Lectio Divina 09.05.2021 – Tinggallah dalam Kasih-Ku

0
509 views
Ilustrasi: Tinggallah dalam kasih-Ku, sahabat-Ku by groupos de Jesus.

Minggu. Pekan Paskah VI (P).

  • Kis. 10: 25-26:34-35.44-48.
  • Mzm. 98: 1.2-3ab.3cd-4.
  • 1Yoh. 4: 7-10.
  • Yoh. 15: 9-17.

Lectio

9 “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu. 10 Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya. 11 Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.

12 Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. 13  Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. 14 Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.

15 Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku. 16 Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu.

Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu. 17 Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.” 

Meditatio-Exegese 

Allah adalah kasih, Deus caritas est

Saat Allah menyingkapkan Diri-Nya, “Allah adalah kasih.” (1Yoh. 4:7) seluruh semesta pasti bersuka cita. Santo Augustinus menyatakan, “Bahkan tiada kata layak diucapkan jika harus  memuji Kasih dalam seluruh halaman surat ini; bahkan, tiada satu kata pun layak diucapkan untuk memuji dalam seluruh halaman Kitab Suci.

Dan jika seluruh yang kita dengarkan dari mulut Roh Kudus adalah bahwa ‘Allah adalah kasih’, pasti tidak ada hal lain yang harus kita cari lagi.” (dikutip dari In Epist. Ioann. ad Parthos, 7, 5).   

Maka segala sesuatu yang dilakukan-Nya selalu mengalir dari kasih-Nya yang tak terbatas pada kita. Santo Augustinus  dari Hippo melukiskan, “Allah mengasihi kita masing-masing, seolah-olah yang ada hanya kita masing-masing.”

Inilah alasan mengapa Ia bersedia membayar berapa pun besarnya biaya untuk menebus manusia dari perbudakan dosa dan maut.

Inilah alasan mengapa Allah mengutus Anak yang dikasihi-Nya, Tuhan Yesus Kristus, yang menyerahkan hidup-Nya sebagai tebusan atas dosa kita.

Kasih Allah pada manusia disingkapkan dalam penciptaan dan dalam seluruh rahmat adi koderati jauh sebelum manusia jatuh dalam dosa. Setelah ia jatuh dalam dosa, kasih-Nya dinyatakan, di atas segalanya, dalam pengampunan dan penebusan.

Manusia yang telah mati dan jatuh dalam kuasa dosa dan maut, diampuni dan ditebus, supaya ia hidup oleh Anak-Nya.

Santo Yohanes bekata, “Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya.” (1 Yoh 3:9).

Bapa Suci Benediktus XVI mengajarkan tentang kasih: “Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada dalam kasih, dia tetap berada dalam Allah dan Allah dalam dia.” (1Yoh. 4:16).

Kata-kata dari Surat Pertama Yohanes ini mengungkapkan secara jelas inti terdalam dari iman Kristiani: gambaran Kristiani akan Allah dan buah gambaran akan umat manusia dan panggilannya.

Dalam ayat yang sama, Santo Yohanes memberikan ringkasan akan hidup Kristiani, “Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita.” (Ensiklik Deus Caritas Est, 1).

Dengan nada retoris Santo Paulus bertanya,  “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus?” (Rm. 8:35). Sekali manusia diikat melalui Sakramen Baptis, ikatan itu tidak tidak akan putuskan-Nya.

Rasul agung itu melanjutkan, “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Rm 8:35.38-39).

Tiap murid-Nya seharusnya memilih untuk mengubah hidup dan hatinya menjadi seperti hidup dan hati Yesus:  berbelas kasih, murah hati, mengampuni, panjang sabar, penuh kasih setia. Kasih tidak hanya dicurahkan kepada sesama, tetapi juga pada para musuh.

Sebaliknya, sering manusia justru lebih memilih melawan kasih dan berpaling kepada segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat yang timbul dari hatinya (Mat 15:19). 

Bila pilihan terakhir yang diambil manusia tidak akan pernah tumbuh untuk mengasihi. Ia tidak mengenal Allah (bdk. 1 Yoh 4:8).

Seperti Bapa telah mengasihi Aku

Kasih, daya kuasanya menggelora dan alam maut pun tak mampu memadamkannya. Nyalanya seperti nyala seperti nyala api Tuhan (bdk. Kid 8: 6). Kasih yang mengalir dari Bapa dan Putera selalu mencipta, menghidupkan  dan menumbuhkan suka cita dan persahabatan.

Ia menghendaki agar manusia bersatu dengan-Nya dalam ikatan persatuan, damai sejahtera dan suka cita yang berlangsung hingga kekal.

Ia mengundang, “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu.” (Yoh 14: 4).

Hanya ada satu Allah mengapa Allah mengundang manusia untuk selalu hidup dalam ikatan persatuan dengan-Nya.

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh. 3:16). 

Undangan ini selalu diulang (Yoh 15:9), “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu.”,  Sicut dilexit me Pater, et ego dilexi vos; manete in dilectione mea.  

Tinggallah di dalam kasih-Ku itu, Manete in dilectione mea

Yesus tinggal di dalam kasih Bapa-Nya.  Ia setia melaksanakan perintah  Dia, yang mengutusNya.  Inilah suka cita hidup-Nya.

Bila Bapa mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, Ia memberikan seluruh Diri-Nya, hingga mati di kayu salib. Inilah cara Yesus mengasihi Bapa-Nya dan manusia.

Relasi mesra dengan Allah selalu mensyaratkan kesetiaan manusia melakukan perintah Allah, seperti yang dilakukan Yesus. Ia pun meminta, “Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya.” (Yoh 15:10).

Maka dalam kesatuan kasih Bapa dan Yesus mengalirlah suka cita hidup tanpa henti. Ia bersabda dan sabdaNya benar, “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.” (Yoh 15: 11).

Kamu adalah sahabat-Ku

Dalam tradisi Kitab Suci, salah tanda bahwa seseorang dikasihi Allah adalah saat ia disebut sebagai sahabat, amicus. Abraham adalah salah satu sahabat Allah (bdk. Kej. 15:6; 2 Taw 20:7; Yes 40:8; Yak 2:23). Tetapi dalam terjemahan  baru, Abraham disebut sebagai hamba dalam Yes. 40:8.

Allah berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya (Kel. 33:11).  Yesus meneruskan tradisi alkitabiah, tidak memanggil para murid-Nya sebagai hamba, tetapi sahabat.

Persahabatan dengan Allah yang dijalin merupakan persahabatan yang intim, melampaui sekedar menaati dan melaksanakan kewajiban keagamaan. Yesus menggemakan kembali sabda “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” (Ams 17:17).

Dan ciri khas kasih Yesus kepada para murid-Nya adalah kasih yang dicurahkan kepada masing-masing pribadi, yang Ia curahkan sampai pada kesudahannya (Yoh 13:1). Konsekuensinya, seorang sahabat harus tinggal dalam kasih-Nya

Ikatan persahabatan dengan Bapa dan Yesus dilukiskan seumpama pokok anggur dan ranting-rantingnya. Ranting yang lepas dari pokok anggur pasti akan dapat berbuat apa-apa. Segera ia mengering, dibuang  dan dibakar dalam api (bdk. Yoh 15:5-6).

Tentang persahabatan dengan Yesus, Santo Paulus menjadikan Yesus sebagai pusat hidupnya (Gal 2:20), “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” vivo autem iam non ego vivit vero in me Christus.

Dalam budaya Yahudi-Romawi masa itu  kerelaan untuk menyerahkan nyawa bagi sahabat ditempatkan sebagai nilai tertinggi.

Sabda-Nya (Yoh. 15:13), “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” maiorem hac dilectionem nemo habet, ut animam suam quis ponat pro amicis suis.

Yesus membuktikan apa yang disabdakan-Nya  dengan menyerahkan nyawa-Nya di Kalvari. Murid-murid-Nya membuktikan kasih mereka pada Allah dengan menjadikan sabda-Nya sebagai  makanan, kebutuhan pokok untuk hidup, yakni: melakukan kehendak Dia yang mengutus Yesus dan menyelesaikan pekerjaan-Nya (bdk. Yoh. 4:34).

Melakukan dan menyelesaikan kehendak Allah menjadi tanda dan bukti kasih kepada-Nya dengan cara mengikuti jalan salib, bahkan, bila dituntut, menyerahkan nyawa demi sesama dan Dia.

Kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap

Sebagai sahabat, tiap murid diutus Yesus untuk pergi ke segala penjuru dunia, mewartakan Injil Allah dan menghasilkan buah. Tiap pribadi sahabat-Nya didorong untuk bertindak seperti ranting anggur yang selalu tumbuh dan menjulurkan tiap anak ke mana pun diarahkan.

Supaya Injil Allah berbuah banyak, tiap pribadi sahabat-Nya harus “Bencilah yang jahat dan cintailah yang baik; dan tegakkanlah keadilan di pintu gerbang.” (Am. 5:15).

Selanjutnya Nabi Amos melukiskan buah yang dipetik, “Keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.” (Am. 5:24).

Membenci yang jahat, mencintai yang baik dan menegakkan keadilan selalu bermuara pada panggilan untuk menjadi kudus. Undangan untuk tinggal di dalam Yesus searti dengan panggilan untuk menjadikan hidup tiap-tiap sahabat-Nya kudus.

Katekese

Semua bisa menjadi kudus. Paus Fransiskus, 17 Desember 1936 – sekarang

Untuk menjadi kudus tidak perlu menjadi seorang uskup, imam ataupun religius. Kita sering kali tergoda untuk memikirkan bahwa kekudusan hanyalah diperuntukkan bagi mereka yang dapat menjaga jarak dari pekerjaan biasa sehari-hari dan mencurahkan waktu lebih banyak untuk berdoa. Bukan seperti itu.

Kita semua dipanggil untuk menjadi kudus dengan menghayati hidup kita dengan kasih dan masing-masing memberikan kesaksiannya sendiri dalam kegiatan setiap hari, di manapun kita berada.

Apakah Anda seorang anggota hidup bakti? Jadilah kudus dengan menghayati persembahan diri Anda dengan sukacita.

Apakah Anda menikah? Jadilah kudus dengan mengasihi dan memperhatikan suami atau isteri Anda, sebagaimana Kristus lakukan kepada Gereja-Nya.

Apakah Anda seorang pekerja?

Jadilah kudus dengan melakukan pekerjaan Anda dengan kejujuran dan kemampuan untuk melayani sesama. Apakah Anda orangtua atau kakek-nenek? Jadilah kudus dengan mengajarkan dengan sabar anak atau cucu untuk mengikuti Yesus.

Apakah Anda sedang memiliki kekuasaan? Jadilah kudus dengan berjuang demi kesejahteraan bersama dan melepaskan kepentingan pribadi. (dikutip dari Seruan Apostolik Gaudete Et Exsultate, 14)

Oratio-Missio

  • Tuhan, nyalakanlah api kasih-Mu agar aku selalu mengasihi-Mu dan menjadikan jalam-Mu menjadi jalanku. Tuntunlah aku untuk selalu mencurahkan kasih pada sesamaku seperti cara-Mu. Amin.
  • Apa yang perlu aku lakukan untuk setia menjadi sahabat-Nya?

Si praecepta mea servaveritis, manebitis in dilectione mea, sicut ego Patris mei praecepta servavi et maneo in eius dilectione – Ioannem 15: 10

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here