MENINGGALNYA guru bangsa, Prof Dr. Buya Ahmad Syafi’i Maarif menghentak hati mayoritas bangsa Indonesia. Tokoh yang konsisten membela dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa itu amat besar jasa dan keteladanannya.
Tanpa persatuan dan kesatuan, Negara Kesatuan Republik Indonesia tamat. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Bukan hanya kesatuan sosial horizontal dengan sesama anak bangsa yang diperlukan. Kesatuan eksistensial spiritual dengan Tuhan jauh lebih mendasar dan harus selalu ada.
Itulah inti doa Yesus untuk para murid-Nya dan pendengar mereka.
“Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” (Yoh 17: 20-21)
Lebih lengkap dan tegas Dia berdoa, “supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu. Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku” (Yoh 17: 22- 23)
Dalam persatuan dengan Allah, manusia menemukan keutuhan dirinya. Sempurna. Integritas personal itu menjadi modal untuk bersatu dengan sesamanya.
Mereka yang percaya dan menikmati buah doa amat mulia itu menjadi pilar penopang kesatuan dan persatuan di mana pun.
Caranya antara lain dengan mencintai dan mendengarkan. Pada Hari Komunikasi Sedunia 2022, Paus Fransiskus menegaskan pentingnya “Listening with the ear of the heart.”
Apakah kita siap mendengarkan dengan telinga hati demi menciptakan persatuan dan kesatuan?
Minggu Paskah VII, 29 Mei 2022