Senin (H), 1 Juni 2020
- Kis 1:12-14;
- Mzm 87:1-2.3.5.6.-7;
- Yoh.19:25-34.
Lectio
25 Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena. 26 Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: “Ibu, inilah, anakmu!” 27 Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: “Inilah ibumu!” Dan sejak saat itu murid itumenerima dia di dalam rumahnya.
28 Sesudah itu, karena Yesus tahu, bahwa segala sesuatu telah selesai, berkatalah Ia — supaya genaplah yang ada tertulis dalam Kitab Suci: “Aku haus!”29 Di situ ada suatu bekas penuh anggur asam. Maka mereka mencucukkan bunga karang, yang telah dicelupkan dalam anggur asam, pada sebatang hisop lalu mengunjukkannya ke mulut Yesus. 30 Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: “Sudah selesai.” Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya.
31 Karena hari itu hari persiapan dan supaya pada hari Sabat mayat-mayat itu tidak tinggal tergantung pada kayu salib — sebab Sabat itu adalah hari yang besar — maka datanglah orang-orang Yahudi kepada Pilatus dan meminta kepadanya supaya kaki orang-orang itu dipatahkan dan mayat-mayatnya diturunkan. 32 Maka datanglah prajurit-prajurit lalu mematahkan kaki orang yang pertama dan kaki orang yang lain yang disalibkan bersama-sama dengan Yesus;
33 tetapi ketika mereka sampai kepada Yesus dan melihat bahwa Ia telah mati, mereka tidak mematahkan kaki-Nya, 34 tetapi seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan tombak, dan segera mengalir keluar darah dan air.
Meditatio-Exegese
Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena
Salib menantang tiap manusia menatap Yesus yang menderita muka dengan muka. Ia sendirian. Hampir semua murid meninggalkan-Nya karena ketakutan. Tetapi, Ibu Maria, Maria, istri Klopas, dan Maria Magdalena, serta murid yang dikasihinya berdiri dekat salib.
Dengan indah, agung, tetapi sekaligus, pilu, dimadahkan dalam stasi kisah penyaliban, “Oh, Ibu yang penuh duka berdiri di bawah salib, saat Sang Putera tergantung”, Stabat mater dolorosa, dum pendebat Filius.
Santo Yohanes menulis (1Yoh. 4:18), “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan”, timor non est in caritate sed perfecta caritas foras mittit timorem.
Pada saat Yesus dipersembahkan di Bait Allah, Simeon bernubuat bahwa Ibu Maria akan menanggung derita luar biasa, “suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri” (bdk. Luk 2:33-35). Dan kini di bawah salib, ia memahkotai ketaatan-Nya pada Allah (bdk. Luk .1:38).
Santo Yohanes mencatat kehadiran Ibu Maria hanya di awal dan akhir karya Yesus. Ia hadir di pesta pernikahan di Kana.
Menyaksikan kesusahan kerabat, ia sepertinya memaksa Yesus memulai karyaNya. “Mereka kehabisan anggur,” katanya pada Yesus. Dan ia percaya Puteranya pasti mengulurkan tangan (bdk. Yoh 2:3-10).
Kini sang bunda berdiri di bawah salib, menatap Anaknya tanpa berucap dan mendengarkan sabda, “Aku haus” (Yoh 19:28) dan “Sudah selesai” (Yoh 19:30). Sang Ibu mengantarkan Anak “dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2:8).
Di puncak sengsara-Nya, Yesus tidak melupakan sang ibu. Ia mempercayakan ibu-Nya dalam rengkuhan murid-murid yang dikasihi-Nya, “Inilah ibumu” (Yoh 19:27).
Tindakan-Nya mengungkapkan kasih yang luar biasa dari Sang Anak kepada bundaNya. Di saat akhir hidup-Nya di salib, Ia tetap setia melaksanakan Perintah Keempat
Sudah selesai
Ungkapan hari persiapan bermakna hari sebelum hari Sabat. Maka, penyaliban Yesus terjadi pada hari keenam, hari ketika Tuhan menciptakan manusia (Kej 1:26-31).
Ia menderita sengsara selama 6 jam digantung di salib, dari jam 3 hingga jam 9 atau 09.00 hingga 15.00. Maka, di sore hari, atau senja dalam tradisi Yahudi, sebelum hari keenam berakhir, mayat Yesus diturunkan dari salib.
Yesus mengalami penyiksaan begitu berat, di luar batas kemanusiaan. Ia disiksa mulai dari Getsemani, kediaman Pontius Pilatus (Benteng Antonia), sepanjang jalan ke Golgota, dan berpuncak pada penyaliban.
Dari sisi medis, ada hipotesis yang tidak begitu kuat bahwa Yesus mati karena Ia mengalami kesulitan dalam bernafas.
Tetapi, dugaan lain yang lebih kuat menyebutkan bahwa Ia mati karena mengalami efusi ericardium, yakni : penumpukan cairan pada jantung akibat cedera jantung, atau karena kerja jantung berlebihan akibat stress hebat.
Dugaan penyebab lainnya adalah Ia mengalami syok hipovolemik – kondisi di mana seseorang kehilangan darah atau cairan, menyebabkan jantung tidak dapat memompa cukup darah ke tubuh. Syok ini dapat menyebabkan pelbagai organ berhenti bekerja dan berakhir dengan kematian.
Yesus mengalami banyak kehilangan darah karena pendarahan luar dan organ dalam; Ia juga menderita dehidrasi, kekurangan cairan tubuh karena keringat, muntah, tidak makan dan minum.
Akhirnya, Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya setelah berkata (Yoh 19:30), ”Sudah selesai”, Consummatum est.
Pada hari Sabat mayat-mayat itu tidak tinggal tergantung pada kayu salib
Saat itu menjadi hari raya khusus tepat sebelum Hari Raya Paskah dan Roti Tak Beragi atau Shabbat HaGadol. Di hari raya itu, pemeluk agama Yahudi harus mempersembahkan berkas pertama hasil panen (Im 23:11).
Maka, mayat yang di salib diturunkan, karena mereka pastilah orang yang dikutuk dan menajiskan hari Sabat (bdk. Kel 21:22-23). Dan, Pontius Pilatus mengijinkan atas alasan tak perlu ada gangguan keamanan.
Untuk mempercepat kematian tiga orang yang disalib, kaki mereka dipatahkan. Tetapi kaki Yesus tidak dipatahkan dan tidak diturunkan dari salib.
Nubuat Kitab Suci digenapi, ”Paskah itu harus dimakan dalam satu rumah juga; tidak boleh kaubawa sedikitpun dari daging itu keluar rumah; satu tulang pun tidak boleh kamu patahkan” (Kel 12:46); dan ”Banyak penderitaan orang benar, tetapi TUHAN melepaskan mereka dari semua itu. Ia melindungi semua tulangnya, tidak ada satu pun darinya yang patah” (Mzm 34:19-20).
Seorang prajurit menikam lambung-Nya dengan tombak, dan segera mengalir keluar darah dan air
Pasti seorang perwira, senturion, memerintahkan serdadu untuk memastikan kematian orang yang disalib. Ia harus menusukkan tombak tepat di lambung dan terus menusuk jantung (serambi kanan). Mungkin, serdadu itu menusukkan tombaknya sambil diputar untuk menimbulkan luka yang lebar.
Dari luka tusukan tombak keluar darah dan air. Cairan itu barangkali berasal dari akumulasi cairan pada selaput paru – efusi pleura atau pada selaput jantung – efusi perikardium.
Cairan ini kemudian bercampur dengan darah yang berasal dari jantung-Nya. Maka, Yesus mencurahkan darah hingga tetes darah terakhir.
Barangkali tindakan serdadu itu mencerminkan sikap permusuhan pada Yesus hingga kematian-Nya. Ia hendak dilenyapkan dari kenangan sejarah manusia.
Sebaliknya, walau menanggung tindakan manusia yang brutal, Ia justru menunjukkan kasih yang menghidupkan. Ia menyibak makna baru atas sengsara dan kematian-Nya.
Darah dan air yang mengalir dari lambung-Nya melambangkan kematian-Nya, yang Ia terima dengan rela untuk menyelamatkan dan menebus manusia (Mat 20:28). Kematian-Nya menyingkapkan kemuliaan dan kasih-Nya sampai pada kesudahannya (Yoh 1:14; 13:1).
Kematian-Nya merupakan anugerah dari Sang Gembala kepada domba-domba-Nya (Yoh 10:11); dan merupakan kasih yang dicurahkan seorang kepada sahabatnya, bahkan sampai menyerahkan hidupnya (Yoh 15:13).
Maka, ketika Ia digantung di salib, Ia memenuhi hukum tertinggi yang disingkapkan-Nya (Yoh 13:34), ”Sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi”, sicut dilexi vos, ut et vos diligatis invicem.
Katekese
Allah menganugerahkan apa yang paling berharga untuk kita. Bapa Isaak dari Nineveh, petapa Siria, guru dan uskup, 613-700:
“Segalanya diciptakan Allah, Tuhan atas segala. Ia begitu mengasihi seluruh ciptaan-Nya dan menyerahkan Anak-Nya hingga wafat di salib. Karena Allah begitu mengasihi dunia, sehingga Ia menganugerahkan Anak-Nya yang tunggal bagi dunia.
Bukan karena Ia tidak mempu menyelamatkan kita dengan cara yang berbeda, tetapi inilah cara yang mungkin untuk menunjukkan pada kita bahwa kasih-Nya dilimpahkan secara melimpah ruah.
Kasih itu adalah Ia menarik kita menjadi dekat dengan-Nya melalui kematian Anak-Nya. Jika Ia memiliki apa pun yang sangat Ia kasihi, Ia akan memberikannya pada kita, agar melalui milik-Nya seluruh manusia menjadi milik-Nya kembali.
Dan di luar kasih-Nya yang agung, Ia tidak pernah memilih cara untuk memaksa agar kita bebas memilih-Nya, walau Ia mampu melakukannya. Tetapi tujuan-Nya adalah bahwa kita harus datang mendekati-Nya dengan seluruh kasih yang meluap dari jiwa kita. Dan Tuhan kita taat pada Bapa-Nya karena kasih-Nya pada kita” (dikutip dari Ascetical Homily 74.28)
Oratio-Missio
- “Bunda kami dari Gunung Putih, Bunda Gereja! Sekali lagi saya mempersembah diri saya pada mu ‘dalam kasih sebagai hamba’. ‘Totus tuus!’ Saya adalah milik kepunyaanmu! Saya mempersembahkan padamu seluruh Gereja – setiap orang hingga ke ujung-ujung bumi! Saya mempersembahkan kepadamu seluruh umat manusia; saya mempersembahkan kepadamu seluruh pria dan wanita, saudara dan saudari saya. Seluruh umat dan seluruh bangsa. Saya mempersembahkan kepadamu Eropa dan semua benua. Saya mempersembahkan kepadamu Roma dan Polandia, yang dipersatukan, melalui hambamu, melalui ikatan kasih yang selalu segar. Bunda, terimalah kami! Bunda, jangan tinggalkan kami. Bunda, bimbinglah kami” (Doa Santo Yohanes Paulus II disampaikan di Jasna Gora Shrine, 6 June 1979, terjemahan bebas).
- Apa yang perlu aku lakukan untuk setia pada Yesus hingga di bawah salib-Nya?
Deinde dicit discipulo,“Ecce mater tua” – Iohannem 19:27