Lectio Divina 08.08.2023 – Dari Hati Berasal Kesucian atau Kenajisan

0
285 views
Setiap tanaman yang tidak ditanam oleh Bapa-Ku..., by Vatican News

Selasa. Peringatan Wajib Santo Dominikus (P) 

  • Bil. 12:1-13
  • Mzm. 51:3-4.5-6ab.6cd-7.12-13
  • Mat. 15:1-2.10-14

Lectio

1 Kemudian datanglah beberapa orang Farisi dan ahli Taurat dari Yerusalem kepada Yesus dan berkata: 2 “Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan.”

10 Lalu Yesus memanggil orang banyak dan berkata kepada mereka: 11 “Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.”

12 Maka datanglah murid-murid-Nya dan bertanya kepada-Nya: “Engkau tahu bahwa perkataan-Mu itu telah menjadi batu sandungan bagi orang-orang Farisi?”

13 Jawab Yesus: “Setiap tanaman yang tidak ditanam oleh Bapa-Ku yang di surga akan dicabut dengan akar-akarnya. 14 Biarkanlah mereka itu. Mereka orang buta yang menuntun orang buta. Jika orang buta menuntun orang buta, pasti keduanya jatuh ke dalam lubang.”

Meditatio-Exegese

Yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang

Yesus masih berkarya di Galilea. Namun, para pemimpin agama di Yerusalem telah mendengar nama-Nya. Maka, mereka mengutus beberapa ahli Taurat dan kaum Farisi untuk menyelidiki apa yang diajarkan dan dilakukan Yesus di wilayah utara.

Saat berjumpa dengan Yesus, mereka pura-pura tertarik untuk mengetahui alasan mengapa para murid-Nya tidak mencuci tangan sebelum makan. Di balik keingin tahuan, mereka mengecam Yesus yang mengizinkan para murid melanggar ketentuan adat tentang kemurnian sejak kembali dari pembuangan Babel.

Adat istiadat nenek moyang harus dilaksanakan agar seseorang didapati tidak najis atau bersih sesuai dengan hukum agama. Maka, orang yang dalam keadaan najis dipastikan tidak akan menerima berkat yang dijanjikan Allah pada Abraham. 

Norma hukum kemurnian mengajarkan bagaimana menjadi tahir agar kembali layak saat menghadap ke hadirat Allah. Setiap pribadi tidak diperkenankan hadir di hadapan Allah dalam keadaan najis, karena hukum mengatur, “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.” (Im. 19:2).

Hukum agama justru tak hanya menjadi beban, bahkah memperbudak, khususnya bagi kaum miskin (bdk. Mat. 23:4). Tetapi juga menghilangkan empati pada mereka yang ditindas, disingkirkan, sakit, berkebutuhan khusus, difabel.

Hukum agama dan adat istiadat juga memisahkan apa yang dipersatukan Allah. Harun dan Miryam justru menggugat perkawinan Musa dengan Zipora, orang Kush, bangsa asing.

Mereka beranggapan saudara sulung mereka melanggar hukum kemurnian. Tetapi, Allah tidak berkenan pada gugatan mereka dan menjatuhkan hukuman berat: penyakit kusta (bdk. Bil. 12:1-13)

Maka, pada jaman Yesus tiap pribadi umat harus hidup dengan menanggung beban ketakutan.

Yesus langsung menunjukkan fakta, “Kamu berkata: Barangsiapa berkata kepada bapanya atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada Allah, orang itu tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri.” (Mt 15:3-6).

Kewajiban keagamaan sudah tidak cocok lagi dengan tuntutan jaman tetap harus ditaati. Rabi Jose mengatakan, “Orang berdosa besar karena ia makan dengan tangan yang tidak dibasuh, seperti ia telah tidur dengan perempuan sundal.”

Maka, di lubuk hati, umat merindukan seorang pembebas yang mampu menunjukkan cara baru untuk menghayati hidup suci, cara hidup yang lebih sesuai dengan kehendak Allah, menjadi kudus.

Yesus menunjukkan jalan pada mereka. Ia menyembuhkan para penderita kusta (Mrk. 1:40-44), mengusir setan (Mrk. 1:26.39; 3:15.22, dll.), dan mengalahkan kematian yang menjadi sumber seluruh kenajisan.

Yesus menyentuh perempuan yang disingkirkan dan ia disembuhkan (Mrk. 5:25-34). Tanpa takut menjadi najis, ia makan bersama orang-orang yang dianggap najis (Mrk. 2:15-17).

Semua berubah sekarang. Iman pada Yesus membuat tiap pribadi mampu hidup suci di hadapan Allah. Mereka nyaman di hadapan-Nya.

Tiap pribadi bebas dari perasaan tertekan, ketakutan. Masing-masing memperoleh kembali sukacita untuk menghayati hidup sebagai putera dan puteri Allah. 

Hidup kudus sebagai anak-anak Allah tercermin dari perbuatan yang dilandasi pertimbangan hati yang bersih. Sedangkan perbuatan kotor pasti berasal dari hati yang dipenuhi:  percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya (bdk. Gal. 5:19-21). 

Sabda-Nya (Mat. 15:11), “Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.”, Audite et intellegite: Non quod intrat in os, coinquinat hominem; sed quod procedit ex ore, hoc coinquinat hominem!

Para murid bereaksi (Mat. 15:12), “Engkau tahu bahwa perkataan-Mu itu telah menjadi batu sandungan bagi orang-orang Farisi?”, Scis quia pharisaei, audito verbo, scandalizati sunt?

Yesus tahu dan sadar ajaran dan tindakan-Nya berlawanan dengan ajaran para para Farisi. Bila mengikuti ajaran dan tindakan-Nya, seluruh adat istiadat yang dianggap diturunkan dari para leluhur pasti terhapus.

Mereka pasti menanggapi dengan penentangan. Pada saat yang sama mereka tak malu menjalin persekongkolan anak buah Herodes Antipas yang mereka tentang, pembungkaman dan, kelak terbukti, pembunuhan terhadap Yesus dan para pengikutnya.

Jawaban Yesus tegas, “Setiap tanaman yang tidak ditanam oleh Bapa-Ku yang di surga akan dicabut dengan akar-akarnya. Biarkanlah mereka itu. Mereka orang buta yang menuntun orang buta. Jika orang buta menuntun orang buta, pasti keduanya jatuh ke dalam lubang.” (Mat. 15:13-14).

Atas peringatan para murid-Nya, Yesus tidak meralat, tetapi justru mempertegas apa yang telah dikatakan-Nya sebelumnya.

Katekese

Anugerahkanlah hati murni bagi kami. Paus Fransikus, Buenos Aires 17 Desember 1936:

“Melaksanakan peraturan dan ajaran secara hurufiah merupakan praktek hidup yang sia-sia. Itu tidak mengubah hati dan perilaku kita sehari-hari untuk: membuka diri dan berjumpa dengan Allah dan sabda-Nya dalam doa, mencari keadilan dan kedamaian, merawat yang miskin, yang lemah, dan yang tertindas.

Kita semua tahu, di komunitas kita, di paroki kita, di lingkungan kita, betapa banyak kerusakan dan skandal yang dilakukan terhadap Gereja oleh orang-orang yang mengatakan bahwa mereka sangat Katolik.

Mereka sering pergi ke Gereja, tetapi kemudian mengabaikan keluarga mereka dalam kehidupan sehari-hari, berbicara buruk tentang orang lain dan sebagainya. Inilah yang dikutuk Yesus karena ini praktek keagamaan itu menjadi kesaksian buruk bagi Kekristenan.

Setelah menyampaikan pandangan-Nya, Yesus memperhatikan aspek yang lebih dalam, “Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya.” (Mrk. 7:15).

Dengan cara ini Ia menekankan pusat hidup manusia, kedalaman jiwa, hati. Bukan yang berasal dari luar yang membuat kita kudus atau najis. Tetapi apa yang mengungkapkan niat, pilihan dan kehendak untuk melakakukan kasih kita pada Allah.

Kita selalu mengambil keputusan di dalam hati dan tercermin dalam perilaku, bukan sebaliknya. Kita bukan orang Kristen sejati bila perubahan perilaku berasal dari luar, bukan dari dalam.

Batas antara yang baik dan yang jahat tidak datang dari luar diri kita, tetapi dari dalam diri kita. Kita dapat bertanya pada diri sendiri: di manakah hatiku? Yesus menjawab, “Di mana hartamu berada, di situ hatimu berada pula.” Apa hartaku? Apakah itu Yesus, ajaran-Nya? Jika demikian, hatiku baik.

Atau hartaku adalah hal yang lain? Maka hatiku perlu pentahiran dan pertobatan. Tanpa hati yang bening, kita tidak dapat membersihkan tangan dan bibir untuk berbicara tentang kasih.

Tanpa hati yang murni, seseorang tidak dapat memiliki tangan yang benar-benar bersih dan bibir yang berkata tentang kasih, karena semuanya serba bermuka dua. Hanya hati yang bersih dan suci dapat berbicara tentang belas kasih dan pengampunan.

Mari kita memohon pada Tuhan, melalui pengantaraan Perawan Tersuci, untuk menganugerahkan hati yang murni, bebas dari kemunafikan. Kata ini diterapkan Yesus pada kaum Farisi: ‘munafik’. Karena mereka mengatakan hal ini, tetapi melakukan hal lain. Hati yang bebas dari kemunafikan memungkinkan kita hidup dalam terang roh hukum Tuhan dan mencapai tujuannya: kasih.” (Angelus, Lapangan Santo Petrus, Minggu, 30 Agustus 2015).

Oratio-Missio

Tuhan, anugerahilah kami hati dan budi seorang murid, agar kami selalu mendengarkan dan melakukan kehendak-Mu. Amin.

Apa yang perlu aku lakukan untuk membersihkan hatiku?

Audite et intellegite: Non quod intrat in os, coinquinat hominem; sed quod procedit ex ore, hoc coinquinat hominem – Mattaeum 15:11

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here