PERISTIWA ini terjadi saat doa pagi. Sebelum doa, saya melihat-lihat apakah ada anak yang belum hadir. Ternyata ada dua anak yang benar-benar memang tidak hadir.
Kemudian setelah selesai makan pagi, salah satu suster PI di Komunitas Biara Susteran Penyelenggaraan Ilahi (PI) langsung memberitahukan bahwa ada dua anak klien kami telah meninggalkan shelter. Sejak dini hari tadi.
Beberapa hari yang lalu, klien kami memang minta izin boleh pulang. Kata mereka, karena ada keperluan keluarga. Janjinya akan pulang kembali ke Kupang.
Ini sesuai kesepakatan.
Ketika pulang kembali ke Kupang, tapi nyatanya ada hal-hal yang tidak sesuai dengan “kesepakatan”. Juga tidak langsung lapor atau bertemu dengan suster pendamping. Baru bersedia menemui suster pendamping, setelah dengan paksa bisa dibujuk oleh temannya.
Datang terlambat
Setelah itu, yang bersangkutan ini lalu mengungkapkan alasannya mengapa sampai datang terlambat. Tentu saja dengan berbagai macam alasan.
Anak ini sering membuat masalah. Suka mengadu domba temannya dan mengajak mereka untuk tidak jujur. Karena berbagai kejadian sebelumnya inilah, maka suster langsung melakukan cek silang kepada orangtuanya.
Di kemudian hari, dalam wawan hati dengan suster pendamping, akhirnya anak remaja perempuan ini lalu memutuskan keluar dari shelter. Juga tidak mau melanjutkan sekolah lagi.
Memutuskan berhenti sekolah
Setelah wawanhati yang berakhir dengan keputusan tak terduga ini, suster langsung kontak orangtuanya.
Kami menjelaskan bahwa anaknya telah memutuskan berhenti dari sekolah dan ingin segera bisa pulang ke kampung.
Anehnya, di mata kami para pengampu program perlindungan korban perdagangan orang, mamanya langsung menyetujui keputusan anaknya tersebut.
Saat emosi sedemikian panas seperti ini, maka masukan apa pun dari kita demi kebaikan dirinya dari kita tidak akan pernah masuk di hati. Juga tak mampu dicerna dengan baik oleh pikiran rasionalnya.
Dalam keadaan seperti ini, sebagai manusia yang juga punya kelemahan akan kesabaran yang terbatas, kami lalu membiarkan dia membuat keputusan tersebut. Kami ajak yang bersangkutan untuk membuat surat pernyataan.
Intinya mau mengatakan bahwa atas kemauan sendiri dia memang sudah tidak mau sekolah lagi. Juga sejumlah pernyataan lain mengenai konduite yang memberi pengaruh kurang kondusif bagi sejumlah klien kami di shelter.
Mengajak teman
Atas ajakan NN –tepatnya hasutan– temannya satu kampung pun juga sampai terpengaruh. Ia juga langsung memutuskan akan keluar dari sekolah dan ingin pulang kampung.
Namun sebelum proses administrasi sewajarnya kami rampungkan, tidak terduga-duga sama sekali kedua klien shelter kami sudah tidak ada di tempatnya. Pergi tanpa pamit.
Gerak cepat
Setelah mendengar berita kalau NN dan ML telah pergi, maka saya langsung menghubungi sopir rental langganan kami.
Sungguh tidak mudah untuk bisa mencari kendaraan yang bersedia membawa penumpang dari Kupang menuju Amfoang. Selain, lokasinya yang sangat jauh dan medan yang sangat berat, maka dibutuhkan mobil dobel gardan 4×4 WD (four wheel drive).
Namun sayang tidak ada mobil dobel gardan yang saat itu langsung bisa disewa dan akhirnya kami mengunakan mobil Innova yang agak besar.
Kami pun masih harus bersabar, karena sopirnya dalam perjalanan antar penumpang ke Soe. Maka baru pukul 13.00 WITA siang, kami baru bisa menuju ke Pariti.
Sebelumnya, kami membeli bekal makanan. Ini karena di jalur yang akan kami lalui tidak ada mini market maupun warung makan. Setelah siap semua kami langsung melunjur ke arah Amfoang.
Jalan penuh kobangan
Awalnya mobil melaju dengan sangat cepat. Itu karena kami memang memburu waktu supaya tidak terlalu malam sampai di tempat. Saya mengingatkan sopir tidak usah terlalu cepat, karena yang penting selamat.
Karena ini perjalanan pertama kali ke arah Amfoang bagi sopir ini. Makanya, dia harus nyopir dengan sangat hati-hati. Ia perlu kenali medan dulu. Maka sopir pun mulai melaju sedikit pelan dan tidak sembarangan mengendari mobil di medan yang baru ini.
Perjalanan kami siang ini, setelah mobil melaju agak masuk ke pedalaman, maka mulailah ketemu jalan putus-putus. Belum diaspal.
Juga di banyak tempat ada begitu banyak jembatan yang belum selesai dibangun. Berapa puluh kali harus melewati beberapa sungai kering yang sangat luas dan barulah kemudian ketemu jalan aspal lagi.
Panik sekali melintasi Jembatan Termanu
Begitu seterusnya. Dan ketemulah kami dengan jembatan yang sangat terkenal yaitu Jembatan Termanu.
Jempatan sangat panjang saat ini kondisinya sudah mulai miring. Papan kayunya sudah banyak berlubang.
Jembatan Tarmanu merupakan salah satu jembatan yang menghubungkan wilayah Amfoang bagian utara dengan Kupang.
Jika jembatan Termanu ini roboh, maka segala aktifitas perekonomian akan mengalami lumpuh total.
Tahun 2018 lalu, saya masih bisa melewati jembatan ini dengan aman dan lancar. Maka, saya juga tidak sempat tmemberikan gambaran pada sopir kondisi terkini jembatan ini. Namun hanya dengar cerita tentang jembatan yang kondisinya sudah mulai miring ini.
Setibanya kami di mulut jembatan ini, kami semua harus turun dari kabin Innova. Karena takut jembatan akan ambruk. Maka, kami berjalan mengendap-endap menyusuri badan jembatan ini. Sembari melihat-lihat situasi, apakah mobil nantinya akan bisa melewati jembatan ini atau tidak.
Dengan perasaan yang was-was, saya pun ikut berjalan perlahan-lahan sambil berpikir bagaimana caranya mobil bisa tembus jalannya. Sesampainya di pertengahan jembatan yang banyak lubangnya itu, kami berjumpa dengan seorang ibu yang hendak menyeberang ke arah Kupang.
Saat itu, ibu ini langsung mengatakan bahwa mobil Innova kami tidak akan bisa melewati jembatan ini. Maka, harus berputar lewat jalan lain.
Dengan segera segera sopir pun memutar haluan dengan ditemani teman didampingi orang guna bisa mencari jalan yang ditunjukan oleh ibu itu.
Saat itu, saya memang sempat panik sekali. Memikirkan bagaimana caranya mobil bisa melewati jembatan yang sudah mulai miring dan berubang lubang ini.
Kata hati saya mengatakan, kita bisa menyeberangi sungai besar ini. Namun juga harus berani ambil risiko sangat berat.
Dan ternyata Tuhan mengizinkan mobil berhasil menyebrangi Sungai Termanu. Juga tidak melalui jembatan. Sedangkan saya dengan dua orang anak tetap meniti jembatan ini dengan penuh waspada.
Saat menyeberang sungai di atas jembatan, hati saya tetap dihantui perasaan was-was. Ini karena sungai ini terkenal banyak buaya dan cukup dalam. Sungai ini merupakan muara salah satu Teluk Timor.
Ketika terjadi air pasang, maka mobil tidak bisa menyeberang. Selain akan tenggelam, air laut yang tercampur dengan air sungai membuat mobil cepat berkarat.
Jadi banyak risiko yang diambil, jika terus menyeberang sungai tersebut. Jembatan yang menghubungkan Amfoang dan Kupang ini saat ini kondisinya sudah sangat memprihatinkan sekali.
Setelah melewati jembatan ini kami pun langsung melanjutkan perjalanan.
Menjadi orang asing di Paroki Naikliu
Perjalanan panjang dan melelahkan dengan melewati 45 sungai kering yang luas dan medan yang sangat fantastis. Pelan namun pasti, karena kami tidak berani melaju dalam kecepatan tinggi. Juga karena belum menguasai jalan sepanjang jalur pantai ini.
Suasana sudah mulai gelap dan sepi, hanya beberapa orang pengendara motor yang kami jumpai. Pemandangan yang sangat langka dan unik adalah lampu senter yang digunakan untuk penerangan jalan sepeda motor.
Rupanya, hampir semua motor tidak memiliki lampu yang sempurna alias rusak. Mereka menggunakan sorot senter yang dipegangnya.
Karena hari sudah malam kami pun bersepakat untuk bermalam di paroki terdekat. Dalam perjalanan, kami telah berusaha kontak Romo Paroki Naikliu.
Namun karena signal dan jaringan tidak ada, kami pasrah dan dengan penuh keyakinan kami akan diterima dengan baik.
Dalam hal ini dan sekarang ini, kami kurang bijak.
Biasanya kalau saya ke daerah, pasti langsung ingat harus juga membawa perlengkapan mandi. Namun kali ini dan juga karena terburu-buru, semuanya barang penting ini sampai tidak terbawa.
Maka sebelum memasuki areal gereja paroki, kami pun singgah di kios untuk belanja barang yang kami perlukan.
Sesampai di depan gereja, kami pun mulai buka gerbang yang sudah tertutup dengan yakin. Dengan percaya diri, kami pun memasuki halaman gereja.
Dengan rasa was-was kalau tidak diterima boleh masuk ke dalam pastoran, maka kami akan minta izin boleh numpang mandi dan tidur di mobil. Namun di luar dugaan, romo datang menyambut kami dengan sangat ramah.
Tepat pukul 20.30 WITA masuk ruang tamu pastoran dan saya pun langsung menjelaskan maksud kedatangan kami yang kemalaman dalam perjalanan ini. Seorang ibu tetangga paroki yang sangat ramah lalu menyiapkan makan malam. Kami melahapnya dengan citarasa senak sekali.
Ditambah lagi, karena kami sudah sangat kelaparan. Maka kami pun makan dengan amat “rakusnya”.
Selesai makan kami mandi dan akhirnya beristirahat pukul 23: 30 WITA. Kondisi badan terasa sangat capai, setelah seharian di mobil.
Pagi harinya kami bangun dalam keadaan sehat. Setelah mengumpulkan tenaga, kami kembali bersiap melanjutkan perjalanan kami ke Amfoang Timur. Masih menempuh sekitar 2,5 jam dari Nailkiu. (Berlanjut)
PS: The mission of the Indonesian Church against child trafficking