Minggu. Pekan Biasa XXXII (H)
- 1Raj. 17:10-16
- Mzm. 146:7.8-9a.9bc-10
- Ibr.9:24-28
- Mrk. 12:38-44
Lectio
38 Dalam pengajaran-Nya Yesus berkata: “Hati-hatilah terhadap ahli-ahli Taurat yang suka berjalan-jalan memakai jubah panjang dan suka menerima penghormatan di pasar, 39 yang suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat dan di tempat terhormat dalam perjamuan, 40 yang menelan rumah janda-janda, sedang mereka mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Mereka ini pasti akan menerima hukuman yang lebih berat.”
41 Pada suatu kali Yesus duduk menghadapi peti persembahan dan memperhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu. Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar. 42 Lalu datanglah seorang janda yang miskin dan ia memasukkan dua peser, yaitu satu duit.
43 Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. 44 Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.”
Meditatio-Exegese
Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itupun tidak akan berkurang
Kemurahan hati mengikat hati janda di Sarfat dan di Bait Allah. Ikatan itu berkenan kepada Allah, walau mereka mempersembahkan yang serba sedikit, bahkan bekekurangan.
Seluruh negeri Israel dilanda kekeringan dan kelaparan. Bencana dialami seluruh negeri sebagai penghukuman atas ketidak setiaan terhadap Allah. Mereka menyembah dewa palsu bangsa Kanaan dan Fenisia, Baal (1Raj. 17:1).
Untuk melindungi nabi-Nya dari amarah raja Ahab dan permaisurinya yang berasal dari bangsa lain, Izebel, Allah meminta Elia berjalan jauh ke Sarfat, daerah pantai Laut Mediterania, di wilayah bangsa Fenisia. Sang nabi harus mengungsi dan berlindung pada kemurahan hati seorang janda (1Raj. 1:2-9).
Sarfat, kota kecil di pantai Mediterania, berjarak 8 mil atau kira-kira 13 km. sebelah selatan kota perdagangan bangsa Fenisia yang makmur, Sidon. Di kota inilah Izebel, anak raja Sidon dan permaisuri Raja Ahab, dilahirkan.
Nabi Elia terancam dibunuh oleh Raja Ahab dan permaisurinya. Ia menentang seluruh kebijakan sang penguasa Israel, karena mereka memaksakan penyembahan pada Baal dan mengabaikan perjanjian dengan Allah, seperti diwariskan Musa.
Sang nabi begitu terkejut dan bertanya-tanya mengapa Allah meminta mengungsi dan diam di rumah janda. Bagaimana mungkin ia harus tinggal di rumah yang dalam keadaan miskin mutlak? Namun ia taat, bahkan tanpa bertanya lebih lanjut.
Saat dijumpai Elia, sang janda sedang mengumpulkan kayu api. Kerja kerasnya menandakan kemiskinan mutlak. Jika perempuan itu tidak ditopang anaknya laki-laki, ia pasti menggantungkan hidup pada dirinya sendiri dan melarat.
Elia mengenali janda yang ditunjukkan Allah barangkali dari caranya berpakaian dan menutupi muka setelah masa berkabung (bdk. Kej. 38:14; Jdt. 8:5; 10:3; 16:8). Dari pandangan pertama, ia sadar akan keadaan janda itu. Tetapi, ia juga yakin akan penyelenggaraan Allah.
Ia telah bersabda (1Raj. 17:9), “Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan.”, praecepi enim ibi mulieri viduae, ut pascat te.
Dengan tiga cara Elia menguji apakah perempuan itu benar diutus Allah. Ia pertama-tama meminta air untuk minum. Kemudaian ia meminta sepotong roti. Akhirnya, setelah setelah janda itu mengakui bahwa ia dan anaknya laki-laki sedang kelaparan, Elia memintanya untuk membuatkan sepotong roti.
Cara Elia menguji perempuan itu untuk memastikan apakah perempuan Sarfat dipilih Allah mengingatkan akan ujian yang dilakukan utusan Abraham pada perempuan lain (Kej. 24:10-20). Saat itu, Abraham mengutus pembantu kepercayaannya untuk mencarikan istri bagi Ishak di tanah leluhurnya, Aram.
Utusan Abraham itu menguji kemurahan hati perempuan yang dipilih Allah bagi Ishak dengan memintanya seteguk air. Ribka hanya melakukan satu kali ujian; sedangkan janda di Sarfat melakukan tiga perintah dengan sepenuh hati. Dan, Allah memberkati keduanya karena kemurahan hati yang dilimpahkan para para peziarah.
Perempuan asing dari Sarfat itu tahu kalau yang menjumpainya adalah orang Israel yang memuja Allah. Pakaian yang dikenakannya menjadi pembeda dari suku bangsa lain di wilayah sekitar.
Misalnya, laki-laki Israel tidak mencukur janggut dan memakai baju luar dengan jumbai dari benang ungu terjahit pada ‘punca’ atau kelim (Im. 19:27; Bil. 15:37-39; Ul. 22:12; Mat. 9:20; 23:5; 1Raj. 19:13).
Janda itu sangat sabar. Walau ia dalam keadaan melarat dan Yahwe bukan Allah yang diimaninya, ia tetap melakukan apa yang diminta Elia.
Janda itu melakukan seluruh tindakan yang menuntut belas kasih dan kemurahan hati demi kebaikan dan keselamatan orang asing, baik secara badaniah maupun rohaniah.
Atas belas kasih dan kemurahan hati itu, Elia memberkati dan mendoakan janda itu. Ia memohon pada Allah agar sepanjang masa sulit karena kekeringan dan bencana kelaparan, tepung dalam tempayan dan minyak dalam buli-buli milik janda yang menampungnya tak akan habis dan selalu penuh (1Raj. 17:14).
Allah mengabulkan permohonan Elia. Perempuan janda Sarfat dan anaknya laki-laki tidak kelaparan sepanjang masa sulit.
Perempuan itu dalam diam dan diam-diam bekerja sama dengan Allah merawat nabi-Nya.
Demikian pula para murid Yesus bila mengurbankan diri, ia akan diberkati jauh melampaui kelimpahan barang duniawi.
Dan teladan janda Sarfat itu tak pernah ditinggalkan para murid Yesus dalam menyambut orang-orang asing dalam komunitas iman Perjanjian Baru yang ditetapkan Yesus Kristus.
Dalam pengajaran-Nya
Tak mudah menerima kemurahan hati Yesus. Penduduk Yerusalem, terutama para pemimpin agama dan pemerintahan menentang-Nya, seperti tercermin dalam bagian terakhir kisah pelayanan Yesus di Yerusalem (Mrk 12:38-44).
Hari-hari Yesus dihabiskan-Nya dengan menghadapi penentangan. Ia mengusir para pedagang dan penukar uang di Bait Allah (Mrk. 11:12-26).
Kemudian, bersilang pendapat dengan para pemimpin dan pemuka agama (Mrk. 11:27-12:12), dengan kaum Farisi, Herodian dan Saduki (Mrk. 12:13-27) dan ahli Taurat (Mrk. 12: 28-37).
Menutup pelayanan di Yerusalem Yesus mengakhiri dengan kecaman-Nya pada praktek buruk yang dilakukan para ahli Taurat (Mrk. 12:38-40). Praktek buruk itu diperlawankan dengan perilaku hidup murah hati yang dilakukan janda saat berderma di Bait Allah.
Selama empat puluh tahun pertama dalam sejarah Gereja, dari tahun 30-an hingga 70-an, mayoritas murid Yesus berasal dari kalangan miskin, melarat (bdk. 1Kor. 1:26).
Kemudian beberapa kalangan berpunya atau mereka yang memiliki masalah bergabung. Tak lama kemudian, tekanan sosial yang berkembang dalam kekaisaran Romawi mulai terasa.
Saat merayakan Ekaristi atau berkumpul, misalnya, jemaat memisah dan memilah antara yang kaya dan yang miskin (bdk. 1Kor. 11:20-22; Yak.2:1-4). Maka, pengajaran tentang kemurahan hati janda miskin menjadi sangat cocok dengan tantangan jemaat.
Hati-hatilah
Sepanjang jalan ke Yerusalem Yesus mengajar para para tentang sengsara, wafat dan kebangkitan sebagai konsekuensi menjadi murid-Nya. Pengajaran dimulai sejak penyembuhan orang buta (Mrk 8:22-26) hingga penyembuhan si buta, Bartimeus di Yeriko (Mrk. 10:46-52).
Ketika mereka sampai di Yerusalem, mereka menyaksikan adu pendapat antara Yesus dengan pedagang di Bait Allah, pemuka agama dari pelbagai kelompok/aliran dan pendukung Herodes Antipas (Mrk. 11:15- 12:37). Kini, Yesus memperingatkan para murid akan mentalitas ahli Taurat (Mrk. 12:38-40).
Yesus meminta para murid untuk berhati-hati akan mentalitas dan perilaku munafik. Para ahli Taurat yang dicontohkan mengajarkan Hukum Tuhan tanpa penghayatan. Perilaku mereka tidak mencerminkan apa yang mereka ajarkan.
Orang munafik menjadikan agama sebagai alat untuk meninggikan diri sendiri. Mereka suka memakai tanda lahiriah status sosial mereka, seperti jubah panjang, dan suka menerima penghormatan di tempat umum, seperti di pasar atau di tempat orang banyak berkumpul, seperti perjamuan nikah dan upacara keagamaan.
Singkatnya, mereka ingin selalu nampak penting dan terhormat. Jabatan keagamaan menjadi sarana untuk meraih kedudukan sosial dan menganggap diri lebih penting dari orang lain.
Pada mereka yang menyalah-gunakan agama demi kehormatan diri sendiri, Yesus bersabda, “Mereka ini pasti akan menerima hukuman yang lebih berat.” (Mrk. 12:40). Pesan Yesus sangan jelas dan tegas. Tiap murid-Nya bertindak apa adanya. Tidak munafik.
Sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak
Setelah mengecam ahli Taurat, Yesus mengajar para murid. Ia duduk menghadap peti persembahan dan tertarik pada sikap janda miskin saat memberi derma. Sikap batinnya dalam memberi derma menjadi teladan dalam mewujud nyatakan kehendak Allah (Mrk. 12:41-44).
Yesus dan para murid memperhatikan peti persembahan di Bait Allah dan para penderma. Tiap orang memasukkan derma mereka untuk kelangsungan peribadatan, menyokong hidup para imam dan pengurus Bait Allah dan pemeliharaan gedung.
Sebagian kecil hasil derma itu digunakan untuk membantu kaum miskin. Saat itu belum tersedia sistem jaminan sosial. Maka, orang miskin sangat tergantung dari kegiatan amal kasih itu.
Saat itu, kelompok para janda dan anak yatim piatu sangat membutuhkan bantuan. Mereka sungguh melarat, tidak punya apa-apa, dan tergantung pada kebaikan hati orang lain.
Namun, walaupun hampir-hampir tidak punya apa-apa, janda ini berusaha untuk berderma. Ia memasukkan seluruh uang yang dimiliki untuk hidup hari itu ke peti persembahan. Ia memberikan seluruh hidupnya.
Bagi para murid, uang berjumlah banyak jauh lebih berharga dari pada pemberian janda itu yang hanya berjumlah beberapa sen. Mereka mengira uang menjadi satu-satunya kunci penyelesaian masalah.
Mereka lupa dengan apa yang mereka pada Yesus saat Ia menggandakan roti, “Kamu harus memberi mereka makan!” Kata mereka kepada-Nya, “Jadi haruskah kami membeli roti seharga dua ratus dinar untuk memberi mereka makan?”(Mk 6: 37).
Jumlah yang banyak itu tidak mencukupi untuk memberi makan lima ribu orang laki-laki saja, belum termasuk perempuan dan anak-anak. Yesus memiliki tolok ukur lain. Ia meminta para murid memberi perhatian pada kehendak Allah: dalam diri kaum miskin dan dalam berderma.
Katekese
Belas kasih dan amal kasih tak pernah sia-sia. Santo Leo Agung, 400-461
“Walau beberapa orang mengecam karena hanya menghasilkan karya yang sia-sia, karya amal kasih tidak pernah tidak berhasil.
Kebaikan hati tidak akan kehilangan maknanya saat diberikan kepada yang tak tahu terima kasih.
Saudara-saudari yang terkasih, semoga tidak ada seorang pun yang menjadikan diri sendiri asing terhadap karya amal kasih.
Semoga tidak ada orang yang menyuarakan dirinya sendiri miskin dan tidak dapat membantu sesamanya.
Apa yang dipersembahkan dari mereka yang kecil selalu agung, sebab timbangan Allah yang maha adil adalah jumlah pemberian tidak pernah diperhitungkan, tetapi kerelaan jiwa. ‘Ibu janda’ dalam Injil membersembahkan dua keping dalam kotak derma, dan pemberiannya mengatasi seluruh pemberian seluruh orang kaya.
Tiada belas kasih yang tidak berharga di hadapan Allah. Tiada belarasa yang sia-sia. Ia telah menganugerahkan pelbagai macam sumber daya untuk manusia, tetapi Ia tidak menuntut balik.” (dikutip dari Sermon 20.3.1.6).
Oratio-Missio
Tuhan, seluruh yang ada padaku adalah milik-Mu. Semoga aku mampu menggunakan seluruh hidup, harta yang sementara, kemampuan, waktu dan apa yang ada padaku untuk memuliakan Engkau. Amin.
- Pada kita ada tantangan : “Apa yang harus aku lakukan untuk saudaraKu yang paling hina?”
haec vero de penuria sua omnia, quae habuit, misit, totum victum suum -Marcum 12:44