BERIKUT ini kami sampaikan hasil perolehan dana amal kasih untuk Keuskupan Agats di Papua dengan judul “Laporan 1” agar bisa mengindentifikasi semua proses transaksi yang terjadi mulai tanggal 18-23 Januari 2018.
Program Donasi Amal untuk Keuskupan Agats ini dibesut oleh Sesawi.Net dalam kerjasamanya dengan Yayasan Sesawi.
Program amal kasih dengan periode terukur ini resmi dirilis pada tanggal 18 Januai 2018.
Perolehan donasi amal kasih
Sejak dirilis beberapa hari lalu dan telah berjalan sampai hari Selasa siang tanggal 23 Januari 2018 ini, kami mencatat beberapa hal sebagai berikut ini:
- Hasil perolehan dana amal kasih untuk Keuskupan Agats melalui Sesawi.Net dan Yayasan Sesawi telah terkumpul dan mencapai angka sebesar Rp 69.136.018,00.
- Jumlah perolehan tersebut akan kami berikan langsung kepada Keuskupan Agats di Papua, setelah sebelumnya kami melakukan koordinasi penyaluran dana tersebut dengan pihak-pihak yang langsung berkepentingan dengan program ini.
- Mereka ini adalah Bapak Uskup Diosis Agats Mgr. Aloysius Murwito OFM, Romo Tjokro Pr yang diberi tugas oleh Bapak Uskup untuk mengawal program-program kemanusiaan Keuskupan Agats.
- Donasi yang belum tercatat dalam Laporan 1 ini akan kami masukkan dalam Laporan 2.
Kerjasama dengan beberapa pihak
Program donasi amal untuk Keuskupan Agats ini berhasil diretas atas kerjasama yang baik dan intensif antara Redaksi Sesawi.Net dan Yayasan Sesawi –keduanya di Jakarta– dengan Bapak Uskup Diosis Agats Mgr. Aloysius Murwito OFM di Kabupaten Asmat.
Kerjasama ini juga berhasil dirintis berkat percakapan intensif dengan Romo Tjokro Pr, Romo Boby Harimapen OSC (Pastor Kepala Paroki Gereja Salib Suci Katedral Agats) yang keduanya kami kenal dengan baik sejak tahun 1990-an.
Berikut pula komunikasi dengan Sr. Aloysia OSU yang bertugas di bagian pelayanan pastoral Keuskupan Agats. Namanya kami dapatkan atas rekomendasi Sr. Korina OSU.
Kedua pastor (Romo Tjokro dan Romo Boby) dan Suster Ursulin (Sr. Aloysia) itu sekarang masih bertugas dan berada di Asmat.
Sementara, Sr. Korina OSU dalam beberapa tahun terakhir ini telah bertugas di Jakarta.
Namun, suster biarawati Ursulin asal Bajawa di Flores – NTT ini pernah menghabiskan waktunya lebih dari 10 tahun berkarya di Keuskupan Agats, Papua.
Sesawi.Net dan Yayasan Sesawi adalah dua lembaga pelayanan yang diasuh oleh para mantan anggota Ordo Serikat Yesus (SJ) Provinsi Indonesia.
Sesawi.Net bergerak di bidang layanan informasi berita-berita baik tentang Gereja Katolik melalui media virtual.
Sedangkan, Yayasan Sesawi bergerak di bidang program-program kemanusiaan dan penerbitan buku yang antara lain telah terbit buku laris Spiritualitas Yesuit dalam Keseharian (Juli: 2017) karya James Martin SJ.
Para pengasuh kedua lembaga ini dengan demikian adalah para mantan Jesuit.
Proses penyaluran dana
Setelah perolehan donasi tahap 1 (periode 18-23 Januari 2018) ini terkumpul dan tercatat rapi, maka pada hari Rabu tanggal 24 Januari 2018 besok, kami akan melakukan proses transfer ke Keuskupan Agats melalui rekening resmi Keuskupan Agats di Papua.
Rekening resmi milik Keuskupan Agats itu tercatat sebagai berikut:
- BRI Cabang Timika – Unit Asmat .
- Nomor rekening 4977 01 016573 5xx.
- Atas nama: Karitas Keuskupan Agats.
Pada hari Selasa malam ini, kami berkonsultasi dengan Bapak Uskup Diosis Agats Mgr. Aloysius Murwito OFM dan Romo Tjokro Pr bahwa prosedur transfer di atas itu memang dianjurkan.
Bukti transfer bank akan segera kami rilis.
Pada kesempatan akan bertemu dengan Mgr. Aloysius Murwito di Jakarta beberapa hari mendatang, Redaksi Sesawi.Net dan Yayasan Sesawi akan melaporkan sekilas program bantuan donasi amal ini.
Kepada Bapak Uskup Diosis Agats, kami akan menyampaikan program misi kemanusiaan ini untuk membantu Keuskupan Agats agar bisa melakukan karya-karya amal kasih dalam merespon bencana KLB campak dan gizi buruk di banyak wilayah di Kabupaten Asmat ini.
Mengapa Keuskupan Agats perlu dibantu?
Medan pelayanan pastoral dan misi kemanusiaan Keuskupan Agats di Kabupaten Asmat ini memang lain dari tempat-tempat lain di Indonesia.
Lokasinya terisolir karena tiadanya akses transportasi dari satu lokasi ke tempat lain, selain hanya bisa mengandalkan sampan motor atau speedboat yang memanfaatkan aliran sungai.
Manakala aliran sungai mengalami surut, maka akses satu-satunya itu pun akan menjadi sulit dilalui. Sampan motor atau speedboat bisa kandas di aliran sungai dan itu berarti kita ‘tersesat’ di tengah hutan belantara in the middle of nowhere pula.
Kondisi ini penuh risiko, karena bisa jadi buaya muara bisa muncul tiba-tiba di aliran sungai.
Sementara, aksi nekad, misalnya, ingin turun dari ‘kabin’ speedboat hanya untuk pipis atau keperluan lainnya, maka bahaya lain akan mengintai. Badan manusia bisa terperosok dan tersedot masuk ke dalam lumpur lantaran saking pekatnya ‘tanah’ berlumpur tersebut.
Dalam bahasa Jawa, ‘tanah’ berlumpur itu persis seperti lendut: lumpur basah, pekat, dan pliket (melekat kencang di tubuh).
Semua motoris di Asmat harus pandai ‘membaca’ situasi, terutama mencermati arus aliran sungai: tengah pasang atau surut.
Karena hanya bisa mengandalkan moda tranportasi air melalui aliran sungai atau perairan pantai di sepanjang Laut Arafura, maka biaya transportasi untuk melakukan pelayanan pastoral dan misi kemanusiaan di Keuskupan Agats menjadi sedemikian mahal.
Itu karena harus speedboat –biasanya dengan mesin ganda berkekuatan 84 PK– harus mengkonsumsi volume BBM yang lumayan banyak untuk hanya melakukan satu rute perjalanan dari ‘pusat kota’ di Asmat menuju titik-titik lokasi KLB di pedalaman.
Waktu tempuh melalui aliran sungai ini bisa berlangsung selama 3-5 jam perjalanan naik speedboat dengan mesin berkekuatan 45 PK atau 84 PK.
Tidak ada cerita tentang tentang speedboat itu bisa ‘isi solar’ di sebuah ‘SPBU’ dalam perjalanannya. Di pedalaman tidak ada ‘SPBU’. Kalau pun bisa melewati kawasan permukiman penduduk dan di sana ada kios jual BBM (utamanya solar), maka hal itu sudah menjadi ‘karunia’ tiada berhingga. Artinya, perjalanan yang selamat sampai di tujuan berhasil dirintis di jalan.
Habis BBM di jalan menjadi sebuah petaka serius dan hal itu bisa mengundang risiko: kelaparan, kehausan, tersesat berhari-hari. Itu karena keberadaan kita tidak bisa terdeteksi oleh orang lain –misalnya tim SAR atau penduduk setempat– lantaran sinyal HP tidak tersedia di kawasan pedalaman.
Boro-boro sinyal HP, listrik saja tidak ada.
Serba lumpur di mana-mana
Selain itu, kawasan Kabupaten Asmat rata-rata ‘bertanah’ lumpur basah di mana tidak banyak tanaman buah dan apalagi sayuran bisa tumbuh, selain pohon bakau, kelapa, sagu, dan lainnya.
Hujan adalah ‘tulang punggung’ kehidupan masyarakat sehari-hari di Kabupaten Asmat. Dari hujan inilah, mereka merajut hari-hari hidupnya.
Air hujan itu dipakai untuk keperluan masak, mandi, cuci pakaian, dan urusan kamar mandi/WC.
Hujan menjadi sumber kehidupan
Pengalaman penulis ketika ikut blusukan selama kurang lebih 10 hari ke beberapa lokasi di pedalaman Kabupaten Asmat dengan Mgr. Aloysius Murwito OFM pertengahan Juni 2013 dengan jelas memberi kejelasan seperti ini:
- Tidak ada hujan, maka juga tidak bisa mandi selama 1-2 hari. Opsi lain adalah harus mandi di sungai penuh lumpur. Satu-satunya pengalaman mandi yang ‘asyik’ terjadi di Stasi Sagare –sekitar tujuh jam perjalanan– dari ‘pusat kota’ di Asmat. Itu karena sungai ini relatif kecil dengan kandungan lumpur yang tidak banyak. Bapak Uskup Mgr. Murwito memilih mandi di kali saat itu, sementara kami memilih mandi dengan air kiriman penduduk lokal dengan syarat: mandi ‘berjurus kung fu’ alias membersihkan diri apa adanya saja.
- Perjalanan ke pedalaman butuh mental ‘tahan banting’ untuk duduk berlama-lama di speedboat dalam perjalanan 3-6 jam di bawah terik sinar matahari dan hujan.
- Naik perahu menyusuri aliran sungai adalah perjalanan penuh risiko, karena bisa kehilangan ‘arah kompas’ saking lebarnya ‘badan’ sungai yang bisa mencapai kisaran 500-1.000 meter sehingga pandangan mata tak bisa menjangkau ada apa di balik ‘horizon’.
- Sepanjang perjalanan menyusuri aliran sungai itu, tidak banyak permukiman penduduk. Benar-benar sepi dan sinyal HP nyaris tidak ada sama sekali.
- Ketersediaan listrik juga sangat terbatas hanya pada jam-jam tertentu saja
Melihat semua kondisi riil di atas, maka sudah selayaknya program-program kemanusiaan yang dilancarkan oleh Keuskupan Agats di Papua ini layak kita bantu.
Jangan barang
Cara paling praktis membantu Keuskupan Agats adalah dengan donasi finansial, dan bukan barang karena akan makan biaya luar biasa tinggi untuk proses delivery-nya.
Ingat bahwa pesawat ‘capung’ dari Timika menuju Bandara Ewer di Kabupaten Asmat itu hanya mampu membawa jumlah penumpang sangat-sangat terbatas dengan aturan ketat: penumpang tujuah orang (plus satu pilot) dengan bawaan bagasi tidak boleh melebihi 800 kg.
Pertanyaan mengenai program amal kasih untuk Keuskupan Agats ini bisa dilakukan dengan mengkontak Redaksi melalui email ini: portalsesawi@gmail.com.