KISAH Abraham di tanah Moria ini adalah sebenarnya sebagai ringkasan pergumulan manusia berhadapan dengan keadilan Allah dan kenyataan penderitaan. Ya, cerita ini pertama-tama dan yang terpenting bukanlah deskripsi historis, melainkan sebuah discernment filosofis teologis terhadap pengalaman penderitaan yang dialami oleh orang-orang Israel, terkhusus penulis teks ini. Kisah ini mewakili juga beribu drama panjang, tragedi, yang dialami oleh manusia: tentang kematian, penyakit serius, keputusasaan, nasib yang pahit, dan sebagainya.
Pergumulan ini melahirkan Teodice, yang secara historis dirumuskan secara klasik oleh Epikurus, seorang filsuf Yunani kuno: “Si Deus est, unde malum?“ Jika ada Tuhan, mengapa ada kejahatan dan kenderitaan?
Sering kali orang melihat penderitaan, penyakit, atau nasib yang dialaminya sebagai percobaan oleh Tuhan, seperti yang dialami Abraham atau dalam drama Ayub. Dan seringkali pengalaman seperti itu disajikan sebagai kehendak Tuhan. Tapi bagaimana semua penderitaan ini bisa menjadi kehendak Tuhan? Tuhan macam apa itu?
Dan yang terpenting: Apa yang kita lakukan untuk mereka yang harus mengalami penderitaan yang begitu besar? Bukankah, dengan mengatakan itu kehendak Allah, seperti menginjak seseorang yang sudah tergeletak di tanah? Bukankah itu tamparan di wajah seseorang yang sudah menderita?
Elie Wiesel: Allah di tiang gantungan
Elie Wiesel, seorang jurnalis Yahudi, dalam bukunya The Night Trilogy menghadirkan kembali kisah penderitaan yang dialami orang-orang Yahudi di Kamp Konsentrasi yang dibuat oleh tentara Nazi. Dalam buku itu, Wiesel merefleksikan pertanyaan tentang Tuhan, di tengah pengalaman ketidakadilan, tentang bagaimana mengerti konsep Allah-adalah-kasih di sebuah Kamp Konsentrasi, bolehkah kita berbicara tentang surga di tempat pembunuhan kemanusiaan?
Elie Wiesel bercerita: di Kamp Konsentrasi, dia bersama yang lain harus melihat tiga orang digantung. Dan seseorang bertanya kepadanya: “Di mana Tuhan?” Dalam diam Elie Wiesel mendengar sebuah suara di kedalaman hatinya yang menjawab: “Di sana – di sana Dia tergantung, di tiang gantungan… ”
Terlepas dari tragisnya kisah ini, saya menemukan bahwa ada secercah harapan yang tersirat di baliknya: yaitu, pengetahuan bahwa Tuhan pun berada di titik kegelapan yang paling gelap dari kehidupan kita. Di setiap pengalaman duka dan nestapa ada wajah Allah: Dia yang selalu bersama mereka yang menderita dan teraniaya.
„Apa yang kamu lakukan untuk saudaraKu yang paling hina ini, itu kamu lakukan untuk Aku.“ Ya, Allah bukan penyebab penderitaan, atau Tuhan yang senang menguji manusia dan berharap „kurban bakaran“ dari umat-Nya.
Allah adalah Dia yang menderita bersama kita. Dia yang membiarkan diriNya tidak berdaya, menjadi lemah untuk mengangkat manusia yang lemah kepada kemahakuasaaNya.
Yesus: Teodice dan Solidaritas (Markus 9:2-10)
“Rabi, betapa bahagianya kami berada di tempat ini! Baiklah kami dirikan tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.” Inilah ungkapan kekaguman dan kebahagiaan ala manusia pada umumnya yang terungkap oleh Petrus di gunung Tabor.
Tak seorang pun yang ingin menderita. Ketika kita berada di puncak kebahagiaan, kita ingin membangun kemah, menikmati panoramanya, dan berusaha untuk terus menanjak menuju puncak kebahagiaan. Tapi ketika mereka mendengar suara Tuhan: „Inilah Anak-Ku terkasih, dengarkanlah Dia!“ mereka menjadi sadar bahwa Allah yang adalah kasih itu harus menjadi Allah yang terlibat dalam sejarah manusia.
Apa yang bisa kita konfrontasikan antara kisah di tanah Moria dan di Gunung Tabor? Penginjil Markus menekankan bahwa ketaatan tidak bisa di bayar, dengan harga berapapun. Ketaatan juga tidak mengesampingkan kebebasan berpikir, tidak menutup hati nurani dan empati serta tidak merusak kehidupan sosial. Ketaatan yang sejati harus berdasar suara hati nurani, intuisi dan pemahaman diri sendiri yang mendalam yang bertujuan untuk keselamatan manusia.
Yesus mengundang kita, untuk menerima pesan kasih Allah di sepanjang tapak hidup kita, untuk terus merasakan campur tanganNya bahkan di saat-saat paling gelap sekalipun. Yesus dalam kisah di atas menguatkan pengharapan kita dan mendorong kita untuk terlibat dalam kehidupan serta jangan terburu-buru mencari jawaban.
Itulah konsekuensi logis dari refleksi teodice: membiarkan Allah sendiri bertanggung jawab atas apa yang diciptakanNya. Allah sendiri mesti membela diriNya. Karena itu Allah tidak perlu dibela. Di sinilah ruang misteri iman bermain. Misteri Allah ini tidak dapat ditangkap sepenuhnya oleh intelek manusia, namun Ia sungguh ada untuk menjamin harapan manusia akan kebahagiaan.
Marilah kita di masa puasa ini memberi kesempatan untuk berjumpa dengan penderitaan, ketidakadilan di sekitar kita, dan terus memperkuat solidaritas, untuk bergerak bersama orang-orang baik di sekitar kita, yang sama-sama berjuang untuk terciptanya keadilan yang lebih besar.
Kata bijak mengatakan: Ketika kamu jatuh, jangan tetap di bawah. Jatuh bukan berarti kalah. Kalah kalau kamu tidak mau bangkit dan kembali mencoba. Terang Kebangkitan hanya terjadi karena Anak Manusia itu jatuh dan bangun kembali untuk sebuah cinta kepada manusia. (Selesai)