Kumpul

0
170 views
Ilustrasi: Mimpi punya rumah besar. (Ist)

Renungan Harian
Sabtu, 9 April 2022
Bacaan I: Yeh. 37: 21-28
Injil: Yoh. 11 : 45-56

BEBERAPA tahun yang lalu, ketika saya bertugas di sebuah paroki, ada satu anak muda yang seringkali menjadi topik pembicaraan teman-temannya. Anak muda ini aktif terlibat dalam kegiatan Gereja dan kegiatan Orang Muda Katolik.

Ia adalah anak yang supel sehingga mudah akrab dengan teman-temannya.

Menurut teman-temannya, ia adalah anak yang tidak mudah tersinggung sehingga teman-temannya senang bercanda dengan dia. Satu hal yang sering menjadi pembicaraan teman-temannya adalah penolakan dia setiap kali diajak jajan oleh teman-temannya.

Setiap kali diajak jajan oleh teman-teman, ia menjawab bahwa dirinya tidak mempunyai uang. Kalau temannya bertanya lebih lanjut tentang gajinya untuk apa, ia menjawab ditabung untuk membeli rumah yang besar.

Jawaban itu selalu menjadi bahan tertawaan teman-temannya.
 
Teman-temannya selalu mengatakan jangan mengajak dia karena dia mau membeli stadion. Sikapnya ini sering menimbulkan banyak pertanyaan di antara teman-temannya sehingga menjadi pergunjingan.

Ada beberapa temannya yang menganggap dia kikir, sehingga jawaban dia itu sebagai tipu-tipu; namun ada pula yang menganggap bahwa dia itu serius dengan jawaban itu.

Sikap dia tentang tidak mau jajan ini sungguh-sungguh konsisten, bahkan ketika dia diundang temannya untuk pergi makan-makan karena mensyukuri sesuatu, dia tetap tidak mau ikut.
 
Suatu ketika, saat saya berkesempatan bicara berdua dengan dia, saya bertanya tentang sikap dan jawaban itu. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya jawaban itu betul. Ia mempunyai mimpi untuk mempunyai rumah yang cukup besar agar bisa menampung keluarganya.

Ia sungguh-sungguh hidup amat hemat untuk mewujudkan mimpinya itu.
 
Ia ingin mempunyai rumah besar, karena dia ingin orangtua dan semua adiknya berkumpul menjadi satu. Ia adalah anak pertama dari lima bersaudara.

Karena keadaan ekonomi yang memprihatinkan, maka sejak kecil dia ikut saudara jauh, adiknya nomor dua ikut saudara dari ibunya, dan ketiga adiknya ditampung di panti asuhan yang berbeda-beda.

Bapaknya menjadi buruh di Jakarta dan ibunya menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta pula.

Dia ikut saudara jauh dari bapaknya yang mempunyai peternakan ayam. Sejak SD, ia sudah bekerja di peternakan ayam itu setiap kali pulang sekolah.

Ia bekerja di situ sambil terus sekolah bahkan sampai dia sarjana. Sejak SMA, ia sekolah sore karena pagi dia harus bekerja di peternakan ayam saudaranya itu.
 
“Romo, saya tidak tahu kapan mimpi saya ini dapat terwujud, tetapi itulah mimpi saya. Kerinduan besar dalam diri saya bahwa kami pernah merasakan menjadi sebuah keluarga. Kami pernah tinggal dan berkumpul dalam satu rumah, tidak seperti sekarang tercerai berai. Saya bermimpi suatu saat bapak dan ibu saya tidak harus bekerja lagi, tetapi tinggal bersama kami, dan setiap saat kami bisa bertemu dan memanggil mereka,” anak muda itu menjelaskan.
 
Saya amat terharu mendengarkan mimpi anak muda itu. Menurut saya sesuatu yang biasa saya alami tetapi menjadi mimpi yang luar biasa bagi anak muda itu dan sampai saat bertemu dengan saya masih menjadi mimpi yang entah kapan akan terwujud.
 
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Yeremia:

“Sungguh, Aku menjemput orang Israel dari tengah bangsa-bangsa, ke mana mereka pergi; Aku akan mengumpulkan mereka dari segala penjuru dan akan membawa mereka ke tanah mereka.
 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here