SEKITAR 22 tahun yang lalu, seorang bayi perempuan telah lahir secara prematur di Milwaukee, Negara Bagian Wisconsin – wilayah midwest AS.
Bobot bayi itu sekitar 2,5 pon atau satu kilogram lebih sedikit. Namanya Sophia.
Dua hari setelah lahir, Sophia mengalami masalah dengan paru-parunya sehingga harus dioperasi. Sebelum operasi, kedua orangtua dengan amat sangat sampai minta saya agar mau membaptis Sophia. Sekalian untuk jaga-jaga, siapa tahu operasi paru-paru tidak berhasil.
Menjumpai saya, karena ibu kandung Sophia adalah seorang WNI; ayahnya saja orang Amerika.
Sesampai di rumah sakit, hati saya trenyuh melihatnya. Bayi itu berada di dalam sebuah inkubator. Postur tubuhnya kelihatan sangat mungil, berwarna ungu, dan kulitnya nglunthung alias berkerut-kerut.
Bersama seorang imam Jesuit dari Indonesia yang saat itu juga berada di Milwaukee, saya kemudian membaptis Sophia.
Disertai dengan iman yang mendalam. Juga sebuah harapan sangat besar dan pasti yang terbaik untuk bayi kecil itu. Karena, bayi Sophia ini sungguh amat dikasihi oleh kedua orangtuanya.
Menurut ibunya, waktu itu saya sudah punya wanti-wanti. Mengutarakan sebuah pesan layaknya orang Timur, kalau sampai bayi mungil ini operasinya sukses dan kemudian bisa bertahan hidup, maka Sophia nantinya akan bisa menjadi anak yang pandai dan berhasil.
22 tahun kemudian
Tak lama setelah itu, mereka pindah ke kota lain. Saya hanya sempat bertemu lagi satu atau dua kali lagi. Lalu, saya pun kembali ke Indonesia.
Lebih dari 22 tahun berlalu. Kemarin pagi, mereka datang dari Chicago untuk bisa bertemu kembali dengan saya yang sepanjang tahun 2022 ini berada di Milwaukee, Negara Bagian Wisconsin.
Saya mengalami sukacita bisa berjumpa kembali dengan Sophia dan kedua orangtuanya. Ternyata Sophia sudah tumbuh menjadi seorang gadis yang sehat dan tinggi.
Ia sudah menyelesaikan kuliah S-1 di sebuah perguruan tinggi terkemuka di AS -istilahnya di salah satu ivy-league schools– di New Hampshire.
Malah sekarang, Sophia juga sedang menempuh studi S2 di perguruan tinggi terkemuka lain di California.
Di kedua universitas itu, Sophia dewasa bisa kuliah gratis karena menunjukkan prestasi bagus sehingga bisa mendapat beasiswa.
Banyak prestasi
Pada usia 12 tahun, misalnya, Sophia berhasil menjadi juara satu lomba kemampuan bahasa di Negara Bagian Illinois. Bahkan juga sempat maju ke tingkat nasional, meskipun tidak juara.
Pada usia 17 tahun, ia menerbitkan bukunya yang pertama. Ia lanjut menerbitkan buku-buku lain, dan sampai sekarang setidaknya sudah sudah lima buah buku yang ia lahirkan.
Ia sering menggunakan nama pena “Sophie” dan konon beberapa bukunya sudah diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa lain.
Tak mau kehilangan akar budayanya, Sophia juga sangat luwes dalam tari Jawa dan tari Bali.
Berkat pembaptisan 22 tahun lalu
Kedua orangtuanya sangat bersyukur atas doa dan pembaptisan lebih dari 22 tahun yang lalu.
Saking senengnya, kemarin mereka membawa oleh-oleh rice cooker, supermie, beras, abon, bakso, dll. Mungkin maksudnya untuk mengobati kerinduan saya akan makanan Indonesia.
Sophia boleh saja lahir dalam situasi yang sangat tidak ideal.
Tetapi karena kuatnya iman dan harapan serta kasih kedua orangtua dan orang-orang lain di sekitarnya, ia tumbuh dewasa dengan sehat dan penuh prestasi.
Iman, harapan, dan kasih. Itulah kata kuncinya.