Lectio Divina 03.10.2023 – Menabur Damai

0
255 views
Mengarahkan pandangan dan pergi ke Yerusalem, by Vatican News

Selasa. Minggu Biasa XXVI (H)

  • Za. 8:20-23
  • Mzm. 87:1-3.4-5.6-7
  • Luk. 9:51-56

Lectio

51 Ketika hampir genap waktunya Yesus diangkat ke surga, Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem, 52 dan Ia mengirim beberapa utusan mendahului Dia. Mereka itu pergi, lalu masuk ke suatu desa orang Samaria untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi-Nya.

53 Tetapi orang-orang Samaria itu tidak mau menerima Dia, karena perjalanan-Nya menuju Yerusalem. 54 Ketika dua murid-Nya, yaitu Yakobus dan Yohanes, melihat hal itu, mereka berkata: “Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?”

55 Akan tetapi Ia berpaling dan menegur mereka. 56  Lalu mereka pergi ke desa yang lain.

Meditatio-Exegese

Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem

Yesus melangkah ke Yerusalem tidak untuk menyongsong kekalahan. Ia melangkah pasti menuju kemenangan, saat Ia kembali ke surga. Maka Ia berjalan ke Yerusalem menyongsong pemuliaan.

Pemuliaan itu ditempuh melalui lorong perendahan serendah-rendahnya, bahkan hingga disalibkan. Para murid harus mempersiapkan diri untuk diperlakukan tidak lebih baik dari pada apa yang dialami Sang Guru. seperti Sang Guru Maka, para murid Yesus harus berani menanggung risiko direndahkan dan diperlakukan secara hina oleh tangan manusia.

Walau hendak mengalami perendahan, Yesus secara tegas menyatakan upaya manusia dan tangan kotor kejahatan tidak mengalahkan rencana keselamatan Allah. Kepergian, exodos, ke Yerusalem menjadi sarana untuk melaksanakan kehendak Allah (Yoh. 4:34).  

Dan berterus terang, setelah semua pekerjaan-Nya selesai, Ia berkata (Yoh. 16:28), “Aku datang dari Bapa dan Aku datang ke dalam dunia; Aku meninggalkan dunia pula dan pergi kepada Bapa.”, Exivi a Patre et veni in mundum; iterum relinquo mundum et vado ad Patrem.

Ia yang dari surga pasti kembali kepada Bapa-Nya untuk mempersiapkan tempat supaya di mana Dia ada, murid-Nya juga ada (Yoh. 14:3).

Orang-orang Samaria itu tidak mau menerima Dia

Sikap bermusuhan antara orang Yahudi dan Samaria berakar sangat dalam dalam sejarah. Dimulai saat Salomo memberlakukan kebijakan pemungutan pajak dan rodi untuk kepentingan negara serta mengabaikan rasa kemerdekaan di antara suku-suku setengah badui, benih perpecahan mulai muncul.

Saat Rehabeam naik tahta menggantikan ayahnya, 931 sebelum Masehi, sepuluh suku di Utara memilih rajanya sendiri. Persatuan sepuluh suku berusaha memperlemah kedudukan Kerajaan Selatan dengan membuat ibu kota dan pusat keagamaan sendiri di Betel.

Usaha ini tidak sepenuhnya berhasil. Dalam kenangan masih terbayang Yerusalem sebagai tempat suci dan tujuan ziarah tiap pribadi yang tinggal di wilayah utara.

Samaria, ibu kota Kerajaan Utara, didirikan oleh Raja Omri kira-kira 880 sebelum Masehi (1Raj. 16:24). Nama ibu kota mempengarui penyebutan seluruh sebutan untuk 10 suku Israel yang sepakat memisahkan diri dari persekutuan Yehudan-Benyamin.

Kota ini menjadi pilihan yang tepat sebagai ibu kota kerajaan sebagai pengganti kota Tirza. Samaria bertahan terhadap serangan dari Siria (2Raj 6). Setelah dikepung selama 3 tahun, Samaria baru jatuh pada bangsa Asyur, 721 sebelum Masehi.

Kejatuhannya diikuti oleh pembuangan sebagian besar orang, khususnya kaum laki-laki. Bangsa Asyur kemudian menjadikan wilayah ini sebagai wilayah jajahan dan menempatkan banyak suku dari wilayah sekitar untuk mendiami kerajaan yang kosong.

Maka, anak-anak Yakub terpaksa berbaur dengan bangsa lain. Percampuran itu membentuk bangsa baru: Samaria. Tak hanya percampuran darah, percampuran itu juga berdampak pada percampuran keyakinan warisan Musa dengan keyakinan yang dibawa bangsa-bangsa lain.

Karena percampuran itu, orang Samaria dianggap seperti orang asing dan diperlakukan seperti orang yang tidak percaya pada Allah. Dan mereka dipandang sebagai bidaah.

Orang Samaria tidak mengakui Bait Allah di Yerusalem sebagai Rumah Allah. Mereka membangun Rumah Allah mereka sendiri di Gunung Gerizim (Yoh. 1:40). 

Maka, ketika tahu bahwa Yesus dan para murid-Nya hendak ke Yerusalem, orang Samaria menolak dan menentang mereka dengan keras. Kebencian orang Samaria merupakan ungkapan prasangka nasional atau rasial, bukan kebencian terhadap seorang pribadi, seperti dialami Yesus di Yerusalem.

Ia berpaling dan menegur mereka 

Para murid rupanya tidak suka atas penolakan yang dipicu oleh ketidak sukaan berdasarkan prasangka buruk.

Mereka berharap Yesus ada di pihak mereka saat Yakobus dan Yohanes, kakak beradik anak Zebedeus, menghendaki pembalasan setimpal (Luk. 9:54), “Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?”, Domine, vis dicamus, ut ignis descendat de caelo et consumat illos? 

Yesus sedang mendidik para murid. Kelak ketika mereka mengalami mengalami perlakuan serupa, mereka harus menangani seperti yang Ia lakukan. Yesus memadamkan hasrat untuk balas dendam, karena tidak sesuai dengan tugas pengutusan-Nya: menyelamatkan, bukan menghancurkan manusia dan semesta (bdk. Luk. 19:10; Yoh. 12:47).

Setahap demi setahap para murid memahami dan belajar dari karya Allah yang tidak mudah dilakukan. Santo Ambrosius menulis, “Tuhan kita melalukan segala sesuatu dengan cara yang mengagumkan (…)

Melalui cara ini Ia mengajarkan pada kita bahwa nilai yang sempurna adalah menahan diri dari hasrat untuk membalas dendam. Di mana ada kasih yang sempurna di situ tidak ada setitik lobang pun untuk amarah.

Dengan kata lain, kelemahan harus tidak diperlakukan dengan kekasaran, tetapi harus dibantu.  Amarah harus dijauhkan dari jiwa yang suci. Keingingan untuk membalas dendam harus sirna dari jiwa yang agung.” (Expositio Evangelii Secundum Lucam, https://sites.google.com/site/aquinasstudybible/home/luke-commentary/ambrose-on-luke-9).

Yesus menegaskan dengan jelas syarat yang harus diikuti untuk mengikuti Dia. Tiap murid-Nya dipanggil untuk menyangkal diri, memikul salib dan menjadikan Allah sebagai yang paling utama dalam hidup.

Katekese

Yesus memberikan daya dan kuasa pada para murid. Santo Cyrilus dari Alexandria, 376-444:

“Pastilah salah untuk menyimpulkan bahwa Juruselamat kita tidak tahu akan apa yang akan terjadi. Karena Ia mengetahui segala-galanya. Pasti Ia tahu bahwa orang-orang Samaria tidak akan menerima utusan-Nya. Tak ada keraguan tentang hal ini.

Kemudian mengapa ia meminta mereka mendahului-Nya? Inilah kebiasaan-Nya untuk dengan cerdas mendidik para rasul yang suci dalam setiap kesempatan yang mungkin. Karena hal ini pula, Ia selalu mencoba menguji mereka…

Apa tujuan dari peristiwa ini? Ia hendak pergi ke Yerusalem, karena saat-Nya menderita sengsara sudah mulai mendekat. Ia segera menanggung penghinaan dari bangsa Yahudi. Ia segera dihancurkan oleh ahli Taurat dan kaum Farisi.

Di sana, Ia harus menanggung segala hal yang ditimpakan kepada-Nya saat mereka memperlakukan Dia dengan seluruh kekejaman dan kekejian yang bisa dibayangkan. Ia tidak menghendaki para murid sakit hati ketika menyaksikan-Nya menderita sengsara.

Ia juga meminta mereka sabar dan tidak mengeluh, walau orang banyak akan memperlakukan mereka dengan buruk. Singkatnya, Ia menjadikan kebencian orang Samaria sebagai sarana untuk mengajarkan akan apa yang mungkin akan menimpa mereka. Mereka tidak menerima para utusan-Nya…

Demi pendidikan mereka, Ia memarahi para murid dan dengan lembut meredakan amarah yang akan meledak. Ia tidak membolehkan mereka mengecam dengan kasar siapapun yang bertindak salah terhadap para murid-Nya.

Ia memilih jalan lain. Ia meminta mereka bersabar dan menenangkan budi dan hati agar tidak digoncang oleh kebencian seperti yang ditunjukkan orang Samaria.” (Commentary On Luke, Homily 56)

Oratio-Missio

Tuhan, ajarilah aku berhati lembut, seperti Engkau selalu menaruh belas kasih pada siapa pun yang memusuhi, bahkan membunuh Engkau. Amin.

  • Apa yang perlu aku lakukan untuk menghapus prasangka buruk dan amarah?

Et conversus increpavit illos – Lucam 9:55

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here