Kupang, NTT: Menyelamatkan Korban Perdagangan Orang Kadang Juga Perlu Ketegasan (2)

0
612 views
Perjalanan penulis menempuh waktu hampir 10 jam sekali jalan dari Kupang ke Amfoang Timur guna menyerahkan tanggungjawab pembinaan klien kepada orangtuanya kembali. (Dok Sr. Laurentina PI)

TEPAT pukul 10.30 WITA kami memasuki desa Kifu. Maka, kami pun langsung bertanya pada penduduk setempat. Dan kebetulan sekali, kami malah bisa bertemu Kepala Dusun.

Dengan ramahnya kepala dusun bersedia mengantar kami ke rumah ML. Namun, saat itu orang tuanya sedang mengikuti pertemuan di balai desa. Untuk mempersingkat waktu, kami langsung berbicara dengan Kepala Dusun maksud kedatangan kami.

Secara singkat, saya lalu menjelaskan kronologi kedua klien kami sampai tiba di shelter kami. Itu terjadi karena sebelumnya kami telah mendapatkan informasi dari Satgas Trafficking Bandara El-Tari Kupang,

Ini kerjadian sekitar tujuah bulan lalu di tahun 2019 lalu. Tepatnya pasca moratorium. Kedua klien kami ini termasuk anak di bawah umur. Keduanya bermaksud ingin bisa segera bekerja ke Malaysia. Namun cara mendapatkan izin telah ditempuh secara non prosedural.

Kami lalu berusaha membantu mereka. Juga ingin bisa mendampinginya. Awalnya, mereka sangat berminat ingin bisa melanjutkan sekolah. Namun dalam perjalanan waktu, mereka malah memutuskan berhenti sekolah. Lalu juga ingin bisa segera pulang kampung. Tanpa pamit.

Merasa gagal dalam pendampingan

Entah dapat bujukan dari siapa ternyata mereka telah merencanakan akan pulang kampung dan keluar dari sekolah. Kami sudah berusaha untuk membujuk kembali, namun kami tidak berhasil alias gagal dalam pendampingan.

Tak lama kemudian orangtua ML tiba dengan tergopoh-gopoh langsung menemui kami. Dan saya pun mulai membicarakan secara singkat tentang masalah ML.

Sebelum menandatangani pernyataan yang ditulisnya saat masih di shelter, saya pun bertanya kembali, apakah benar mau berhenti dari sekolah?

Dengan tegas, ia menjawab “ya”.  

Perpisahan yang amat mengharukan untuk penulis ketika suara hati mengatakan kali ini saya benar-benar gagal
dalam memberikan pendampingan.

Setelah itu, saya meminta dia tanda tangan di atas dokumen bermaterai yang sudah kami siapkan. Dilanjutkan penandatanganan berita acara penyerahan klien pada orangtuanya.

Setelah selesai, maka kami langsung ke rumah NN. Namun, informasi awal yang kami dapatkan, ia waktu itu masih berada di pasar. Dengan mamanya.

Mengalami situasi ini, kami segera mencari ojek ke arah pasar itu. Namun tidak ada. Daripada menunggu tidak menentu, maka kami berjalan ke Oepoli untuk makan siang di Stasi Tataum.

Saat di Stasi, kami berusaha untuk kontak Nana. Dan ia berjanji akan segera cepat pulang ke rumahnya. Setelah makan siang, kami pun berpamitan dan menuju ke Desa Kifu kembali.

Sesampai di rumah, mereka belum juga pulang. Menurut orangtuanya, dia malah pergi ke pantai.

Dengan sedikit jengkel, saya pun menunggu lagi. Di sinilah kesabaran saya teruji.

Setelah menunggu beberapa lama akhirnya ia pun muncul. Dan tanpa basa-basi, maka saya pun langsung minta tandatangan dua dokumen yang telah kami siapkan.

Setelah foto bersama, kami pun pamit dan langsung beranjak pulang kembali menuju Kupang.

Senja Dermaga Naikliu

Usai sudah misi kami hari ini mengantarkan “domba” kembali ke pangkuan induk semangnya.  engan perasaan lega, kulepaskan tanggungjawab ini pada orang tuanya.

Tentu ada perasaan sangat kecewa, karena sekarang ini kami telah gagal mendampinginya. Untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Untuk mengukur ketulusan hati dalam memberi, maka janganlah diukur berat ringannya barang. Meskipun ringan, bisa saja sarat dengan kasih. Timbangan pada umumnya tidak bisa menakarnya.

Niat seseorang memberikan sesuatu butuh timbangan yang seperti apa. Hanya sang emberi yang tahu persis. Lalu, sang penerima kemudian mensyukurinya.

Dengan amat berat hati, penulis menyerahkan kembali tanggungjawab anak kepada mamanya. Pedih hati menyaksikan adegan ini, karena benar merasa gagal dalam melakukan pendampingan. (Dok Sr. Laurentina PI)

Air laut janganlah pasang

Bersama Sang Mentari yang pulang ke peraduannya, maka kami pun pulang menuju ke arah barat. Dengan perasaan sangat lega. Tanpa beban suatu apa pun.

Meskipun perjalanan selanjutnya tetap menyertai tantangan dan rintangan. Tapi kami yakin, Allah senantiasa menyertai kami dalam perjalanan ini.

Hari semakin gelap, kami harus melewati jembatan kayu yang belum dibangun dengan sempurna.

Sungai demi sungai kami lewati dengan sangat hati-hati karena kondisi jalan yang rawan dan gelap.

Dalam perjalanan pulang ini, kami masih harus berdoa kuat-kuat agar air laut tidak pasang. Jika air sampai pasang, maka kami tidak bisa menyeberang Sungai Termanu.

Itu berarti, kami harus rela nginap bermalam di jalan.

Sebelumnya, kami harus melewati jembatan kayu dengan kondisi yang sangat parah.

Beruntung ada satu mobil pick up yang akan pulang kearah yang berlawanan. Sehingga dua mobil bisa abekerja sama untuk memperbaiki kayu yang sudah miring itu.

Syukur pada Allah. Akhirnya kami bisa melewatinya dengan penuh perjuangan.

Selanjutnya, kami harus berhati-hati dan memperhatikan jalan. Kalau tidak mau tersesat di tengah hutan.

Dalam kondisi jalan yang ekstrim tanpa penerangan ini, kami hanya mengandalkan “mata hati” yaitu Tuhan sendiri sebagai penunjuk jalan.  

Maka, dengan iringan doa-doa tanpa putus, akhirnya kami tiba dengan selamat sampai Kupang, Ibukota Provinsi NTT.

Kupang, 12 Juli 2020

“Benih yang kami terbarkan saat ini jatuh ke tanah yang tandus dan kering, sehingga ketika terkena matahari menjadi layu karena tidak berakar dan akhirnya layu dan mati.” Mat 13:6)

(Selesai)

PS: La missione della Chiesa indonesiana contro il traffico di minori

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here