INILAH kesan spiritual penuh menyayat hati ketika kami melakukan kunjungan rohani ingin memberi hiburan kepada orang sakit dan keluarganya. Kegiatan ini kami lakukan dalam konteks pelayanan rohani kepada orang-orang sakit.
Kegiatan rohani ini dilakukan oleh sejumlah anggota Legio Mariae Presidium Bintang Timur Paroki Katedral Malang. Dan inilah ‘oleh-oleh’ cerita human interest kami, ketika mengunjungi Rendy Firdaus, remaja muda yang kini hanya bisa berbaring lemah tak berdaya dengan tubuh kaku.
Andaikan saja
“Semua bunga ikut bernyanyi gembira hatiku,
Segala rumput pun riang ria,
Tuhan sumber gembiraku.”
Penggalan lagu ini sepertinya cocok untuk menunjukkan suasana hati dan impian seorang anak manakala tubuhnya sehat. Namun, lagu rohani itu sepertinya kehilangan citarasanya ketika kami menyaksikan sosok manusia muda lemah tak berdaya dan remaja ini bernama Rendy Firdaus.
Rendy Firdaus sudah bertahun-tahun lamanya terbaring sakit. Dan pemandangan yang menyayat hati atas kondisi sakitnya Rendy Firdaus ini sudah berlangsung sangat lama: 13 tahun.
Suasana pedih dan haru ini terekam kuat, ketika para anggota Legio Mariae (legioner) Presidium Bintang Timur Paroki Katedral Malang mengunjungi rumah Rendy Firdaus belum lama ini di sebuah permukiman sederhana di lereng Bukit Bukit Waturejo – Ngantang, Malang, Jatim.
Kalau saja ia sehat
Andaikata Rendy dalam kondisi tubuh sehat, maka pada umur semuda itu dia pasti suka bermain layang-layang. Ia akan berlarian kesana kemari memburu layang-layang putus.
Atau, bisa saja Rendy menyukai main futsal berramai-ramai bersama teman sekampungnya bahkan sesekali ia bisa berteriak lepas.
Bisa juga ia menikmati hari-harinya bersekolah setingkat SMP, memakai baju seragam putih biru, berpeci, bersepatu untuk bisa menggantungkan cita-citanya setinggi langit.
Pastinya, ia juga akan menghafalkan nama-nama ikan di Laut Jawa, dan nama pulau-pulau besar di Tanahair. Dan siapa tahu, kalau-kalau sekali waktu hafalan itu sangat berguna ketika berjumpa dan ditanyai Presiden Jokowi dan kemudian mendapat hadiah sepeda dengan tulisan “Sepeda Hadiah dari Presiden Jokowi”.
Namun semuanya itu sudah sirna sangat jauh dari angan-angan remaja muda bernama Rendy ini.
Rendy Firdaus adalah si sulung, anak pasangan suami-isteri sederhana bernama Bapak dan Ibu Paimun.
13 tahun sakit tanpa berobat
Rendy Firdaus ini sudah lebih dari 13 tahun hanya bisa berbaring di atas dipan yang menjadi tempat tidur sekaligus ‘rumahnya’. Yang hanya bisa dia lakukan adalah membiarkan raganya yang lemah tergeletak begitu saja.
Keluarga ini sangat sederhana untuk bisa ‘menyenangkan’ buah hatinya. Yang hanya bisa mereka lakukan adalah memberi ‘dudukan’ berupa dipan terbuat kayu sederhana untuk tempat tidur Rendy.
Untuk menutupi tubuhnya yang lemah dari desiran angin, keluarga itu hanya mampu menyediakan kain putih untuk membebat tubuh Rendy. Kain selimut warna putih itu juga sudah tidak lagi putih. Tekstur kainnya juga sudah sangat tipis, karena tampaknya sudah usang dimakan umur saking seringnya dicuci.
Yang kami lihat, kasur dimana tubuh Rendy terbaring lemas adalah sandaran kapuk yang sudah tidak lagi empuk saking tipisnya. Bantalnya juga tidak lagi empuk untuk sekedar menyandarkan kepalanya yang rapuh.
Kemiskinan telah ikut membuat Rendy hanya bisa meniti hari-hari panjangnya dengan rasa sangat memelas.
Kami yang melihatnya dari dekat sungguh dibuat iba hati melihat pemandangan semacam ini.
Betapa kemanusiaan manusia yang martabatnya luhur itu kini telah terpuruk oleh kemiskinan dan penyakit yang selama 13 tahun terakhir ini telah menderanya tanpa ‘sentuhan’ kasih pihak lain.
Tubuhnya kaku
Rendy sudah tidak dapat memindahkan kakinya sendiri. Ia juga sudah tidak kuasa mampu menekuk kakinya. Ia juga sudah tidak dapat meluruskan tangannya maupun jari-jari tangannya.
Duduk di tempat tidurnya pun, Rendy juga sudah tidak mampu melakukannya. Untuk ganti baju, haruslah tangan orang lain yang melakukannya.
Yang kami lihat, ia hanya bisa mengambil cangkir plastik tertutup berisi air putih untuk minumnya. Segala sesuatunya harus dibantu oleh kedua orangtuanya dan Thomas, adik kandungnya.
Hangatnya sinar matahari di pagi hari juga tidak pernah lagi bisa dirasakan oleh Rendy. Kondisi kamar tidurnya yang sangat sempit dan tertutup oleh daun-daun pohon durian membuat terang sinar matahari menjadi remang-remang. Apalagi, saat-saat ini di bulan November 2017 ini, pohon durian besar itu tengah berbunga lebat sebesar biji kelereng. Beberapa di antaranya ada yang sudah membentuk buah durian sebesar bola tenis.
Menantikan “Kabar Baik”
Posisi tidur Rendy selalu membelakangi pintu masuk kamar. Dengan tatapan mata nanar, ia selalu menatap jendela yang tidak begitu lebar seakan-akan dia menantikan datangnya ‘kabar baik’ yang sekali waktu bersedia datang menengoknya.
Kabar baik itu bisa saja datang menengoknya berbarengan dengan desiran angin gunung yang sejuk serta kicauan burung yang berterbangan di dahan-dahan pohon durian dan pohon kopi.
Kabar baik yang dinanti-nanti itu semoga bisa menjadikannya mampu lagi membawa badannya turun dari dipan dan kemudian membawanya keluar dari kamar untuk melihat indahnya alam raya ciptaan Tuhan.
Namun karena sehari-hari selalu mendongak ke arah jendela menantikan datangnya ‘kabar baik’ yang tidak pernah datang itu, leher Rendy menjadi kaku. Posisinya menjadi tidak ‘sempurna’ lagi lantaran tiada henti selalu mendongak ke belakang.
Hal sama juga terjadi pada kedua bola matanya yang lebih cenderung ke atas dari kelopak matanya. Itu karena Rendy dihantui rasa ingin tahu sangat besar akan siapa saja yang gerangan telah berbaik hati bersedia mengunjunginya.
Gerak-gerak kecil tubuhnya memberi sinyal kuat bahwa ia bereaksi senang ketika ada tamu dari luar datang mengunjunginya.
Panas, kejang, diare 13 tahun lalu
Kondisi Rendy hingga sekarang menjadi seperti ini bermula ketika dia masih berumur tiga sampai tujuh bulan. Saat masih bayi itu, ia sering mengalami sakit panas dan kejang-kejang ditambah dengan diare.
Kedua orangtuanya Bapak-Ibu Paimun sudah berusaha sekuat tenaga dan daya mengusahakan agar putera sulungnya kembali menjadi sehat dan sempurna sebagaimana Allah menciptakan semua makhluknya sempurna.
Namun malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, Rendy malah mengalami kelumpuhan.
Maka hancurlah hati Bapak dan Ibu Paimun. Yang tersisa hanyalah ratap tangis dan itu terjadi 13 tahun lalu di sebuah permukiman sederhana di kaki lereng Bukit Waturejo Ngantang, Keuskupan Malang, Jatim.
Rendy Firdaus –sang anak sulung itu—sebenarnya menjadi tumpuan harapan keluarga di masa depan. Namun, sejak 13 tahun lalu hingga sekarang, ia sudah berubah seperti ‘mayat hidup’ karena tubuhnya sudah menjadi tak berdaya. Bahkan untuk menggoyangkan kaki anggota tubuhnya sendiri, Rendy sudah tidak mampu.
Berkata-kata mendaraskan doa “Bapa Kami”
Kemuliaan Tuhan rupanya masih tetap tercurah kepada umat yang dikasihi-Nya.
Ketika rombongan anggota Legio Mariae Presidium Bintang Timur Paroki Katedral Malang datang mengunjungi keluarga sederhana ini, maka yang kami lihat sungguh menakjubkan.
Rendy tiba-tiba bisa berkata-kata, walaupun hanya mampu mengucapkan beberapa kosa kata itu-itu saja. Ia sangat menyukai dan mengucapkan kata “siaap”. Satu kata itu sering diucapkannya sambil tersenyum ketika ada tamu yang datang dan mengajaknya berdialog dengannya.
Tidak nampak sekalipun kesedihan padanya; sebaliknya tersembul senyum kecil dari bibirnya yang mengiringi canda para tamunya. Andai dia bisa bernyanyi, maka ia akan menyanyikan ini: “Semua bunga ikut bernyanyi , gembira hatiku. Segala rumput pun riang ria, Tuhan sumber gembiraku.”
Kami bisa memastikan bahwa doa Bapa Kami yang diajarkan oleh Yesus itu juga pernah dia dengar dan ia terlihat juga mendoakan rumusan doa ini, ketika Frater Gusti SMM mulai mengajaknya berlatih berdoa Bapa Kami.
Kami melihat bahwa Rendy mulai mengikutinya, walau hanya beberapa kata di setiap kalimat doa Bapa Kami. Ia pun menyimak tatkala frater membacakan sabda Tuhan dengan model cerita tentang Bartimeus yang buta namun disembuhkan Tuhan.
Bartimeus berseru: “Tuhan, kasihanilah kami. Tuhan, kasihanilah kami”.
Sejenak kemudian, para legioner mulai bernyanyi Tuhan Kasihanilah Kami sebagaimana ada di dalam buku Puji Syukur nomor 355.
Kami menyanyikan lagu itu di hadapan Rendy dan Bapak Paimun.
Wajah Fr. Gusti SMM menegang dan yang lainnya tak mampu membendung air matanya ketika kami semua berseru dan memohon doa ini:
“Yesus…. Yesus …..Yesus …. Yesus,
kami memohon rahmat Tuhan untuk kesembuhan Rendy Firdaus.
Tuhan Yesus, kami bersyukur atas kesehatan jiwa raga kami,
kami bersyukur atas rahmat-MU yang telah Kaulimpahkan bagi kami,
kini kami mohon limpahkan pula rahmat yang sama itu kepada keluarga Bapak Paimun di sudut desa di lereng Bukit Waturejo Ngantang. Amin”
Dari sudut hati yang terdalam, kami jelas melihat dan merasakan getaran hati bahwa Rendy pun sebenarnya juga rindu akan belas kasih dan perhatian Anda semua.
Kredit foto: Laurentius Suryono (Paroki Katedral Malang)