HOMILI atau kotbah di setiap misa, di mana pun juga dan sudah sejak puluhan tahun lalu, selalu menjadi pergunjingan menarik di antara umat Katolik di Indonesia.
Topik atau isu yang diperbincangkan macam-macam, namun biasanya berkisar pada hal-hal ini:
- Umat merasa bosan saat harus mendengarkan homili atau kotbah dalam liturgi misa, karena pastornya omong terlalu lama dan durasi homili terlalu lama, bahkan bisa 30 menit.
- Tidak mudah mengerti dan bisa mencerna konten pembasan ‘isu’ homili, karena ragam bahasa yang digunakan terlalu ‘tinggi’, mengawang-awang, terlalu biblis dan tidak ‘membumi’.
- Tidak menarik untuk didengarkan, karena pastornya tidak bisa melucu atau membuat suasana menjadi lebih kondusif dengan ilustrasi-ilustrasi kisah yang lebih relevan dengan hidup sosial sehari-hari.
- Membosankan, karena terlalu panjang dan bertele-tele.
- Tidak menarik untuk didengarkan, karena pastornya malah omong tidak ‘karuan’, ke sana kemari dan menjadi tidak fokus mau omong tentang apa.
- Lebih menyedihkan lagi, bisa jadi pastor itu malah juga tidak melakukan persiapan apa pun sebelum naik mimbar untuk berkotbah atau memberi homili.
Dua hal penting dari Paus
Kalau pun ‘masalah’ itu masih ada, maka menarik mencermati apa yang baru saja diomongkan Paus Fransiskus di Vatikan pada tanggal 7 Februari 2018 lalu.
Di situ, Paus menekankan dua hal penting kepada para imam di seluruh dunia tentang homili atau kotbah, yakni:
- Persiapkan materi dengan baik dan serius.
- Jangan omong lebih dari 10 menit.
Dua hal itu menjadi prasyarat penting, demikian kata Paus, sebagai ‘resep’ jitu agar homili atau kotbah menjadi lebih menarik dan nges.
Paus Fransiskus sangat paham tentang adanya komplain dari kalangan Umat Katolik di seluruh dunia bahwa kotbah atau homili sering kali tidak membuat mereka yang hadir dalam Perayaan Ekaristi menjadi ‘tergugah’, namun sebaliknya malah menimbulkan kebosanan.
Pembelajaran dari alm. Romo Tom Jacobs SJ
Di Yogyakarta, almarhum Romo Tom Jacobs SJ – teolog besar yang puluhan tahun mengajar teologi dogmatik dan kontekstual di Fakultas Teologi Wedabhakti Universita Sanata Dharma Yogyakarta (FTW USD) —selalu tegas mewanti-wanti para frater SJ agar berprinsip: kotbah harus mentes (bernas).
Untuk bisa mentes konten homili atau kotbahnya, demikian alm. Romo Tom Jacobs SJ, maka buatlah persiapan secara serius dan baik. Serta, kata dia, jangan omong lebih dari 10 menit.
“Kalau omong lebih dari 10 menit, itu artinya kalian mulai omong nggladrah ora karu-karuan (bicara tak berfokus), ngawur dan juga menjadi tidak mutu,” ujar Romo Tom Jacobs kepada para Frater SJ yang belajar teologi di FTW USD dan tinggal di Kolese St. Ignatius (Kolsani) Yogyakarta tahun 1990-an.
Bukan Romo Tom Jacobs SJ namanya, kalau tidak ada satu kata, satu perbuatan.
Setiap kali misa asistensi mingguan di Gereja St. Antonius Padua – Paroki Kotabaru Yogyakarta, teolog kawakan ini mempraktikkan dengan benar apa yang beliau selalu nasihatkan kepada para Frater Jesuit Teologan.
Ia selalu membuat coret-coretan persiapan kotbah dan kemudian ‘mempresentasikan’ coretan-coretan alur gagasan tersebut di atas mimbar kotbah dengan rumus baku: tidak lebih dari 10 menit.
Juga bukan Romo Tom Jacobs SJ namanya, kalau homilinya tidak mampu membuat segenap umat Katolik yang hadir pada saat misa menjadi sungguh-sungguh terpaku. Mereka ingin mendengarkan ‘ulasan biblis’, namun dengan konteks refleksi sosial yang relevan pada zaman itu.
Setiap kali para frater hendak melakukan latihan memberikan homili, Romo Tom Jacobs SJ selalu minta para frater SJ menyerahkan naskah materi kotbahnya kepadanya untuk diteliti dan dikoreksi.
Beliau benar-benar melakukan koreksi atas naskah draf kotbah itu. Dilakukannya dengan mencorat-coret naskah, mencoba mencari benang merahnya; dan kemudian mengecek benar apakah rumusan teologisnya sudah betul apa belum.
Bahkan, sekali waktu, Romo Tom Jacobs benar-benar menyuruh para frater SJ itu mempraktikkan performa kotbahnya itu di depan dia, sebelum akhirnya latihan kotbah itu dipresentasikan di Gereja St. Antonius Padua Paroki Kotabaru, Yogyakarta.
Hanya karena Tom Jacobs SJ
Bahkan banyak umat kadang curhat bahwa sebenarnya mereka ingin ke misa di Gereja Kotabaru Yogyakarta. Hanya karena yang memberi terang firman hari itu adalah almarhum Romo Tom Jacobs SJ.
Jadi, karena konten kotbahnya mentes dan bermutu, maka umat tahan berlama-lama duduk di bangku gereja, tidak ngantuk. Namun terkagum-kagum, mengapa almarhum Romo Jacobs SJ yang seorang teolog besar mampu menerangkan hal-hal rumit menjadi sederhana dan mudah dipahami.
Kadang yang terjadi sebaliknya.
Banyak romo malah menjadikan hal-hal sederhana menjadi sulit dan tak mudah dipahami.
Justru belajar dari almarhum Romo Tom Jacobs SJ, para imam yang mendapat jatah waktu untuk berdiri di depan mimbar kotbah, ayo gunakan waktu tidak lebih dari 10 menit untuk mewartakan “Kabar Gembira” secara jelas, runtut alur gagasan, dan jangan lagi memakai bahasa ‘di atas awang-awang’ melainkan membumi.
Ingat bahwa Paus Fransiskus pun menasehati hal sama: buatlah persiapan kotbah dan jangan omong lebih dari 10 menit.
Ref: Pope tells priests to keep homilies brief: ‘no more than 10 minutes!’