Laporan dari Roma: Dari Vatikan, Gema 100% Katolik 100% Demokrasi dalam Dialog Kebangsaan

0
857 views
Para peserta dialog kebangsaan dari kalangan IRRIKA Italia di Aula Generalat SVD Roma. (Ist)

USAI Pemilu serentak 17 April 2019 dan pengumuman hasil pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) ternyata masih menyisakan pekerjaan rumah bersama dalam merajut tali persaudaraan sebagai sesama anak bangsa Indonesia.

Pemilu 2019 yang dikenal sebagai pemilu terbesar di dunia dengan tingkat partisipasi tertinggi sejak Reformasi ini, menelan korban meninggal terbanyak dan juga meningkatnya politik identitas.

Banyak kelompok membuat ajakan dan gerakan untuk bersama-sama menjalin silahturahmi dan persatuan kembali, demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

Menyadari akan situasi pasca pemilu tersebut sekaligus mengenang hari lahir Pancasila, Ikatan Rohaniwan-Rohaniwati di Kota Abadi (IRRIKA) Italia menyelenggarakan Dialog Kebangsaan di aula Generalat Societas Verbo Divini (SVD), Roma, Italia, Sabtu sore (1/6/2019).

Hadir sebagai tiga narasumber, yakni:

  • Pastor Dr. Paulus Budi Kleden SVD: Superior Jenderal atau Pemimpin Tertinggi Kongregasi SVD Sedunia.
  • AM Putut Prabantoro: Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada atau Semangat Satu Bangsa.
  • Hermawi Fransiskus Taslim: Ketua Forkoma PMKRI sekaligus Wakil Sekretaris Jenderal Partai Nasdem.
Pastor Budi Kleden SVD sedang menyampaikan-gagasannya.

Dialog dipandu oleh Pastor Frumensius Gions OFM yang saat ini sedang menulis disertasi doktoral tentang Pancasila sebagai anugerah bagi Bangsa Indonesia.

Dialog ini juga dihadiri oleh Dubes RI untuk Tahta Suci Vatikan Antonius Agus Sriyono, Sekretaris Pribadi Kepala Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama Pastor Markus Solo Kewuta SVD, para Anggota Dewan Jenderal berbagai kongregrasi, serta lebih dari 60-an pastor, suster dan frater yang sedang studi maupun berkarya di Vatikan-Roma, Italia.

Mendoakan Ny. Ani Yudhoyono

Sebelum dialog kebangsaan dimulai, para peserta berdoa secara khusus untuk kedamaian abadi bagi arwah almarhumah Ibu Kristiani Herrawati atau Ani Yudhoyono, isteri mantan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Bu Ani Yudhoyono meninggal dunia karena penyakit kanker darah di usia 67 tahun. Ia menghembuskan napas terakhir di National University Hospital, Singapura, pada pukul 11.50 waktu setempat, Sabtu (1/6/2019).

Sharing dari Pastor Markus Solo Kewuta SVD.

Doa dipimpin oleh Pastor Markus Solo Kewuta SVD.

Dalam pengantar dialog kebangsaan, Pastor Frumensius mengingatkan ada dua ciri seorang diaspora menurut Kitab Suci.

Pertama, ia selalu ingat akan rumah atau kampung halaman.

Kedua, ia tidak akan pernah melupakan Tanahair, termasuk nilai atau dasar yang mempersatukan hidup bersama sebagai bangsa.

”Lebih baik orang itu dikalungi batu kilangan dan dibuang ke laut, biar tenggelam, kalau sampai melupakan tanah air Indonesia dan dasar negara Pancasila,” katanya.

Pancasila “lahir” di Ende

Berbicara akan Pancasila sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia, Pastor Budi Kleden mengingatkan bahwa Pancasila digali dan dihasilkan dari permenungan Bung Karno saat dibuang di Ende, Flores, NTT.

Kota Ende menyimpan sejarah panjang perihal sepak terjang Bung Karno selama empat tahun (14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938 –red.) menjalani pengasingan atau pembuangan.

Selama di pengasingan, kata Pastor Budi, kehidupan Soekarno sangat sederhana. Soekarno justru bisa berpikir lebih dalam tentang banyak hal, termasuk dasar hidup bernegara.

Ia juga bergaul dan berdiskusi bersama dengan para pastor misionaris dari Belanda, seperti Pastor PG Huijtink SVD yang waktu itu menjadi pastor Paroki Katedral dan Pastor Dr. Bouma SVD yang kala itu sebagai pemimpin Serikat Sabda Allah (SVD) se-Regio Flores.

Permenungan Soekarno tentang Pancasila dilakukan di sebuah taman di bawah pohon sukun. Kini, taman itu dikenal dengan nama Taman Renungan Bung Karno atau Taman Renungan Pancasila.

Lokasinya di Kelurahan Rukun Lima. Di taman tersebut, terdapat patung Soekarno duduk merenung di bawah pohon sukun bercabang lima sambil menatap ke arah laut. Sementara, pohon sukun yang ada di Taman Renungan Bung Karno disebut Pohon Pancasila.

“Pancasila digali oleh Soekarno saat ia dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda di Ende, NTT.  Pancasila ini memerlukan dua syarat yang signifikan saat dilahirkan dan untuk terus dipertahankan,” ujar Pastor Budi.

Lebih lanjut diuraikan, syarat pertama adalah keterlibatan dan keterbukaan dalam bermasyarakat. Ada dialog antarwarga secara setara dengan menghargai perbedaan di antara mereka. ”Bermasyarakat. Jangan elitis,” tegasnya.

Syarat kedua adalah penguatan wacana politik yang sehat. Saat ini masyarakat Indonesia, tutur Pastor Budi, sedang dibanjiri dengan wacana politik yang tidak sehat terutama di media sosial, karena dipenuhi dengan berita bohong (hoaks), ujaran kebencian, dan keinginan menang sendiri.

Ia mengharapkan agar para biarawan-biarawati ikut aktif membangun wacana politik yang sehat di tengah masyarakat. Wacana politik itu seharusnya menguatkan persatuan dan kesatuan Indonesia, serta memperkuat fondasi berbangsa, saat ada guncangan dalam diri bangsa ini.

Rumah tempat tinggal Bung Karno selama menjalani pengasingan politik di Ende, Flores, NTT. (Mathias Hariyadi)

Tiga cara perkuat pondasi bangsa

Menurut Pastor Budi Kleden, ada tiga cara untuk memperkuat fondasi bangsa serta meneguhkan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup rakyat Indonesia.

  • Pertama, pengembangan sistem dan budaya berdemokrasi yang sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia. Demorasi tidak sekedar pemilu, tetapi juga berani berbeda pendapat dan menerima perbedaan pendapat.
  • Kedua, adanya kualitas dan proporsionalitas peran ketiga elemen bangsa, yakni masyarakat sipil, pemerintah, dan dunia usaha.
  • Ketiga, adanya kesadaran yang benar tentang sistem nilai dan sumber-sumbernya. Demokrasi tidak selalu bisa didekati dan dijelaskan dengan sistem nilai yang bersumber dari agama.

“Negara demokrasi tidak dapat menciptakan nilai-nilai sendiri, sehingga butuh wadah-wadah lain seperti kebudayaan, tradisi dan agama, dsb,” urainya.

“Kita sudah terbiasa dengan slogan 100% Katolik 100% Indonesia, tetapi saat ini menurut saya, kita sebagai cendekiawan sekaligus biarawan-biarawati harus menggemakan dan menghidupi 100% Katolik 100% demokrasi,” ajaknya.

Menyembuhkan luka

Sementara itu, AM Putut Prabantoro mengungkapkan bahwa suka tidak suka Pilpres kemarin meninggalkan luka. Sebenarnya luka itu sudah ada sejak pilpres 2014. Luka batin itu juga diwariskan dari generasi ke generasi.

“Orde Baru menilai semua hal yang dilakukan Orde Lama itu buruk. Orde Reformasi menilai Orde Baru merusak tatanan. Padahal, setiap orde mempunyai jasa, kelebihan dan kelemahannya masing-masing,” ujar Putut.

Tugas kita bersama saat ini, ajak alumnus Lemhannas ini, untuk menyembuhkan luka-luka itu, merajut kebersamaan dan persaudaraan kembali. Kekuatan bangsa Indonesia ada pada persatuan. “Hikmat kebijaksanaan harus sebagai pola hidup bersama,” tegasnya.

Untuk memimpin negara yang besar seperti Indonesia, dibutuhkan figur pemimpin yang mau mendengarkan, melayani serta seia sekata dalam perkataan dan perbuatan.

Menurut Hermawi Fransiskus Taslim, tugas pemimpin itu mendengar dan melayani rakyat.

“Kita harus optimis. Seperti yang sering dikatakan Pak Jokowi, seorang pemimpin itu harus optimis dan mengajak masyarakat untuk membangun masa depan dengan optimisme. Sejauh saya mengenal pak Jokowi, saya melihat kelebihan pak Jokowi adalah setia mendengarkan dan melayani,” tambahnya.

Sementara itu Dubes RI untuk Vatikan Agus Sriyono mengungkapkan optimismenya bahwa bangsa Indonesia akan mampu melewati masa “krisis” akibat gesekan selama Pemilu 2019, sebab persoalan yang sebenarnya bukan sekedar pemilu 5 tahunan. Siapa pun peserta pemilu, harap Agus Sriyono, harus siap menang dan siap kalah setelah sengketa pemilu diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.

“Kita semua harus berjuang mati-matian dengan demokrasi. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang bersumber, berakar dan berasal dari budaya bangsa kita sendiri, bukan ideologi dari Barat,” kata Agus Sriyono.

Upacara Hari Lahir Pancasila di Kedubes RI untuk Vatikan yang berada di Roma.
Dubes RI untuk Vatikan Antonius Agus Sriyono.

Sebelum dialog kebangsaan, di kantor KBRI Vatikan sudah dilangsungkan upacara untuk memperingati Hari Lahir Pancasila yang diikuti para staf KBRI dan puluhan biarawan-biarawati. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan rekaman lagu Nusantara, Selamat Hari Lebaran, dll.

“Saya terharu tadi siang para romo dan suster secara bersama-sama menyanyikan lagu Hari Raya Kebaran untuk saudara-saudari kita, umat Muslim,” tutur Dubes Agus.

Di penghujung dialog kebangsaan yang berlangsung 3 jam tersebut, AM Putut membagikan buku Masyarakat Pancasila kepada beberapa perwakilan peserta dialog.

Buku itu ditulis oleh mantan Gubernur Lemhannas Letnan Jenderal (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo. a mengharapkan agar nilai-nilai luhur Pancasila dijunjung tinggi bagi kemajuan dan kehidupan berdemokrasi di Tanahair Indonesia.

Kredit foto: Y. Gunawan, Pius Novrin, dan staf KBRI Vatikan.

AM Putut Prabantoro menyerahkan buku “Masyarakat Pancasila” karya Letjen (Purn.) Sayidiman.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here