Rabu. Hari Biasa Sesudah Epifani (P)
- 1Yoh. 4:11-18
- Mzm.72:1-2.10-11.12-13
- Mrk. 6:45-52
LECTIO
45 Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan berangkat lebih dulu ke seberang, ke Betsaida, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang. 46 Setelah Ia berpisah dari mereka, Ia pergi ke bukit untuk berdoa.
47 Ketika hari sudah malam perahu itu sudah di tengah danau, sedang Yesus tinggal sendirian di darat. 48 Ketika Ia melihat betapa payahnya mereka mendayung karena angin sakal, maka kira-kira jam tiga malam Ia datang kepada mereka berjalan di atas air dan Ia hendak melewati mereka.
49 Ketika mereka melihat Dia berjalan di atas air, mereka mengira bahwa Ia adalah hantu, lalu mereka berteriak-teriak, 50 sebab mereka semua melihat Dia dan merekapun sangat terkejut. Tetapi segera Ia berkata kepada mereka: “Tenanglah. Aku ini, jangan takut!”
51 Lalu Ia naik ke perahu mendapatkan mereka, dan anginpun redalah. Mereka sangat tercengang dan bingung, 52 sebab sesudah peristiwa roti itu mereka belum juga mengerti, dan hati mereka tetap degil.
Meditatio-Exegese
Ia pergi ke bukit untuk berdoa
Setelah Yesus menggandakan roti dan ikan, Ia menyuruh para murid naik perahu dan pergi mendahuluiNya ke Betsaida. Kemudian, Ia menyuruh orang banyak itu pulang. Santo Markus tidak menjelaskan dengan gamblang alasan mengapa Ia meminta mereka pergi.
Namun, berdasarkan tradisi religius umat percaya akan kedatangan Sang Mesias yang mengulang apa yang dilakukan Musa di padang gurun: memberi makan banyak orang, bahkan ribuan; sehingga mereka dapat menyimpulkan bahwa Yesus pasti Mesias yang dinubuatkan Musa (bdk. Kel. 18:15-18). Terlebih, mereka hendak menjadikan-Nya seorang Raja (bdk. Yoh. 6:14-15).
Pengalaman ini, pasti, menggoda, seperti godaan yang dialami-Nya di padang pasir Yehuda sesudah pembaptisan (Mat. 4:1-11; Luk. 4:1-13). Barangkali karena alasan inilah Yesus meminta para murid meninggalkan-Nya lebih dulu.
Ia juga tidak menghendaki pikiran dan hati mereka dikotori dengan paham yang mengedepankan pemuasan kenikmatan karena kuasa dan kemunafikan, ragi Herodes dan ragi kaum Farisi (Mrk. 8:15).
Yesus menghadapi godaan popularitas, kekuasaan, finansial dan apa yang nikmat. Semua datang di pusat keramaian, seperti didambakan banyak orang. Maka, Ia memilih pergi seorang diri ke gunung, tempat sunyi. Ia menghadapi dengan doa.
Mereka mengira bahwa Ia adalah hantu
Sesudah mengangkat jangkar atau melepas ikatan tali kapal, para murid bertolak ke seberang, ke Betsaida. Peristiwa ini menggambarkan apa yang terjadi kelak: seolah-olah Yesus membiarkan mereka sendirian di tengah ancaman yang akan menghancurkan jemaat; sedangkan Yesus justru hendak pergi ke surga.
Saat itu hari sudah malam. Para murid, yang dipimpin Petrus dan tiga orang sahabatnya yang bekas nelayan, kelelahan. Mereka sudah tidak mampu lagi mendayung. Perahu seolah tidak bergerak maju. Arus deras menyeret perahu kecil yang mereka tumpangi.
Tiada lagi cukup tenaga untuk menjaga haluan ke tujuan. Sedangkan angin sakal berhembus makin kuat.
Saat itu masih gelap, saat waktu menunjukkan antara jam 03.00 hingga 06.00. Mereka dalam bahaya tenggelam! Karena ketakutan akan tenggelam, akal sehat berhenti bekerja.
Mereka tidak lagi mampu membedakan antara Tuhan dengan setan. Tuhan yang mendatangi mereka dianggap sebagai φαντασμα, phantasma, hantu.
Jemaat yang dibina Markus, pada tengah dekade 60 M, rupanya mengalami tantangan iman yang luar biasa. Mereka mengalami pengejaran, pemenjaraan, penyiksaan, bahkan, pembunuhan atas perintah Kaisar Nero.
Untuk selamat dari situasi sulit, jemaat didorong untuk berkompromi dengan Kaisar.
Di samping itu, jemaat juga menghadapi desakan untuk mempraktikkan ritual agama Yahudi. Di tengah situasi sulit seperti ini, Tuhan seolah tidak hadir!
Situasi ini mirip dengan dengan peristiwa para murid yang meninggalkan Yesus untuk kembali menangkap ikan, tetapi tidak ada tangkapan seekor pun (Yoh. 21:1-3); dan dua murid yang pergi ke Emaus karena kecewa akan kematian Yesus (Luk. 24:13-16).
Tenanglah! Aku ini, jangan takut!
Santo Markus membina jemaat agar mereka terus menghormati iman yang diwariskan para rasul dan tidak mengkompromikan dengan keinginan dan gagasan di luar Injil. Saat mereka kebingungan, Yesus bertindak seolah-olah mau mendahului mereka, seperti yang dilakukanNya pada murid di dekat Emaus (Luk. 24:28).
Namun, saat keyakinan pulih dan mampu melihat dengan jernis, para murid berseru pada Tuhan. Ia kemudian berpaling pada mereka dan mendekati, seraya bersabda (Mrk. 6:50)., “Tenanglah. Aku ini, jangan takut!” Confidite, ego sum; nolite timere!
SabdaNya mengingatkan akan banyak peristiwa dalam sejarah keselamatan. Saat Allah menampakkan diri pada Musa di tengah kobaran api di semak duri, Ia bersabda, “εγω ειμι”, ego eimi, “AKU ADALAH AKU,” (Kel 3:13).
Selanjutnya, saat Musa menghadapi ketakutan bangsa Israel saat dikejar laskar Mesir dan terdesak di tepi pantai Laut Teberau, ia berseru, “Janganlah takut, berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari TUHAN, yang akan diberikan-Nya hari ini kepadamu; sebab orang Mesir yang kamu lihat hari ini, tidak akan kamu lihat lagi untuk selama-lamanya. TUHAN akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja.” (Kel. 14:13-14).
Demikian pula, ketika umat kembali dari pembuangan di Babel, keluaran baru, Ia beberapa kali menampakkan diri dan menyingkapkan Diri-Nya beberapa kali, “AKU ini TUHAN, itulah namaKU” (Yes. 42:8).
Septuagianta, terjemahan Yunani yang diakui Gereja Katolik, menuliskan, “εγω Κυριος ο θεος τουτο μου”, ego kurios ho Theos toutou mou, Ego Dominus: hoc est nomen meum.
Ia juga bersabda yang sama di tempat lain (bdk. Yes. 43:5.11.13; 44: 6.25; 45: 5-7). Inilah cara jemaat menggunakan Perjanjian Lama untuk membantu mereka mengalami kehadiran Yesus di tengah peristiwa hidup, termasuk saat mereka mengalami kesukaran dan tantangan iman. Jangan takut!
Yesus pun naik ke perahu. Angin pun diredakan. Tetapi, ternyata, ketakutan mereka justru makin bertambah. Santo Markus memberi catatan akan sikap iman mereka (Mrk. 6:52), “Mereka belum juga mengerti, dan hati mereka tetap degil”,sed erat cor illorum obcaecatum.
Sikap mereka serupa dengan sikap Firaun yang mengeraskan hati (Kel. 7:3.13.22) dan umat di gurun yang tidak mau mendengarkan Musa (Mzm. 95:8). Mereka masih bermimpi untuk kembali ke Mesir (Bil. 20:2-10), karena di sana mereka dapat makan roti dan daging sampai kenyang (Kel. 16:3), walau dijajah.
Katekese
Angin membadai melawan para murid Tuhan. Santo Augustinus dari Hippo, 354-430 :
“Saat itu perahu yang membawa para murid – yaitu Gereja – bergoyang-goyang dan diombang-ambingkan di tengah badai godaan, sementara badai yang kencang sedang mengamuk. Dengan kata lain, musuh Gereja, iblis, berusaha keras agar angin tidak reda.
Tetapi yang lebih besar adalah Dia yang gigih berjuang demi kita. Karena di tengah-tengah gejolak hidup kita, Ia memberi kita kepercayaan diri. Dia datang dan menguatkan kita, sehingga kita tidak berdesakan di dalam perahu dan terlempar ke laut. Karena meskipun perahu dilempar-lemparkan dalam pusaran badai, itu masih sebuah perahu.
Perahu itu membawa para murid dan menerima Kristus. Memang, perahu itu ada dalam bahaya di atas air, tetapi tanpa perahu pasti ada kematian. Maka, tetaplah tinggal di dalam perahu itu dan berseru kepada Tuhan.
Ketika semua nasihat yang baik gagal, kemudi tidak berguna, dan membentangkan layar mengundang lebih banyak bahaya daripada keuntungan, ketika semua bantuan dan daya upaya manusia telah gagal, satu-satunya jalan yang tersisa bagi para pelaut adalah berseru kepada Allah.
Karena itu akankah Ia, yang akan membantu mereka berlayar untuk mencapai pelabuhan dengan aman, meninggalkan Gereja-Nya dan mencegahnya tiba di tujuan dengan damai dan tenang?” (dikutip dari Sermon 75.4)
Oratio-Missio
- Tuhan, penuhilah hatiku dengan Roh-Mu, agar aku tidak takut mengimani-Mu dan mewartakan Kerajaan-Mu di antara saudara-saudari di sekelilingku. Amin.
- Apa yang harus kulakukan supaya tak takut mengimani Yesus?
“Confidite, ego sum; nolite timere!” – Marcum 6:50