Kunjungan Legio Mariae: Lumpuh 13 Tahun, Rendy Firdaus Hanya Bisa Berbaring Lemah dengan Tubuh Kaku

0
1,061 views
Bersama sejumlah kecil anggota Legio Mariae Presidium Bintang Timur Paroki Katedral Malang, Fr. Gusti SMM memimpin doa bersama Pak Paimun di depan Rendy yang terbaring di dipan.

INILAH  kesan spiritual penuh menyayat hati ketika kami melakukan kunjungan rohani ingin memberi hiburan kepada orang sakit dan keluarganya. Kegiatan ini kami lakukan dalam konteks pelayanan rohani kepada orang-orang sakit.

Kegiatan rohani ini dilakukan oleh sejumlah anggota Legio Mariae Presidium Bintang Timur Paroki Katedral Malang. Dan inilah ‘oleh-oleh’ cerita human interest kami,  ketika mengunjungi Rendy Firdaus, remaja muda yang kini hanya bisa berbaring lemah tak berdaya dengan tubuh kaku.

Andaikan saja 
“Semua bunga ikut bernyanyi gembira hatiku,
Segala rumput
pun riang ria,
Tuhan sumber gembiraku.”

Penggalan lagu ini sepertinya cocok untuk menunjukkan suasana hati  dan impian seorang anak manakala tubuhnya sehat. Namun, lagu rohani itu sepertinya kehilangan citarasanya ketika kami menyaksikan sosok manusia muda lemah tak berdaya dan remaja ini  bernama Rendy Firdaus.

Rendy Firdaus sudah 13 tahun lumpuh

Rendy Firdaus sudah bertahun-tahun lamanya  terbaring sakit. Dan pemandangan yang menyayat hati atas kondisi sakitnya Rendy Firdaus ini sudah berlangsung sangat lama: 13 tahun.

Suasana pedih dan haru ini  terekam kuat, ketika para anggota Legio Mariae (legioner) Presidium Bintang Timur Paroki Katedral Malang mengunjungi rumah Rendy Firdaus  belum lama ini  di sebuah permukiman sederhana di lereng Bukit Bukit Waturejo –  Ngantang, Malang, Jatim.

Kalau saja ia sehat

Andaikata Rendy dalam kondisi tubuh sehat, maka pada umur semuda itu dia pasti suka bermain layang-layang. Ia akan berlarian kesana kemari memburu layang-layang  putus.

Atau, bisa saja Rendy menyukai main futsal berramai-ramai bersama teman sekampungnya bahkan sesekali ia bisa berteriak lepas.

Bisa juga ia menikmati hari-harinya bersekolah setingkat SMP, memakai baju seragam putih biru, berpeci,  bersepatu untuk bisa menggantungkan cita-citanya setinggi langit.

Anggota Legia Mariae Presidium Bintang Timur Paroki Katedral Malang – Jatim  tengah berjalan menuju rumah Rendy di ujung desa.

Pastinya,  ia juga akan menghafalkan nama-nama ikan di Laut Jawa, dan nama pulau-pulau besar  di Tanahair.  Dan siapa tahu, kalau-kalau sekali waktu hafalan itu sangat berguna ketika berjumpa dan ditanyai Presiden Jokowi dan kemudian mendapat hadiah sepeda dengan tulisan “Sepeda Hadiah dari Presiden Jokowi”.

Namun semuanya  itu sudah sirna sangat jauh dari angan-angan  remaja muda bernama Rendy ini.

Rendy Firdaus adalah si  sulung, anak  pasangan suami-isteri  sederhana bernama  Bapak dan Ibu Paimun.

13 tahun sakit tanpa berobat

Rendy Firdaus ini  sudah lebih dari 13 tahun hanya bisa berbaring di atas dipan yang menjadi tempat tidur sekaligus ‘rumahnya’. Yang  hanya bisa dia lakukan adalah membiarkan raganya yang lemah tergeletak begitu saja.

Keluarga ini sangat sederhana untuk bisa ‘menyenangkan’ buah hatinya. Yang hanya bisa mereka lakukan adalah memberi ‘dudukan’ berupa dipan terbuat kayu sederhana untuk tempat tidur Rendy.

Untuk menutupi tubuhnya yang lemah dari desiran angin, keluarga itu hanya mampu menyediakan  kain putih untuk membebat tubuh Rendy.  Kain selimut warna putih itu juga sudah tidak lagi putih. Tekstur kainnya juga sudah sangat tipis, karena tampaknya sudah usang dimakan umur saking seringnya dicuci.

Yang kami lihat, kasur dimana tubuh Rendy terbaring lemas adalah sandaran kapuk yang sudah tidak lagi empuk saking tipisnya. Bantalnya juga tidak lagi empuk untuk sekedar menyandarkan kepalanya yang rapuh.

Kemiskinan telah ikut membuat Rendy hanya bisa meniti hari-hari panjangnya dengan rasa sangat memelas.

Pepohonan rindang dan kawasan hijau adalah suasana kehidupan sehari–hari permukiman di lereng Bukit Waturejo di Ngantang – Malang ini.

Kami yang melihatnya dari dekat sungguh dibuat iba hati melihat pemandangan semacam ini.

Betapa kemanusiaan manusia yang martabatnya luhur itu  kini telah terpuruk oleh kemiskinan dan penyakit  yang selama 13 tahun terakhir ini telah menderanya  tanpa ‘sentuhan’ kasih pihak lain.

Tubuhnya kaku

Rendy sudah tidak dapat memindahkan kakinya sendiri. Ia juga sudah tidak kuasa mampu menekuk kakinya. Ia juga sudah tidak dapat meluruskan tangannya maupun jari-jari tangannya.

Duduk di tempat tidurnya pun, Rendy juga sudah tidak mampu melakukannya. Untuk ganti baju, haruslah tangan orang lain yang melakukannya.

Yang kami lihat, ia hanya bisa mengambil cangkir plastik tertutup berisi air putih untuk minumnya.  Segala sesuatunya harus dibantu oleh kedua orangtuanya dan Thomas, adik kandungnya.

Hangatnya  sinar matahari  di pagi hari juga tidak pernah lagi bisa dirasakan oleh Rendy. Kondisi kamar tidurnya yang sangat sempit dan tertutup oleh daun-daun pohon durian membuat terang sinar matahari menjadi remang-remang. Apalagi, saat-saat ini di bulan November 2017 ini, pohon durian besar itu tengah  berbunga lebat sebesar biji kelereng. Beberapa di antaranya ada yang sudah membentuk buah durian sebesar bola tenis.

Pak Paimun, ayah kandung Rendy, di depan rumahnya.

Menantikan “Kabar Baik”

Posisi tidur Rendy selalu membelakangi pintu masuk kamar. Dengan tatapan mata nanar, ia selalu menatap jendela yang tidak begitu lebar seakan-akan dia menantikan datangnya ‘kabar baik’ yang  sekali waktu bersedia datang menengoknya.

Kabar baik itu bisa saja datang menengoknya berbarengan dengan desiran angin gunung yang sejuk serta kicauan burung yang berterbangan di dahan-dahan pohon durian dan pohon kopi.

Kabar baik yang dinanti-nanti itu semoga bisa menjadikannya mampu lagi membawa badannya turun dari dipan dan kemudian membawanya keluar dari kamar untuk melihat indahnya alam raya ciptaan Tuhan.

Namun karena sehari-hari selalu mendongak ke arah jendela menantikan datangnya ‘kabar baik’ yang tidak pernah datang itu, leher Rendy menjadi kaku. Posisinya menjadi tidak ‘sempurna’ lagi lantaran tiada henti selalu  mendongak ke belakang.

Hal sama juga terjadi pada kedua bola matanya yang lebih cenderung ke atas dari kelopak matanya. Itu karena Rendy dihantui rasa ingin tahu sangat besar akan siapa saja yang gerangan telah berbaik hati bersedia mengunjunginya.

Gerak-gerak kecil tubuhnya memberi sinyal kuat bahwa ia bereaksi senang ketika ada tamu dari luar datang mengunjunginya.

Panas, kejang, diare 13 tahun lalu

Kondisi Rendy hingga sekarang menjadi  seperti ini  bermula ketika dia masih berumur tiga sampai tujuh bulan. Saat masih bayi itu, ia sering mengalami sakit panas dan kejang-kejang ditambah dengan diare.

Kedua orangtuanya Bapak-Ibu  Paimun sudah berusaha sekuat tenaga dan daya mengusahakan agar putera sulungnya kembali menjadi sehat dan sempurna sebagaimana Allah menciptakan semua makhluknya sempurna.

Namun malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih,  Rendy malah mengalami kelumpuhan.

Maka hancurlah hati Bapak dan Ibu Paimun. Yang tersisa hanyalah ratap tangis  dan itu terjadi 13 tahun lalu di sebuah permukiman sederhana di kaki lereng Bukit Waturejo Ngantang, Keuskupan Malang, Jatim.

Rendy Firdaus –sang anak sulung itu—sebenarnya menjadi tumpuan  harapan keluarga di masa depan. Namun, sejak 13 tahun lalu hingga sekarang,  ia sudah berubah  seperti ‘mayat hidup’ karena tubuhnya sudah menjadi  tak berdaya. Bahkan untuk menggoyangkan kaki anggota tubuhnya sendiri, Rendy sudah tidak mampu.

Kami , para anggota Legio Mariae Presidium Bintang Timur Paroki Katedral Malang, bersama keluarga Pak Paimun.

Berkata-kata mendaraskan doa “Bapa Kami”

Kemuliaan Tuhan rupanya masih tetap tercurah kepada umat yang dikasihi-Nya.

Ketika rombongan anggota Legio Mariae Presidium Bintang Timur Paroki Katedral Malang datang mengunjungi keluarga sederhana ini, maka yang kami lihat sungguh menakjubkan.

Rendy tiba-tiba  bisa berkata-kata,  walaupun hanya mampu mengucapkan beberapa kosa kata itu-itu saja. Ia sangat menyukai dan mengucapkan kata “siaap”. Satu kata itu  sering diucapkannya sambil tersenyum ketika ada tamu yang datang dan mengajaknya berdialog dengannya.

Tidak nampak sekalipun kesedihan padanya;  sebaliknya tersembul senyum kecil dari bibirnya yang mengiringi canda para tamunya. Andai dia bisa bernyanyi, maka  ia akan menyanyikan ini: “Semua bunga ikut bernyanyi , gembira hatiku. Segala rumput pun riang ria, Tuhan sumber gembiraku.”

Kami bisa memastikan bahwa doa Bapa Kami yang diajarkan oleh Yesus itu juga pernah dia dengar dan ia terlihat juga mendoakan rumusan doa ini, ketika Frater Gusti SMM mulai mengajaknya berlatih berdoa Bapa Kami.

Kami melihat bahwa Rendy mulai mengikutinya,  walau hanya beberapa kata di setiap kalimat doa Bapa Kami. Ia pun menyimak tatkala frater membacakan sabda Tuhan dengan model cerita tentang Bartimeus yang buta namun disembuhkan Tuhan.

Bartimeus berseru: “Tuhan,  kasihanilah kami. Tuhan,  kasihanilah kami”.

Sejenak kemudian,  para legioner mulai  bernyanyi  Tuhan Kasihanilah Kami sebagaimana ada di dalam buku Puji Syukur nomor 355.

Kami menyanyikan lagu itu  di hadapan Rendy dan Bapak Paimun.

Wajah Fr. Gusti SMM menegang dan yang lainnya tak mampu membendung air matanya ketika kami semua berseru dan memohon doa ini:

“Yesus…. Yesus …..Yesus …. Yesus,
kami memohon rahmat Tuhan untuk kesembuhan Rendy Firdaus.
Tuhan Yesus, kami bersyukur atas kesehatan jiwa raga kami,
kami bersyukur atas rahmat-MU yang telah Kaulimpahkan bagi kami,
kini kami mohon limpahkan pula rahmat yang sama itu kepada keluarga Bapak Paimun di sudut desa di lereng Bukit Waturejo Ngantang. Amin”

Dari sudut hati yang terdalam, kami jelas melihat  dan merasakan getaran hati bahwa Rendy pun sebenarnya juga  rindu akan belas kasih dan perhatian Anda semua.

Kredit foto: Laurentius Suryono (Paroki Katedral Malang)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here