Aku bermata sipit?
Walaupun lahir di Solo dan besar di Indonesia, aku -Liem Tjay- masih bertanya tentang identitas diri yang bergaris “mata sipit” keturunan suku Tionghoa. Peristiwa kecil yang kualami di KRL pada saat Imlek menuntunku sampai pada batas permenungan “siapa diriku?”
Numpang KRL
Hari senin tanggal 3 Februari 2023 merupakan hari cuti bersama untuk menghormati Perayaan Imlek. Aku naik kereta KRL dari Solo ke Jogya.
Sebagai hari Libur Nasional, penumpang KRL pun penuh. Aku, yang pada waktu itu mengenakan kaos dan celana hitam, terpaksa harus berdiri dan bersandar dekat pintu mulai dari stasiun Purwosari Solo sampai Stasiun Maguwo, Yogyakarta.
Sejak dari rumah, aku memang sudah berniat bahwa, “Aku adalah seorang pastor suku Tionghwa. Untuk menutup identitasku yang bermata sipit, aku sengaja memakai celana hitam, kaos lengan panjang hitam, topi agak hitam, dan memakai masker hitam. Tidak lupa dengan sandal jepit kesayanganku.”
Inilah midset-ku yang cenderung tertutup dan sempit.
Aku tak mengubah posisi dan tetap berdiri di dekat pintu KRL di antara penuhnya penumpang. Dugaanku benar, akulah satu-satunya orang bermata sipit dalam satu gerbong. Rasa kurang PD-ku muncul, walaupun para penumpang cuek, tetap diam dengan posisi duduk dan berdiri masing-masing, serta tidak saling sapa.
“Jangan jangan mereka menatapku dan mengatakan bahwa aku satu-satunya penumpang yang bermata sipit, mengapa ada orang cina naik kereta ekonomi, kelas rakyat?”
Itulah pikiran dan dugaan negatifku yang muncul begitu saja.
Menyembunyikan identitas
Aku menyembunyikan identitasku sebagai orang Tionghoa. Dasar mata sipit ya tetap sipit. Yang natural ya tetap natural. Yang asli dari Sang Khalik ya tetap asli. Tidak bisa dibohongi.
Usahaku adalah menyulap diri menjadi “Hitaci” (Hitam tapi Cina). Aku ikut KRL dengan harga tiket Rp 8.000. Murah meriah, merakyat, dan menyatu dengan masyarakat luas sebagai pelanggan jasa Kereta Api Indonesia.
Aku sadar diriku memang bermata sipit, keturunan Tionghwa yang biasanya ikut kereta kelas ekskutif. Apakah itu hanya perasaan dan pikiranku yang negatif saja?
Lajunya KRL tidak begitu terasa, apalagi harus berdiri dan menahan capai, ditambah perasaan gelisah, was was, dan takut yang muncul. Tiba-tiba suara operator KRL membuyarkan rasaku.
“Para pelanggan KAI, selamat menikmati Hari Libur Nasional Tahun Baru Imlek. Semoga bahagia dan banyak rejeki di tahun yang baru. Semoga senyum Anda membawa berkat dan rezeki sepanjang tahun ini.”
Suara merdu dan lantang dari operator KRL kudengar dengan jelas.
Identitas itu dibuka
Aku terhentak sejenak dengan suara merdu operator wanita KRL. Dalam sekejap rasa letih dan mengantuk langsung hilang tertelan suara gemuruh lajunya KRL. Ucapan ini sangat meneguhkanku sebagai satu-satunya penumpang yang bermata sipit di gerbong itu.
“Selamat Tahun Baru Imlek, semoga……” dari suara operator Wanita KRL menyadarkan diriku untuk kembali ke “jatidiri” sebagai pribadi “bermata sipit”.
Suara ucapan Imlek itu mampu menembus “benteng pandangan dan hatiku yang masih meragukan pengakuan dan sikap diskriminatif terhadap orang Tionghoa”.
Pikiran dan pandanganku tentang diriku “bermata sipit” yang sempit ini dibuka dengan fakta ucapan selamat Imlek di Kereta KRL. (Berlanjut)
Baca juga: Imlek, Pesta Tradisi Cina yang Membumi dan Kebutuhan untuk Berubah (2)