Keuskupan Ketapang: Jungkir Balik di Jalanan Berlumpur dan Terjungkal di Miting (4)
SIAPKAN mental sekeras baja, jiwa tahan banting, tidak cengeng, dan sedikit menyukai petualangan. Maka, inilah modal paling pas untuk menjadi seorang imam di Keuskupan Ketapang di Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar).
Mengapa mental baja dan sedikit suka avonturir ini penting di Keuskupan Ketapang?
Sekedar tahu saja bahwa wilayah yang layak disebut ‘kota’ itu sebenarnya hanya Ketapang saja. Yang boleh disebut ‘setengah kota’ dengan kriteria sebesar kelurahan atau kecamatan di kawasan udik di Jawa adalah ‘pusat kota’ paroki.
Sisanya adalah ‘pedalaman’ yang oleh masyarakat Ketapang suka disebut ‘hulu’ – terminologi mengikuti daerah aliran sungai (DAS) dimana permukiman penduduk berada tak jauh dari sumber air sungai itu berasal.
Maka, semua stasi yang ada di Keuskupan Ketapang ini praktis berada di wilayah ‘hulu’ atau masuk pedalaman hutan.
Baca juga: Lebih Jauh dengan Keuskupan Ketapang: Uskup Uji Nyali dengan Motor Trail (3)
Bagaimana bisa mencapai kawasan hulu dan pedalaman hutan ini? Tidak ada cara lain, kecuali kadang-kadang bisa dengan mobil spek khusus dobel gardan atau tak jarang juga hanya bisa dicapai dengan motor sampan atau sepeda motor trail.
Sensasi atau tantangan uji nyali
Menyusuri jalanan berbatu, penuh kobangan lumpur di kala musim hujan plus kondisi jalan berlumpur yang sangat licin dan ‘mencengkeram’ roda merupakan sensasi tersendiri. Bagi para petualangan sejati yang menyukai medan off road, maka inilah wahana ‘pesta pora’ yang bisa menguji nyali mereka.
Menyenangkan tentu saja. Terutama bagi para off roader yang ‘menikmati’ medan uji nyali ini secara berkala. Mungkin saja hanya sesekali dalam hidupnya: kurun waktu sekali dalam setahun atau sekali dalam lima tahun, maka ini menjadi sensasi yang menyenangkan.
Namun bagi Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi dan para imam lainnya, maka medan jalan penuh kobangan lumpur, sangat licin, dan jauh dari jangkauan listrik dan sinyal HP ini menjadi ‘uji nyali’ sesungguhnya. Kalau hal semacam ini terjadi hampir setiap pekan atau paling lama sebulan sekali, maka ‘sensasi’ berubah menjadi tantangan yang menguji tekad, iman, dan semangat pengabdian.
Cura animorum. Barangkali istilah spiritualitas Jesuit yang berarti ‘merawat jiwa-jiwa’ ini cocok untuk para imam diosesan Keuskupan Ketapang dan imam Passionis (CP) berikut Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi Pr yang menggantungkan hidup mereka pada ‘penyelenggaraan ilahi’ ketika harus meniti miting (jalan berpapan di atas jalan lumpur atau kobangan air) atau melaju di atas jalanan berbatu dan berlumpur tebal.
Paparan foto berikut memperjelas makna yang dimaksudkan. Kita mesti mengacungkan topi kepada para imam praja Keuskupan Ketapang dan kolega mereka para pastor Passionis (CP) yang berkarya di Keuskupan Ketapang bersama Sang Gembala mereka: Mgr. Pius Riana Prabdi Pr.
Terima kasih kepada Mgr. Pius Riana Prapdi dan Romo GM Lastsendy Pamungkas Winarta Pr yang telah berbagi koleksi foto berharga ini kepada Redaksi Sesawi.Net.