SAYA beberapa kali berjumpa dengan Romo Sensi Mandaru Pr. Sosok pribadinya sangat bersemangat. Suaranya lantang. Kalau tertawa, kesannya sangat seru. Romo Sensi orangnya sangat bersahabat dan menyenangkan.
Nama lengkapnya Romo Theodosius Maxentius Rodriquez Mandaru Pr. Ia kelahiran Waerana tanggal 5 November 1948. Orangtuanya berasal Maumere, Flores Timur dan sudah meninggal. Mereka dimakamkan di samping halaman rumah.
Romo Sensi adalah anak nomor empat dari 11 bersaudara yang semuanya lahir di Waerana.
Romo Sensi ditahbiskan menjadi imam tanggal 15 Juli 1979 di Waerana oleh Uskup Mgr. Wilhelmus van Bekkum SVD. Terakhir, Romo Sensi bertugas di Paroki Waelengga selama 25 tahun.
Ia sudah pensiun sejak tahun 2014. Lalu memutuskan tinggal di rumah keluarga di Waerana. Masih ada tujuh saudara di Kupang dan dua orang di Jakarta.
Romo Sensi masih kuat jalan dan bisa makan apa saja.
Dulu sesudah tahbisan episkopal Mgr, Vincentius Sensi Potokota tahun 2007 silam, saya datang mampir ke Paroki Waelengga. Romo Sensi Mandaru Pr sampai memotong satu ekor babi untuk saya. Mengalami emosi sukacita atas kedatangan teman lama.
Di Borong, Ruteng saat itu, saya disambut dengan acara adat dengan bir dan ayam.
Romo “Sensi” yang lain
Sekali waktu, saya mendengar telah diangkat seorang uskup baru untuk Keuskupan Maumere di Flores Timur yang baru dibentuk. Dan muncullah nama “Romo Sensi” sebagai uskup baru tersebut. Maka waktu itu, secara spontan saya langsung menelpon Romo Sensi dan mengucapkan selamat.
Ternyata di Flores waktu itu ada dua orang imam diosesan sama-sama dipanggil Pastor Sensi. Dan yang diangkat oleh Vatikan menjadi uskup untuk Keuskupan Agung Ruteng adalah Romo Vincentius “Sensi” Potokota. Waktu diangkat menjadi uskup, Romo Sensi Potokota menjabat Direktur Pusat Pastoral Ende. Ia juga seorang imam diosesan Keuskupan Agung Ende.
Sedangkan nama sahabat saya adalah Romo Vincensius “Sensi” Mandaru dari Keuskupan Ruteng, Flores. Waktu itu, Romo Sensi Mandaru mengampu tugas sebagai Pastor Paroki Waelengga. Dan ya, ia memang tidak diangkat menjadi uskup.
Jadi kami tertawa gembira, ketika harus “membayangkan” Romo Sensi Mandaru diangkat menjadi uskup. Tentu suasananya menjadi kan lebih heboh. Romo Sensi Potokota yang diangkat menjadi uskup orangnya lebih tenang; juga tidak seheboh Romo Sensi Mandaru.
Mengunjungi sahabat lama di Ruteng
Saya bersyukur bisa berjumpa kembali dengan Romo Sensi Mandaru. Terjadi berkat info yang disampaikan oleh Romo Cyrillus Lena dari Ende yang juga merupakan sahabat Romo Sensi Mandaru. Ia memberikan nomor telepon Bu Krispina yang kini merawat Romo Sensi Mandaru setelah pensiun dari tugas pastoral.
Sore hari tanggal 26 September 2023 -sesudah syering regio para imam diosesan Indonesia- saya membulatkan tekad ingin menjenguk Romo Sensi Mandaru di Ruteng. Saya diantar Tino Soladopo dengan mobil sewaan.
Jarak dari Mataloko sampai Ruteng sejauh 71 km; ditempuh selama satu jam 59 menit. Menyusuri jalan yang berkelok-kelok dari Mataloko sampai Aimere di pinggir pantai. Lalu dari Aimere jalan menanjak lagi, namun jalan lebih lurus menuju Waerana.
Wae itu berarti air. Rana itu danau. Waerana artinya air danau.
Ketika saya sampai Waerana, Romo Sensi Mandaru Pr dan Bu Krispina sudah duduk di halaman rumah; menunggu kedatangan sahabat lama. Saya terlambat tiba. Saya berangkat sudah hampir pukul 18 awal petang dari Mataloko.
Lama perjalanan menuju lokasi di Ruteng hampir selama jam lebih.
Di masa pensiunnya, Romo Sensi dirawat oleh Bu Krispina dan suaminya. Pasutri ini mempunyai lima anak. Mereka masih bersaudara dengan Romo Sensi. Bu Krispina memasak ayam dan ikan untuk kami.
Mengunjungi kembali Romo Sensi Mandaru di Ruteng ini sungguh mengingatkan saya akan pentingnya persaudaraan antar imam.
Kami dulu sering jumpa dalam acara Munas Unio Indonesia. Mari kita doakan Romo Sensi tetap sehat dan bahagia bersama semua imam senior lainnya.
Baca juga: Munas XIV UNIO Indonesia: Romo Florens Maxi Un Bria Pr Resmi Pimpin UNIO Indonesia (11)