INILAH satu keuntungan besar manakala ada kesempatan bisa hidup bersama dalam sebuah komunitas religius internasional. Antara lain fakta bahwa masing-masing anggota komunitas religius itu harus mulai mau belajar banyak hal; termasuk adat dan budaya bangsa lain.
Pendek kata, inilah saatnya saya harus mulai lagi belajar bahasa dan kultur bangsa lain. Tidak hanya bahasa dan “adat istiadat” para pastor Karmelit dari berbagai bangsa dan negara yang ngumpul jadi satu di Ibukota Lima. Tapi juga dan terutama belajar bahasa Spanyol yang menjadi bahasa sehari-hari masyarakat Peru, sebuah negara kecil di kawasan Amerika Latin.
Itulah yang hari-hari ini saya alami di Komunitas Karmel Internasional “Miraflores” di Ibukota Lima, Peru, Amerika Latin.
Bagi saya, hidup di Komunitas Karmel “Miraflores” di Lima, Peru, ini merupakan pengalaman internasional kedua.
Pengalaman pertama terjadi, saat saya menjalani program studi teologi tingkat master di Middlesex University of London tahun 2000-2002. Saat di Ibukota Inggris itu, saya tinggal di Biara Karmel East Fincley London.
Selain dari Inggris sendiri, para penghuni biara di UK itu datang dari India, Zimbabwe, Nigeria, Irlandia, USA dan hanya saya sendiri datang dari “kawasan timur” yakni Indonesia.
May Day di Ibukota Lima
Kini lain kisahnya, ketika saya mulai hidup di tengah-tengah Komunitas Karmelit Internasional di Ibukota Lima, Peru.
Bertepatan pada May Day tanggal 1 Mei 2019 kemarin, sembari menikmati libur nasional di hari yang sama, Pemimpin Komunitas Karmel Peru yakni Romo Miguel O.Carm berinisiatif mengundang semua Karmelit di Peru untuk datang berkumpul di bekas lahan Novisiat Karmel bernama Noviciado Monte Carmelo di Cieneguilla.
Letak lokasi lahan bekas kompleks Novisiat Karmelit ini ada sekitar 45 menit dengan mobil dari Ibukota Lima.
Acara kumpul-kumpul bersama ini bukan untuk keperluan rapat atau kegiatan rohani, tapi sekedar berkumpul untuk membangun persaudaraan.
Sekitar pukul 08.30 waktu Lima, saya berangkat meninggalkan Biara Karmel “Miraflores” di Lima bersama lima imam Karmelit lain. Ikut juga di mobil berbeda delapan orang Karmelit lainnya; semuanya penghuni Biara Postulat Karmel yang lokasinya hanya selemparan batu di depan biara.
Saat kami mulai tiba di tempat ngumpul, ternyata sudah datang rombongan para romo dan frater lain. Mereka datang dari Pastoran serta Novisiat di Hugo Chavez dan Krucho yang lokasinya berdekatan dengan Machu Pichu.
Sepanjang pagi itu hingga makan siang bersama, kami banyak bercengkrama bersama, saling bersharing, mengambil foto bersama, bahkan para frater menyempatkan bermain sepakbola.
Sangat terasakan, di sini tidak ada perbedaan antara mereka yang sudah tertahbiskan menjadi imam, bruder yang suah berkaul kekal dengan para frater yang masih studi, bahkan juga dengan para Novis, Postulan, dan Aspiran Karmelit.
Saya benar-benar merasakan sendiri betapa suasana persaudaraan terbangun secara alamiah; tidak dibuat-buat. Jadi, sungguh tercipta suasana spiritualitas persaudaraan Karmel hadir di tengah kebersamaan tersebut.
Secara keseluruhan, komunitas Karmel di Peru itu terdiri dari orang-orang lokal Peru sendiri. Mereka juga datang dari negara-negara “sebelah” yakni El Salvador, Venezuela dan yang jauh datang dari USA, Irlandia, dan Indonesia.
Berikut ini beberapa pokok wawan hati yang menarik disimak.
- Tempat pertemuan yang kami datangi itu dahulu adalah lokasi Novisiat Karmelit pertama kali ada di Peru. Lahan itu dibangun oleh para romo Karmelit dari Provinsi Karmel PCM Washington, USA.
- Romo Gregorius berkisah demikian. Terutama tentang perjuangannya mendampingi calon-calon Karmelit Peru yang pertama kali dia bina di Peru. Dulunya mereka dikirim ke Washington dan kini sudah punya “lokasi pendidikan” sendiri di Lima.
- Sayangnya, Novisiat Karmelit ini tidak bisa bertahan lama, lantaran kondisi lingkungan yang tidakmemungkinkan. Belum lagi kalau harus melihat areal lokasi ini yang sangat jauh dari permukiman penduduk sekitarnya. Karena itu, lokasi Novisiat baru lalu dipindahkan ke daerah Hugo Chavez.
- Bangunan lama ini sekarang difungsikan sebagai tempat bagi Karmelit siapa pun yang ingin “duduk diam” menyepi.
- Namun, kini setiap akhir pekan, lokasi ini menjadi pusat pelayanan pastoral bagi mereka yang hidup kurang beruntung atau mencari konnsultor pribadi agar bisa berwawan hati.
Panggilan hidup religius di Peru
Pokok wawan hati lainnya berkisar tentang konteks panggilan hidup religius menjadi Karmelit. Menurut penuturan para imam lokal, panggilan menjadi Karmelit tidak terlalu subur di Peru.
Di tanah Peru ini sudah lama berkarya para imam dari kelompok tarekat religius lain yakni Fransiskan, Dominikan, CMF, dan para imam praja (diosesan) lokal.
Seorang Karmelit dari USA bahkan bersaksi heboh seperti ini.
D sekolah-sekolah di mana Karmelit menjadi pemilik dan pengelolanya di seluruh kawasan Peru, ternyata belum ada satu pun alumnus yang berani memutuskan diri masuk ingin menjadi imam dan memilih Ordo Karmel sebagai pijakannya.
Padahal, kata dia, sekolah-sekolah asuhan Karmel ini setiap tahun bisa menerima pasokan murid tidak kurang dari 1.000-an orang.
Kisah ‘sedih’ itu berlanjut lagi, ketika pastor itu mengatakan bahwa sudah banyak kali aksi promosi panggilan hidup bakti dilakukan. Tetapi, tetap saja belum ada satu manusia pun yang akhirnya nyanthol ikut masuk.
Belajar bahasa Spanyol
Pekan-pekan ini sejak kedatangan di awal bulan April 2019 lalu, saya mulai aktif belajar bahasa Spanyol.
Karena itu, dalam pertemuan keakraban itu, saya mulai berani bicara –meski harus plegak-pleguk (patah-patah dan tersendat)– sedikit-sedikit mengucapkan kalimat atau kata-kata bahasa sehari-hari di Peru: bahasa Spanyol.
Ternyata dalam wawan hati itu, saya lalu mendapat “kawan” yakni kenyataan bahwa belum semua misionaris asing Karmelit yang saat ini ada di Peru sudah bisa mahir berbahasa Spanyol. Mereka bersaksi mau tidak mau orang butuh waktu lama untuk bisa menguasai bahasa Spanyol agar nantinya bisa cas,cis,cus ngomong Spanyol.
Ada yang berkisah dalam sehari mereka biasa mengalokasikan waktu setidaknya lima jam sehari untuk latihan ngomong Spanyol. Yang paling susah adalah bahwa mereka harus mengikuti “irama” dialek para guru lokal yang mengajari mereka berbahasa Spanyol.
Ternyata setiap guru itu punya “ragam dialek”nya sendiri-sendiri sehingga susah mencari mana yang “baku” dan mana yang “KW”.
Butuh waktu tiga bulan
Pokok-pokok wawan hati juga menyinggung soal menu makanan, cuaca, dan bagaimana berkiat menghadapi tantangan bergaul dengan berbagai macam watak manusia dari bangsa berbeda-beda latar belakang budaya dan bahasa.
Ada yang berkisah menarik soal makanan. Pastor itu sampai mengalami sakit perut hingga diare tanpa henti, karena tidak cocok mengkonsumsi makanan lokal. Lain orang mengalami pusing di kepala tiada henti.
Orang lain malah berkisah ‘aneh’. Ia selalu merasa lapar dan ingin makan lagi, padahal baru saja selesai makan besar.
Intinya, mereka ingin mengatakan, proses adaptasi diri di Peru tidak sulit tapi juga tidak gampang. Setidaknya butuh waktu, sedikitnya tiga bulan, untuk bisa benar-benar ajur-ajer tune in dengan lingkungan budaya dan bahasa yang serba baru.
Nah, saya punya harapan agar secepatnya bisa menguasai bahasa Spanyol dan berani mengucapkannya dengan lancar serta menikmati menu kuliner khas lokal.