SETIAP tanggal 9 Desember diperingati sebagai Hari Antikorupsi Internasional. Secara historis tanggal tersebut ditetapkan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Anti Korupsi atau UNCAC (United Nations Convention Againts Corruption) di dalam dan melalui resolusi 58/4 pada 31 Oktober 2003.
Tujuan dari konvensi ini ialah untuk meningkatkan kesadaran global akan dampak negatif dari korupsi bagi masyarakat. Pemerintah Indonesia ikut menandatangai Konvensi Antikorupsi pada 18 Desember 2003 dan telah meratifikasinya ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
Dengan lahirnya konvensi tersebut dan niat baik pemerintah Indonesia meratifikasinya ke dalam Undang-Undang tersebut menunjukkan bahwa praktik korupsi merupakan tindak kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang berpotensi merusak tatanan kehidupan masyarakat suatu negara.
Korupsi itu apa?
Pertanyaannya ialah apa itu korupsi sehingga ia dikategorikan sebagai tindak kejahatan luar biasa?
Mari, kita lihat secara sepintas definisinya berikut ini. Secara etimologis istilah korupsi diambil dari kata “corruptio” yang diturunkan dari kata kerja bahasa Latin “corrumpere” yang artinya kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian (Bdk. Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi, 2011).
Dalam bahasa Spanyol istilah korupsi dikenal dengan sebutan la corrupción.
La corrupción berasal dari kata kerja corromper (mirip dengan Latin: corrumpere) artinya membusuk, merusak atau menjadi busuk. Menurut kamus Real Academia Española (RAE), konsep korupsi digunakan untuk menyebut kejahatan atau pelecehan. Oleh karena itu, korupsi itu berkaitan erat dengan tindakan merusak moral.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penyalagunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Merujuk pada uraian-uraian tersebut bisa disimpulkan secara padat bahwa korupsi itu adalah tindakan ilegal menyalagunakan (mengambil uang negara/menerima suap) yang bukan menjadi milik dan haknya demi kepentingan pribadi yang dampaknya secara moral merusak atau merugikan negara dan masyarakat.
Sejak dulu ada
Praktik korupsi itu setua peradaban manusia. Bahkan ia sudah ada sejak zaman para dewa. Pada zaman Yesus pun praktik korupsi sudah ada, misalnya dalam kasus Yudas Iskariot mencuri kas para rasul yang dipegangnya.
Kita mungkin sudah pernah membaca dan mendengar kisah tentang Dewa Hermes dalam mitologi Yunani.
Secara ringkas kisah itu sebagai berikut. Hermes adalah dewa pembawa pesan dari pada dewa kepada manusia, penemu alat musik lira dan juga dewa yang paling lihai dalam hal mencuri.
Konon, putra dari Dewa Zeus dan Maia ini pernah mencuri dua belas ekor ternak terbaik milik Dewa Apollo, saudaranya. Untuk menipu Apollo agar tidak mengetahui perbuatannya dengan cara yang ajaib Hermes membuat dua belas ekor ternak itu berjalan mundur ke belakang.
Tujuannya ialah supaya Apollo kebingungan untuk menemukan ternaknya. Setelah mencuri kedua belas ternak tersebut, ia sembelihkan sebelas ekor untuk para dewa di Olimpus dan satu ekor untuk dirinya.
Namun, tindakkan Hermes bisa diketahui oleh Apollo atas bantuan dari seorang petani tua yang sempat melihat aksi Hermes. Apollo kemudian berhasil menemukan Hermes dan mengancam untuk menghukum Hermes kalau ternaknya tidak dikembalikan.
Untuk meluluhkan hati Apollo, Hermes memainkan lira. Suara alat musik itu membuat Apollo sangat terpana dan dia putuskan untuk tidak menghukum Hermes, dan meminta lira itu sebagai pengganti kedua belas ternaknya. Itulah versi korupsi di Yunani pada zaman dewa.
Kendatipun praktik korupsi telah dikategorikan sebagai suatu kejahatan luar biasa, namun semangat mencuri Hermes masih sangat kuat merasuki para koruptor di Indonesia hingga saat ini.
Banyak pejabat negara dan politisi masih sangat senang untuk melakukan korupsi, walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah banyak menangkap dan memenjarakan banyak koruptor, namun demikian, masalah praktik korupsi di Indonesia ternyata bukannya semakin menurun, justru semakin menggila. Hal ini bisa dilihat dalam drama korupsi di tengah situasi pandemi virus corona saat ini.
Menteri korupsi
Di tengah bangsa Indonesia sedang berperang total menghadapi gempuran mematikan dari Covid-19 di saat bersamaan badai sakal praktik korupsi datang bertubi-tubi menerpa bangsa Indonesia.
Para politisi dan pejabat negara seperti:
- Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (Gerindra) bersama enam orang lainnya
- Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna (PDIP),
- Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo (PDIP) bersama lima orang lainnya, dan yang mutakhir
- Menteri Sosial Juliari Peter Batubara (PDIP) bersama empat orang lainnya “kompak” memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk merampok duit negara yang bukan menjadi hak dan milik mereka.
Kasus yang terakhir ini sangat disesalkan sebab Menteri Juliari yang sudah memiliki segalanya dalam hidup dan selalu mengumandangkan keberpihakannya pada wong cilik tega merampok dana bantuan sosial Covid-19 yang dianggarkan oleh negara untuk membantu para wong cilik yang sedang meratap di tengah situasi pandemi Covid-19.
Ibarat kanker
Masifnya drama praktik korupsi di tengah pandemi Covid-19 ini membenarkan tesis Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada 2019 lalu bahwa korupsi di Indonesia ibarat penyakit kanker yang sudah stadium empat.
“Kalau perasaan saya mengatakan korupsi di Indonesia ini sudah stadium empat benar tidak? Korupsi sudah merugikan rakyat. Hei kau yang mencuri uang rakyat, rakyat sudah pintar jangan kau bohongi terus rakyat Indonesia,” ujar Prabowo (Kompas.com, 27/02/2019).
Sayangnya, anak emas Prabowo Subianto yang menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menjadi pejabat pertama dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang ditangkap oleh KPK.
Sikap dan tindakan koruptif para pejabat dan politisi tersebut sangat kontradiksi dengan nilai-nilai Pancasila, moral publik, nilai-nilai iman dan komitmen partai mereka yang telah membangun komitmen bersama KPK untuk menerapkan pendidikan antikorupsi bagi politikus yang diselenggarakan pada 23/11/2020 yang lalu.
Kok mau-maunya korupsi
Pertanyaannya ialah mengapa para pejabat negara bergaji tinggi dan hidup mereka dijamin secara sempurna oleh negara masih mau melakukan korupsi? Apakah semuanya itu masih belum cukup? Jawaban atas dua pertanyaan ini bisa kita temukan dalam beberapa faktor berikut ini.
Ada beberapa faktor penyebab lahirnya praktik korupsi, yakni faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal lebih berkaitan dengan kepribadian seseorang. Faktor ini terdiri dari aspek moral, misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korup.
Sementara faktor eksternal adalah faktor penyebab terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari luar. Misalnya, pendapatan atau gaji tidak mencukupi kebutuhan dan lain-lain.
Selanjutnya, menurut Isa Wahyudi sebagaimana yang dikutip oleh buku tersebut menyebutkan bahwa sebab-sebab manusia terdorong untuk melakukan korupsi antara lain: sifat tamak manusia, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, gaya hidup konsumtif dan tidak mau (malas) bekerja keras (Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi, 2011).
Melihat fenomena perilaku koruptif para pejabat dan politisi dengan uraian di atas, maka saya tiba pada sebuah kesimpulan bahwa derasnya badai korupsi di tengah pandemi Covid-19 saat ini lebih kuat didorong oleh sifat ketamakan manusia, yakni rasa ingin memiliki lebih dari yang sudah dimiliki.
Hal ini terjadi karena derasnya energi ketamakan yang terus menekan daya moral dan spiritual dalam diri para pejabat dan politisi (para koruptor). Akibatnya, ketika berhadapan dengan umpan rupiah dalam jumlah banyak, mereka tak berdaya dan langsung menerkamnya tanpa berpikir panjang pada sumpah yang pernah mereka lakukan ketika dilantik dan dampak destruktif terhadap nasib rakyat kecil.
Karl Marx pernah berkata, “Untuk mencapai tujuan tertentu dalam politik, orang boleh berkawan dengan setan … hanya orang harus memiliki kepastian bahwa orang menipu setan itu, bukan sebaliknya” (Vox, 2016).
Demi kesejahteraan umum
Kita tahu bahwa tujuan paling mendasar dari politik ialah demi kebaikan umum dan kesejahteraan manusia. Dan, Marx tentu mengetahui baik sekali makna politik tersebut.
Situasi politik di Prussia (Jerman) dimana Marx hidup saat itu cukup reaksioner dimana negara mengontrol secara ketat aktivitas rakyatnya: kebebasan rakyat dibatasi, pers disensor dan guru-guru besar di universitas ditahan kalau terlalu liberal (Bdk. Franz Magnis-Suseno, 2017).
Barangkali Marx melihat situasi politik pada masanya telah melenceng jauh dari tujuan hakiki politik. Oleh karena itu, kendatipun Marx tidak berminat sama sekali pada soal-soal agama, tetapi rasa kemanusiaan mendesaknya untuk mengingatkan manusia (politisi/pejabat) agar di dalam politik mereka bisa menipu setan, dengan tujuan untuk mengelabui setan agar si setan bisa mengikuti jalan manusia yang baik, adil, benar dan jujur.
Dalam konteks politik Indonesia, yang terjadi justru terbalik dari apa yang dikatakan oleh Marx. Untuk mencapai tujuan politik, para politisi/pejabat sungguh berkawan dengan setan, hanya saja sialnya bahwa mereka tidak memiliki kekuatan moral dan spiritual yang kokoh untuk menipu setan dan membawanya kepada jalan kebaikan, kebenaran, keadilan dan kejujuran.
Sebaliknya justru setanlah yang memiliki kepastian menipu mereka dengan umpan lembaran-lembaran rupiah, dan ketika mata mereka melihat umpan enak tersebut tak sungkan-sungkan mereka langsung menerkamnya.
Kalau Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengibaratkan korupsi di negeri ini dengan penyakit kanker yang sudah stadium empat, maka saya justru mengibaratkannya sebagai opium bagi para pejabat negara dan politisi yang koruptif.
Getah opium korupsi itu memiliki khasiat yang sangat mujarab yakni memberi kenikmatan kepada para koruptor. Misalnya, uang hasil korupsi tersebut dipakai untuk berfoya-foya membeli jam tangan rolex, tas tumi dan baju old navy.
Karena opium korupsi itu menghasilkan kesenangan yang sangat nikmat, maka sekalipun korupsi itu dikategorikan sebagai extra ordinary crime, hukum dengan keras melarangnya, dan sudah banyak pejabat negara dan politisi yang dijebeloskan ke dalam jeruji besi oleh KPK, namun para politisi dan pejabat negara tetap nekat sampai mati untuk melakukan korupsi.
Itu tadi, karena opium korupsi itu membawa kenikmatan, maka para koruptor akan tetap mencarinya. Getah opium korupsi di republik ini hanya akan hilang, kalau di dalam politik para politisi dan pejabat negara bisa menipu setan dan dengan niat yang tulus membangun nilai-nilai iman dan moral yang kuat dalam diri serta menghayatinya dalam kehidupan praktis.
Dengan demikian ketika disodorkan umpan manis oleh si setan, mereka tidak mudah tergoda dan jatuh ke dalam perangkap praktik korupsi sehingga pada peringatan Hari Antikorupsi pada tahun-tahun yang mendatang Indonesia sudah bebas dari badai sakal praktik korupsi.