Renungan Harian
Kamis, 23 September 2021
PW. St. Padre Pio
Bacaan I: Hag. 1: 1-8
Injil: Luk. 9: 7-9
SUATU pagi, sepasang suami isteri datang meminta saya mendoakan puterinya. Menurut cerita bapak dan ibu itu, puterinya mendapatkan gangguan “setan”.
Puterinya setiap kali mendengar suara kucing selalu histeris teriak-teriak dan melakukan gerakan seperti mengusir kucing yang datang. Bahkan sering kali menutup mukanya dengan bantal.
dia tidak takut dengan kucing, tetapi yang menakutkan bagi dia adalah ketika kucing itu mulai mengeong.
Saya mengatakan bahwa saya tidak punya kemampuan untuk melihat “setan”. Juga tidak punya kemampuan menjadi pengusir setan.
Namun saya menjanjikan akan datang ke rumah keluarga itu untuk mendoakan puterinya.
Pada hari yang telah kami sepakati, saya datang ke rumah keluarga itu. Saat saya bertemu dengan puterinya, saya tidak melihat suatu keanehan apapun dari putrinya.
Ia ngobrol dengan kami biasa. Juga bisa menceritakan tentang kuliahnya dengan baik. Dalam pandangan saya, tidak ada sesuatu yang menunjukkan keanehan dari perilakunya. Sebelum berdoa bersama, saya meminta waktu untuk bicara berdua dengan puteri itu.
Kami berdua ngobrol rileks. Saya bertanya apa yang mengganggunya, bentuknya seperti apa dan semacamnya.
Saya juga bertanya sejak kapan takut dengan kucing, suara kucing seperti apa dan seterusnya. Dalam pembicaraan itu saya menangkap bahwa puteri itu takut dengan suara kucing yang dalam bayangan atau imajinasinya adalah suara bayi yang menangis.
Saya mencoba menelusuri mengapa takut dengan suara bayi yang menangis.
Dalam pembicaraan yang panjang, puteri itu bercerita bahwa sesungguhnya yang muncul dalam bayangan dia adalah bayi menangis itu seolah-olah meminta dikasihani dan minta digendong.
Ia menolak hal itu sehingga merasa dikejar dan menjadikan dia histeris. Dalam pembicaraan yang mulai cair, puteri itu mengaku bahwa sesungguhnya dia pernah menggugurkan kandungan. Buah hubungan dengan pacarnya. Peristiwa itu terjadi beberapa bulan yang lalu dan tidak ada anggota keluarganya yang tahu.
Apa yang terjadi dengan puteri itu sebetulnya adalah dia dikejar-kejar rasa bersalah yang amat dalam. Ia mencoba lari dari rasa bersalahnya, mencoba melupakan rasa bersalahnya, namun dia tidak mampu lari dan melupakan karena terpicu oleh suara kucing yang dalam bayangan dia seperti suara bayi.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Lukas, Herodes ingin bertemu dengan Yesus bukan karena dia ingin bertemu dengan Yesus, tetapi lebih untuk menenangkan dirinya yang dikejar-kejar rasa bersalah.
Kiranya jika bertemu dengan Yesus, kalau Yesus masih menjadi pemicu munculnya rasa bersalah dengan kekuasaannya bisa menyingkirkan Yesus demi rasa aman dan nyaman sembunyi dari rasa bersalah.
“Tetapi Herodes berkata: ‘Yohanes kan telah kupenggal kepalanya. Siapa gerangan Dia ini, yang kabarnya melakukan hal-hal besar itu?’ Lalu ia berusaha supaya dapat bertemu dengan Yesus.”
Bagaimana dengan aku? Apakah aku lebih senang melarikan diri dari persoalan-persoalan yang membayangiku atau aku berani memeluk dan menyelesaikannya?