Kornelis Wiji : Tanam Pohon Bagai Menanam Nilai yang Tercabut dari Kehidupan

0
324 views
Kornelis Wiji (memegang microphone) menjelaskan proses pembuatan pupuk organik kepada para anggota Signis usai penanaman pohon di kampung Sukaria, Kendawangan, Ketapang, Selasa (27/02/2018) / (Komsos Keuskupan Ruteng/Romo Erick Ratu)

MENANAM pohon itu punya arti yang dalam, seperti menanam kembali nilai-nilai yang telah tercabut dari kehidupan masyarakat khususnya orang-orang muda. Karena itu jangan dilihat jumlahnya.

Demikian disampaikan Aktivis di Komunitas Keutuhan Ciptaan Bornean Black Forest, Ketapang, Kalimantan Barat, Kornelis Wiji saat melakukan penanaman pohon bersama masyarakat di Kampung Sukaria, Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Selasa (27/02/2018).

Wiji, demikian ia biasa disapa, dahulu mengenyam kuliah di bidang teknik Industri pada salah satu universitas di Yogyakarta. Usai lulus pada 2005, ia kembali ke kampung halamannya di Ketapang.

Diamatinya, banyak perubahan yang terjadi di Sukaria dan sekitarnya. Masuknya industri pengolah hasil bumi, tidak hanya mengubah alam lingkungan tetapi juga membawa gaya hidup baru bahkan mengubah budaya masyarakat.

Kornelis Wiji, Aktivis pada Komunitas Keutuhan Ciptaan Bornean Black Forest, Ketapang. (Komsos Keuskupan Ruteng/ Romo Erick Ratu)

Ia mengakui kehidupan ekonomi masyarakat memang membaik. Akan tetapi ada sisi lain dari kehidupan mereka yang menggelisahkan. Anak-anak dan remaja lebih milih untuk bekerja daripada melanjutkan sekolah. Mereka juga semakin jauh dari budaya warisan nenek moyang yang akrab dengan alam lingkungan.

“Kalau kita menyuruh anak-anak menggambar pohon, mereka tidak mengerti. Mereka hanya bisa menggambar satu jenis pohon. Padahal, jenisnya ada banyak. Keinginan mereka untuk sekolah makin terkikis. Kearifan lokal pudar,”cerita Wiji.

Keprihatinan itu mendorong Wiji dan teman-teman membentuk komunitas pemerhati lingkungan dan hidup masyarakat Sukaria dan sekitarnya. Akhirnya, pada 2015, dibentuklah ‘Komunitas Keutuhan Ciptaan Bornean Black Forest’.

“Ini berawal dari kelompok minum kopi pagi bersama. Dari kegiatan kumpul, minum kopi sambil diskusi, orang-rang muda itu melahirkan gagasan untuk memberi perhatian pada realitas yang ada,”lanjut Wiji.

Komunitas Keutuhan Ciptaan Bornean Black Forest awalnya hanya terdiri atas empat orang. Kemudian, berkembang menjadi belasan orang. Kegiatannya antara lain membangun kesadaran tentang keutuhan ciptaan dan pemberdayaan ekonomi kreatif masyarakat di sekitar industri.

“Kami mulai dengan peningkatan kapasitas warga yaitu dengan latihan pembuatan pupuk organik dari sisa-sisa sampah organik. Dari pupuk organik, kami mengajarkan masyarakat bagaimana menghasilkan sesuatu yang berguna dari sampah-sampah organik,” kata Wiji.

Wiji dan kawan-kawan tidak menolak kemajuan. Lagi pula, ungkap dia, perubahan itu sulit dibendung lagi. Namun mereka tidak rela masa depan orang-orang muda hancur akibat perilaku hidup yang salah. Mereka juga sangat prihatin jika warisan nilai dan kearifan budaya lokal dicampakkan begitu saja.

“Mereka ingat kembali pada budaya dan sadar dengan sendirinya bahwa segala sesuatu berubah tetapi kita tetap harus mempertahankan keutuhan ciptaan,”ungkap Wiji.

Di tengah perjuangan memelihara keutuhan alam ciptaan, kunjungan anggota Signis Indonesia ke kampung Sukaria menjadi sangat berarti bagi Wiji dan kawan-kawan meski hanya setengah hari. Pohon-pohon yang ditanam pun tidak banyak. Akan tetapi, kunjungan itu memberi dukungan dan semangat untuk terus berkarya.

Gereja, cerita Wiji, memang satu-satunya lembaga yang sangat mendukung karya Komunitas Keutuhan Ciptaan Bornean Black Forest. Tahun 2018 ini, Keuskupan Ketapang menjadikan isu alam lingkungan dan keutuhan ciptaan sebagai salah satu fokus karya pastoral. Selain itu, keuskupan juga menugaskan seorang pastor sebagai pendamping komunitas mereka.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here