalam Bahasa Korea yang sama sekali tidak kami mengerti.

 Walaupun demikian, kami percaya Gusti mboten sare (Tuhan tidak tidur) dan mendengar doa kami semua, meskipun dalam bahasa kami masing-masing, untuk seluruh ujub dan permohonan kami, termasuk perdamaian abadi di Semenanjung Korea dan doa-doa titipan para teman maupun kerabat di tanah air.

Malamnya kami tidur sangat pulas di kamar hotel M.

Pamunjom DMZ

Pada hari ke lima di Korea, setelah sarapan pagi sekedarnya di Cafe MU, Hotel M lantai 2, di pusat kota metropolitan Seoul, kami melanjutkan perjalanan yang sangat ditunggu-tunggu dan menegangkan, yaitu ke DMZ (De-Militerized Zone) atau Daerah Bebas Militer.

 Sebagaimana kita ketahui bersama, sejarah Perang Dingin masih menyisakan peninggalan memilukan, satu-satunya yang tersisa di dunia yaitu konfrontasi di semenanjung Korea yang memisahkan Korea Utara (komunis, didukung oleh China dan Rusia) dan Korea Selatan (liberalis, didukung oleh Amerika Serikat, Eropa dan Jepang). Untuk memahami sepenuh hati perasaan bangsa Korea, semua pengunjung harus membayangkan betapa kejamnya perang yang meninggalkan pilu dan luka mendalam bagi para korbannya.

Sampai saat ini, Korea adalah satu-satunya negara di dunia yang dipisahkan dan dilukai oleh hal itu. DMZ, daerah bebas militer dan konflik, adalah simbol pemersatu bangsa Korea, meskipun pada kenyataannya merupakan pemisah yang disusun dan dipelihara sampai saat ini.

Sejak Perang Korea yang mencabik-cabik banyak anak manusia berakhir pada tahun 1953 dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai, DMZ angkuh berdiri dan memisahkan 2 negara di semenanjung Korea. Garis batas 33 LU memisahkan kedua negara, dan 2 km ke kedua arah berlawanan dari garis imajiner tersebut adalah areal DMZ.

Kami menyiapkan diri masing-masing dengan paspor di tangan, berpakaian rapi, tidak diperkenankan menggunakan kaos tanpa kerah, jean, celana pendek, sandal dan kostum mirip tentara sesuai aturan yang dibuat oleh pihak militer.

Kami menggunakan 2 kendaraan kami dan berangkat menuju kota Paju. Paju yang berjarak 52 km dari pusat kota metropolitan Seoul merupakan kota besar paling utara dari Korea (Selatan). Di kota tersebut kami harus melaporkan diri, berganti bis, sebab kendaraan pribadi seperti van kami dilarang masuk areal DMZ, dan bergabung dengan semua teman-teman di dalam bis kami.

Setelah mendapatkan surat jalan, bis kami harus melalui jembatan besar yang dipenuhi pemisah jalan dari besi dan kawat berduri, sehingga semua kendaraan harus berjalan satu persatu secara zig-zag, dipantau dengan teropong militer dan dicegat di ujung jembatan oleh militer. Salah satu tentara kemudian masuk ke dalam bis kami, mengecek secara acak paspor kami, mencocokkan dengan surat jalan dan akhirnya mengijinkan kami masuk.

Di areal tersebut dilarang mengambil foto ataupun video, sebab daerah tersebut adalah daerah militer. Kami mengunjungi terowongan ke 3. Seperti kita ketahui bersama, setelah Perang Korea berakhir pada tahun 1953, tentara Korea Utara yang komunis masih tetap bernafsu untuk menghancurkan Seoul.

Mereka membuat 4 buah terowongan bawah tanah sebagai bagian dari siasat infiltrasi ke selatan, meskipun rencana rahasia tersebut akhirnya diketahui dan gagal total. Terowongan ke 3 dideteksi pada 17 Oktober 1978 dan berlokasi sekitar 52 km dari Seoul. Terowongan ini adalah yang paling besar, dengan sekitar 10.000 tentara dapat melewatinya dalam 1 jam.

Pada saat terowongan ini diketahui, pihak Korea Utara justru menyalahkan pihak Korea Selatan yang melakukannya untuk menyerang utara, meskipun pada akhirnya mereka mengakuinya, setelah teknologi dapat memecahkan misteri jahat ini.

Kami menggunakan kereta tambang bawah tanah yang dimodifikasi, berpenumpang 45 orang, menggunakan helm pekerja tambang dan sabuk pengaman di kursi kereta dengan 3 orang penumpang setiap kursinya. Kereta membawa kami ke lorong sepanjang 300 m ke bawah tanah yang cukup terang, dingin dan bersih.

Sesampainya di dasar terowongan, kami harus berjalan kaki secara mendatar menyusur terowongan ke arah utara sepanjang 250 meter. Pada ujungnya kami harus berhenti pada pintu besi yang dikuatkan dengan pagar kawat berduri dan kabel bertegangan listrik.

Setelah pintu besi tersebut, daerah di sebelah utaranya adalah wilayah DMZ yang tidak boleh dikunjungi oleh wisatawan. Setelah merasa merinding dan ngeri membayangkan apa yang dahulu terjadi, yaitu korban yang meninggal saat pembuatan terowongan tersebut, dan membayangkan korban yang akan meninggal seandainya infiltrasi tersebut berhasil, kami kembali ke atas.

Setelah wisata bawah tanah, kami mesuk ke ruangan teater dan melihat film dokumenter selama 8 menit tentang kejamnya Perang Korea, DMZ, kesedihan karena pemisahan, perundingan perdamaian yang telah dilaksanakan dan harapan generasi muda Korea akan hari esok yang cerah dan damai.

Terowongan ke 3 ini terletak di bawah Gunung Dora yang gersang. Perjalanan kemudian kami teruskan menuju puncak Gunung Dora yang terda

pat sebuah gedung pengamatan ke utara untuk wisatawan. Kami menggunakan teropong dengan sewa W500 untuk melihat kota Gaeseong, kota Gaesung dan Gunung Geumgangsan di wilayah Korea Utara, serta aktifitas tentara mereka. Sangat mengerikan sekali apabila perang terbuka terjadi kembali, apalagi pihak utara sampai saat ini masih terus bersikap provokatif.

Semoga saja perdamaian akan segera terwujud di sini. Kami tidak mengunjungi desa Panmunjeon (desa perdamaian atau The Joint Security Area) yang terkenal itu karena alasan keamanan. Meskipun desa tersebut hanya seluas 800 m2, tetapi desa tersebut merupakan simbol kerja sama antara Korea Utara dan PBB, dan ditetapkan sebagai daerah di luar kekuasaan Korea Utara maupun Korea (Selatan). Pihak PBB dan Korea Utara masing-masing memiliki 6 pos pengamatan bersama dan 35 pos keamanan sendiri di desa tersebut.

Stasiun Dorasan

Sejak terjadinya pembunuhan tentara PBB termasuk Kapten Auther G. Bonifas oleh tentara Korea Utara pada 18 Agustus 1976, sampai sekarang tentara PBB tidak dapat lagi melewati garis batas yang ditentukan.

Setelah mengunjungi DMZ, kami melanjutkan perjalanan ke Stasiun Dorasan.

Ini adalah stasiun kereta api Korea (Selatan) yang paling utara dan dirancang untuk dapat menyatu dengan jaringan kereta api di wilayah utara. Meskipun sampai saat ini jalur kereta api tersebut baru hanya digunakan untuk jalur bantuan logistik, tetapi pihak selatan sudah menyiapkan seluruh infrastrukturnya.

Apabila perdamaian kelak betul dapat terlaksana, maka jalur kereta api, jalan raya, sambungan telephone, air, listrik dan segalanya dapat langsung conect, sebab saat ini pembangunan sangat gencar di selatan. Setelah makan siang di sekitar kota Paju, kami kembali ke Seoul.

Menjelang sore kami mengunjungi Jeoldusan Martyrs’ Museum, di Hapchong-dong, Mapo-gu, pinggiran Sungai Han di Seoul. Untuk lebih jelasnya dapat diakses pada www.jeoldusan.or.kr. Museum ini dibangun pada Maret 1966, bertepatan dengan 100 tahun (Kalender Cina) pembantaian Pyong-in (sebenarnya terjadi pada tahun 1866).

Gedung ini dirancang oleh arsitek Lee Hee-Tae yang memadukan tradisi, keindahan dan inkulturasi bangsa Korea, sampai memenangkan medali perak untuk kejuaraan arsitektur internasional. Di dalamnya tersimpan koleksi perjalanan batin bangsa Korea kuno yang beragama Katolik, pengembangan awal, penindasan, penyiksaan sampai pembunuhan oleh para penguasa zaman itu.

Sampai saat ini telah diakui oleh Takhta Suci di Vatikan akan adanya 103 orang martir Korea, termasuk Andrew Kim Tae-Gon (1822 – 1846), Thomas Choi Yang-up (1821 – 1861) Charles Hyun Seok-mun (1799 – 1846) dan Paul Jeong Hsang (1795 -1839), serta 10 orang misionaris Perancis yang tergabung dalam ‘Paris Foreign Missionary Society’.

Pengakuan tersebut dilakukan oleh Sri Paus Yohanes Paulus II pada 6 Mei 1984 di Yeouido Plaza, pinggiran kota Seoul, saat berkunjung dan memperingati 200 tahun berdirinya gereja Katolik di Korea.

Setelah berdoa sebentar di kapel museum yang asri, berfoto seperlunya dengan patung Andrew Kim Tae-Gon yang berwajah tulus, kami melanjutkan perjalanan ke Ginseng Outlet Centre, melihat museum ginseng, mencicipi segala jenis makanan yang mengandung ginseng (berisi zat aktif saponin) dan membeli beberapa produknya langsung di tempat. Setelah itu kami masuk ke dalam studio fashion show untuk menyewa pakaian adat Korea dan berfoto dengan latar belakang gambar tradisi mereka.

Foto kami dalam busana bangsawan Korea kuno terasa kurang berwibawa, maklum kami berdua tersenyum simpul malu-malu, dimana hal tersebut bukanlah sifat bangsawan Korea kuno. Sayang sekali, foto ulang dengan ekspresi tegas tidak dapat dilakukan lagi, lha wong nyewa kostumnya mahal banget je.

Akhirnya kami memutuskan bergabung kembali dengan rombongan menuju The Blue House (Gedung Biru), yang merupakan istana kepresidenan Korea saat ini, seperti Istana Negara di Jakarta. Sayang sekali, kami terlalu sore sampai di kompleks yang dijaga intel secara sangat ketat, sehingga pengambilan gambar sungguh tidak memuaskan.

Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke area bisnis Itae-Won yang padat, murah, meriah dan penuh orang bule. Setalah makan malam di sekitar situ, kami kembali beristirahat di hotel untuk persiapan kepulangan kami esok hari.

Setelah sarapan pagi di Café MU, Hotel M, mengemasi barang-barang kami, menyelesaikan proses keluar (check out) hotel dan rapat darurat tentang tips untuk local guide, kami berkemas untuk memulai perjalanan hari terakhir di Korea. Hari Rabu, 11 Oktober 2006 pagi itu, kami mengunjungi Yoido Full Gospel Church di pinggiran Sungai Han yang bersih dan lebar.

Gereja ini adalah sebuah gereja Kristen yang terbesar di seluruh daratan Korea, bahkan di seluruh dunia. Bentuk gedung utamanya mirip stadion olah raga ruang tertutup (indoor sport hall), bulat mentereng dan susunan kursinya melingkar dengan terap-terap menurun ke arah mimbar.

Dominasi warna cokelat di sisi luar, dilengkapi salib Yesus yang besar dan penuh lampu benderang. Kami sempat melihatnya gemerlap di malam hari, pada saat kami akan kembali ke hotel, sebab gereja tersebut tidak jauh dari hotel M, tempat kami menginap.

Setelah mengambil gambar seperlunya, kami memisahkan diri dari rombongan, sebab kami memiliki acara pribadi yang berbeda dengan mereka. Kami harus mengunjungi Seoul National University Children Hospital.

Mengunjungi dua lokasi berbeda.

Dengan pengaturan yang nyaris sempurna oleh local guide kami, kami dicegatkan taksi di dekat gereja tersebut. Dia menjelaskan kepada sopir taksi rencana kami, menyarankan untuk mengantar ke tujuan kami, menghubungi Prof. Il Soo Ha, direktur RS tersebut, yang akan kami temui menggunakan HP-nya yang dipinjamkan ke kami, dan menurunkan kami di tempat terdekat dengan kantor Prof. Ha, di dalam kompleks rumah sakit tersebut yang sangat luas.

Malang benar nasib kami, sebab nomor HP Prof. Ha yang disalin local guide kami di HP-nya ternyata keliru, sehingga kami harus menggunakan bahasa tubuh (bahasa Jawa, Indonesia dan Inggris sekaligus dengan gerakan badan mirip Tarzan), untuk berkomunikasi selanjutnya, baik dengan sopir taksi tersebut, mapun petugas satpam rumah sakit.

Untunglah dengan kebaikan mereka semua yang sama sekali tidak dapat berbahasa Inggris, kami dipertemukan dengan Prof. Ha di lorong lantai 2 rumah sakit tersebut.

Setelah berdiskusi dengan sekitar 6 orang dokter anak di bawah koordinasi Prof. Ha, kami diajak keliling ke Ruang Perawatan Intensif Bayi (Neonates Intencive Care Unit) yang megah, bersih, canggih dan berteknologi maju, juga ke bangsal perawatan anak dan klinik rawat jalan untuk pasien anak.

Setelah puas jalan-jalan, kami berpamitan dengan Prof. Ha yang ramah dan penuh perhatian, kemudian diantar oleh petugas administrasi yang dapat berbahasa Inggris menuju halte bus kota ke bandara.

Kami harus melewati lorong-lorong perumahan warga untuk meninggalkan kompleks rumah sakit menuju jalan besar di sebelah kiri kompleks. Semua bis kota melewati jalur khusus bis (bus way) yang bercat merah hati, berada pada jalur cepat paling luar, seperti bus way di Jakarta. Di halte bis sudah terpampang petunjuk lengkap tentang rute setiap nomor bis, tetapi semuanya menggunakan huruf Korea yang sama sekali tidak kami pahami.

Kami harus mencari informasi pada papan yang berlambang pesawat, yang berarti bis kota yang khusus melayani rute ke Incheon International Airport. Setiap bis kota akan berhenti pada halte bis yang sudah ditentukan, sesuai dengan aturan yang ketat.

Kami menunggu cukup lama dan sempat memperhatikan bis kota dengan tujuan lain, cara pembayaran tiket bis oleh setiap penumpang, juga cara berganti bis di halte penghubung (interconection shelter bus).

Setiap penumpang bis disarankan memiliki kartu penumpang khusus, seukuran kartu ATM, yang harus ditempelkan di sebuah alat pemindai elektronik di kedua pintu masuk bis, baik pintu depan maupun belakang. Setiap pemindaian yang berhasil akan ditunjukkan dengan bunyi klik dan uang yang tersimpan dalam kartu tersebut akan terpotong (terdebet) secara otomatis.

Kartu yang dapat juga digunakan untuk membayar tiket kereta bawah tanah (subway) tersebut harus selalu dicek saldonya dan kalu perlu diisi ulang menggunakan sistem transfer antar rekening melalui ATM di bank.

Untuk penumpang yang tidak memiliki kartu tersebut, seperti halnya kami, penumpang harus masuk melalui hanya pintu depan, memasukkan uang ke kotak terkunci dekat sopir, melaporkan tujuan perjalanan, sopir akan memencet tombol angka sesuai tarif tiket di sebuah alat dekat gagang setir, dan akan keluar print-out harga tiket serta uang kembalian (bila ada) di mesin mirip ATM di sisi pintu masuk, dan akhirnya penumpang boleh masuk dan duduk di bis.

Sangat sistematis, efisien dan bebas korupsi di belantara jalan raya yang biasanya rawan penyelewengan uang perusahaan bis. Melihat kami sangat tercengang dengan teknologi tersebut, wajar saja apabila Prof. Ha telah memerintahkan staf yang mengantar kami untuk pengurusan pembayaran tiket bis tersebut.

Akhirnya kami bisa duduk tenang, dipantau oleh local guide kami yang masih tetap mengkawatirkan kondisi kami, yaitu secara serial menghubungi menggunakan HP yang kami pinjam dan tinggal pencet tombol terima. Kami menikmati perjalanan di sebuah bis besar bertulisan airport limousine menuju Incheoin International Airport, jauh di luar kota Seoul yang gempita.

Bis kami hanya berhenti di halte bis khusus yang bertanda gambar pesawat, di sepanjang rute dalam kota Seoul. Setelah masuk jalan tol luar kota, kami butuh 45 menit waktu untuk menyusuri jalan tol yang ruwet, bertingkat, rapi dan megah sampai ke bandara.

Secara kebetulan, kami tiba di bandara berbarengan dengan rombongan kami yang telah selesai mengunjungi beberapa tempat lain yang katanya tidak terlalu menarik. Setelah pengurusan bagasi, check-in rombongan dan proses imigrasi yang sederhana, termasuk pemantauan ketat setiap penumpang yang masuk terminal keberangkatan, kami pulang kembali ke Jakarta dengan pesawat Airbus A330-300 Korean Air KE627 melalui pintu (gate) 24.

Demikianlah cerita perjalanan kami ke Korea, semoga bermanfaat bagi kita semua.

PS:

  • Peziarah dan pelancong dengan dana terbatas, tinggal di Yogyakarta.
  • Ditulis bersama B. Sari pPrasetyati

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here