Lectio Divina 1.9.2024 – Jaga Hatimu Supaya Tidak Najis

0
43 views
Hati yang suci, by Bible Art

Hari Minggu Biasa XXII. Hari Minggu Kitab Suci Nasional (H)

  • Ul. 4:1-2,6-8
  • Mzm. 15:2-3a.3cd-4ab.5
  • Yak. 1:17-18.21b-22.27
  • Mrk. 7:1-8,14-15, 21-23

Lectio (Mrk. 7:1-8.14-15.21-23)

Meditatio-Exegese

Janganlah kamu menambahi dan janganlah kamu menguranginya

Ketika Musa kembali dari perjumpaan-Nya dengan Allah di Gunung Sinai, ia membawa apa yang lebih penting dari dua loh batu yang memuat perintah Allah (Kel. 24:18; 32:15-16; 34:28-29). Ia membawa otoritas ilahi untuk mengajarkan perinta Allah pada umat perjanjian.

Ia menuliskan apa yang diterimanya dalam Kitab Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan. Tetapi, perintah-perintah lain tidak ditulisnya, tetapi diwariskan dalam tradisi lisan kepada Harus, imam agung, dan para imam lainnya.

Pada akhir masa pengembaraan di padang gurun yang berlangsung 40 tahun, dengan otoritas yang disucikan secara ilahi, ia mengajar dalam tiga khotbah terakhir yang dicatat dalam Kitab Ulangan kepada generasi baru bangsa itu sebelum merebut tanah terjanji. Inilah bagian pertama dari khotbah Musa.

Musa memulai dengan seruan yang menjadi ciri khas pengajaran dalam Kitab Ulangan, Shema Israel, Hai orang Israel, dengarlah (Ul. 4:1; 5:1; 6:4; 9:1; 20:3 dan 27:9). Kemudian disusul dengan ungkapan kuajarkan, yang menyingkapkan tugas pengutusan Musa adalah menjadi guru Hukum yang pertama.

Di masa kemudian umat mengingat Musa sebagai pemberi hukum dan pengantara perjanjian dengan Allah. Pada periode kedua Bait Allah (517 sebelum Masehi – 70 Masehi), otoritas mengajar pada Umat Perjanjian Lama mengacu pada kursi Musa, sedangkan otoritas mengajar pada Umat Perjanjian Baru, Gereja, disebut sebagai kursi Petrus (Mat.. 23:2).

Musa mengajar anak-anak Israel bahwa patuh pada perintah adalah jalan untuk hidup. Maka tema utama khotbahnya selalu berpusat pada hidup yang bergantung pada kepatuhan pada perintah Allah (bdk. Ul. 30:15-20).

Perintah dan larangan-Nya tidak hanya untuk dibaca dan diingat, tetapi, terlebih, dihayati dan diwujud nyatakan dalam tindakan, supayaya “kamu hidup dan memasuki serta menduduki negeri yang diberikan kepadamu oleh Tuhan, Allah nenek moyangmu.” (Ul. 4:1). Musa mengulangi kata lakukan sebanyak tujuh kali (Ul. 4:1.5.6.13.14; 5:1; dan 6:1).

Selanjutnya, perintah untuk tidak menambah atau mengurangi perintah Allah diulangi lima kali dalam dalam tradisi Kitab Suci, Perjanjian Lama dan perjanjian Baru. Musa pertama kali memerintahkan dalam Ul. 4:2.

Kepada Nabi Yeremia, Allah bersabda, “Berdirilah di pelataran rumah TUHAN dan katakanlah kepada penduduk segala kota Yehuda… segala firman yang Kuperintahkan untuk kaukatakan kepada mereka. Janganlah kaukurangi sepatah katapun.” (Yer. 26:2).

Kitab Amsal menekankan kemurnian sabda Allah dan berpesan, “Jangan menambahi firman-Nya, supaya engkau tidak ditegur-Nya dan dianggap pendusta.” (Ams. 30:5-6). Pesan yang sama ditulis dalam Pkh. 3:14.

Dalam Perjanjian Baru perintah yang sama disampaikan kepada Yohanes, “Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: “Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini.

Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini.” (Why. 22:18-19).

Sedangkan untuk menjamin agar pengajaran tidak menyimpang dari apa yang sampaikan Allah, Petrus pun menekankan, “Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri.” (2Ptr. 1:20). Maka, otoritas yang didirikan Yesus untuk menafsirkan Sabda Allah adalah Gereja-Nya, yang satu, kudus, katolik dan apostolik.

Kesetiaan pada Allah selalu dikumandangkan dari hari ke hari. Seruan itu terus menggema dan menjadi panggilan bagi setiap insan dan Gereja di seluruh dunia. Panggilan-Nya selalu jelas terdengar (Ul. 4:6), “Lakukanlah itu dengan setia.”, et observaretis et impleretis opere.

Hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja

Setelah menasihati jemaat tetap setia dan berpegang teguh pada iman rasuli (Yak. 1:2-8), Santo Yakobus mengingatkan setiap anggota jemaat harus bertahan dalam pencobaan. Pencobaan tidak pernah datang dari Allah, tetapi berasal dari keinginan sendiri.

Keinginan itu menyeret dan memikat tiap pribadi. Apabila keinginan itu diikuti, ia jatuh dalam dosa; dan dosa menyeretnya ke dalam maut (Yak. 1:14-15). 

Santo Yohanes Paulus II menggambarkan proses kejatuhan dalam dosa: “Manusia menyadari, melalui pengalaman hidup yang menyakitkan, bahwa melalui tindakan yang sadar dan bebas, ia dapat mengubah arah dan mengarahkan hidup ke arah yang berlawanan dengan kehendak Allah.

Ia memisahkan dirinya sendiri dari Allah, aversio a Deo, menolak komunikasi kasih dengan-Nya, memutus sumber-hidupnya dari sumber-hidup sejati, Allah sendiri, dan, sebagai konsekuensinya, ia memilih kematian.” (Seruan Apostolik Reconciliatio Et Paenitentia, 17).

Santo Yakobus menuntun jemaat untuk meyakini bahwa Allah selalu menganugerahkan kebaikan. Ia tidak berubah, tidak seperti benda penerang yang sering kali nampak berubah karena musim dan waktu. Belas kasih dan kesetiaan-Nya tetap; sedang, manusia mudah bimbang laksana golombang laut yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin (Yak. 1:6).  

Setiap orang yang diterangi firman kebenaran, verbum veritatis, harus mampu dan bersedia untuk mengubah diri menjadi pribadi yang lebih mendengarkan, lambat berkata-kata dan menahan amarah. Terlebih, ia tidak hanya menjadi pendengar, tetapi hendaklah menjadi pelaksana firman.”, estote autem factores verbi.

Menjadi pelaksana sabda bermakna menjadi pembela dan pelayan yang miskin dari antara yang paling miskin, seperti anak yatim piatu dan para janda, yang pada masa awal kekristenan menjadi kelompok yang paling rentan pada penindasan dan pelecehan. Di setiap masa, murid Yesus pasti menjadi batu sandungan bila tidak melakukan apa pun untuk membela dan melayani yang miskin.

Orang Farisi dan ahli Taurat dari Yerusalem.

Yesus menghancurkan seluruh kekeliruan yang ditimbulkan mentalitas/ragi kaum Farisi (Mrk. 8:15). Ia mengundang tiap murid-Nya mengalami inti penglaman iman:  mengasihi Allah dan mengasihi sesama.

70-75 Masehi, saat Injil ditulis, Bait Allah telah hancur lebur oleh tentara Kekaisaran Romawi. Tidak ada lagi pusat hidup keagamaan orang Yahudi. Maka, penghancuran itu menjadi penanda jelas pemisahan orang Kristen, umat Yesus, dengan orang Yahudi.

Pemisahan berarti seluruh jemaat yang dibina Santo Markus harus mengikuti hukum baru. Jemaat yang kebanyakan berasal dari bangsa-bangsa asing tidak menaati hukum agama Yahudi, seperti diajarkan oleh segelintir orang dari kalangan sendiri. 

Santo Markus melukiskan keenggan para pemimpin agama di Yerusalem untuk bertukar pikiran dengan Yesus. Tersingkap mentalitas kaum pengecut dan rendah diri. Mereka meminjam tangan untuk memukul Yesus dan cuci tangan bila gagal atau mencelakakan mereka sendiri.

Cara ini serupa dengan peristiwa saat mereka bertanya pada Yohanes Pembaptis. Melalui utusan para pemuka menanyakan apakah benar pada anak Zakharia dan Elizabet adalah Mesias. Ia mengaku dan tidak berkata dusta,  “Aku bukan Mesias.” (Yoh. 1:18-19).

Kelompok Farisi didirikan kira-kira 135 sebelum Masehi. Kata  parusy, asal kata Farisi, bermakna memisahkan diri dari orang biasa yang dianggap najis. Maka, kelompok ini bermaksud untuk memisahkan diri dari kelompok Yudas Makabe dan Hasmonean.

Kaum Farisi hidup murni sesuai dengan Hukum Taurat untuk memperoleh kebahagiaan kekal. Mereka melakukan matiraga sangat keras untuk memisahkan diri dari dosa. Terlebih, dengan pengetahuan akan Hukum Taurat yang luas, mereka memisahkan diri dari orang biasa.

Cita-cita mereka pasti selaras dengan panggilan Allah untuk menjadi kudus. Sabda-Nya (Im. 11:45; 19:2), “Sebab Akulah Tuhan yang telah menuntun kamu keluar dari tanah Mesir, supaya menjadi Allahmu; jadilah kudus, sebab Aku ini kudus.”, Ego enim sum Dominus, qui eduxi vos de terra Aegypti, ut essem vobis in Deum: sancti eritis, quia et ego sanctus sum.

Namun terdapat perbedaan cara pencapaian kekudusan antara pemimpin bangsa Yahudi dan Yesus. Dalam mencapai kekudusan hidup para pemimpin agama Yahudi lebih menekankan penghormatan atas tradisi daripada Sabda Allah.

Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya

Mengawali kisah tentang ketaatan pada hukum baru, Santo Markus melukiskan dengan rinci adat-istiadat Yahudi terkait dengan kebersihan badan dan alat alat rumah tangga untuk jemaat bukan Yahudi.

Sebelum makan, mereka harus mencuci tangan. Membersihkan diri setelah pulang dari pasar. Mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga (Mrk. 7:3-4).

Saat bertemu dengan Yesus dan para murid-Nya, nampaknya, para utusan melihat para murid sedang makan bersama. Dan mereka mengamati para murid-Nya dengan cermat, hingga timbul pertanyaan, “Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?”

Ritual pembersihan ini dicangkokkan pada perintah untuk para imam, “Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Haruslah engkau membuat bejana dan juga alasnya dari tembaga, untuk pembasuhan, dan kau tempatkanlah itu antara Kemah Pertemuan dan mezbah, dan kautaruhlah air ke dalamnya. Maka Harun dan anak-anaknya haruslah membasuh tangan dan kaki mereka dengan air dari dalamnya.” (Imamat 30:17-19).

Seluruh praktik cangkokan ini ditulis dalam tata peraturan keagamaan Yahudi, Mishnah, sekitar tahun 200. Pada masa Yesus hidup, kaum Farisi menambahkan tafsir mereka atas hukum Tuhan. Bagi mereka menaati hukum lebih penting daripada berbuat kebaikan dan mencurahkan belas kasih.

Ketaatan pada pelaksanaan hukum agama hingga keharusan melaksanakan hukum yang sangat rinci dan ketat seolah menjadi tanda nyata atas kesucian jiwa. Ketaatan itu seolah menjamin tempat di surga. Dan yang tidak melaksanakan hukum pasti dihukum di neraka.

Rabbi Eleazer berkata, “Dia yang menjelaskan Kitab Suci secara berlawanan dengan tradisi tidak berhak mendapat bagian dalam hidup abadi.” Maka, najis atau tahir  ditentukan oleh hal-hal yang bersifat higienis, fisikal dan psikologis.

Mencuci tangan harus dilakukan untuk menghilangkan kotoran. Barang untuk keperluan rumah tangga, misalnya: cawan, kendi dan perkakas masak harus dicuci (Mrk. 7:2-5). Namun, pemutlakkan kebiasaan ini ternyata digunakan untuk mencap yang tidak melakukan sebagai yang najis.

Tradisi juga mengatur tata pergaulan untuk menentukan tahir atau najis. Menyebut beberapa peraturan najis: semua orang asing yang dipandang sebagai musuh (Ibr. zar) dinyatakan najis (Sir. 50:25-26; Yoh. 4:90).

Para perempuan rentan dianggap najis. Perempuan yang sakit pendarahan dianggap najis (Mrk. 5:25-34; Im. 15:19-31). Ibu yang baru melahirkan dinyatakan najis (Luk. 2:21-24; Im. 12:2,4-6). Penderita kusta dinyatakan najis (Im. 13-14). Di samping itu, seluruh makanan yang dinyatakan najis dalam Kitab Imamat 11 tidak boleh dikonsumsi (bdk. Kis. 10:11-16).

Tanpa membatalkan sedikit pun Sabda Allah (bdk. Mat. 5:17-19), Yesus menyingkapkan bahwa seluruh tradisi itu baik, tetapi tidak menentukan status najis atau tahir di hadapan Allah. Yang menentukan tahir atau najis adalah apa yang keluar dari seseorang. Namun sering hukum agama dibuat untuk memisahkan manusia satu dengan yang lain.

Yesus langsung membungkam mereka dengan mengacu pada pesan Nabi Yesaya, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.” (Mrk 7:6-8; bdk. Yes 29:13 Septuaginta).

Dari hati orang

Kenajisan atau ketahiran ditentukan oleh hati manusia. Dalam tradisi Kitab Suci, hati merupakan pusat hidup manusia. Di situlah manusia mengolah seluruh kehendak yang akan mendorongnya bertindak. Dari pertimbangan batin yang sangat rahasia inilah ditentukan najis atau tahir.

Dalam hati inilah Allah berbicara dan mengingatkan untuk melakukan apa yang baik. Ia juga mengingatkan, seperti yang dilakukan-Nya pada Kain, “Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.” (Kej. 4:7).  

Dari hati yang gelap, muncullah kenajisan. Santo Markus mendaftar 13 perbuatan najis yang dirancang dari kedalaman jiwa: segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan.” (Mrk. 7:21-22).

Maka setiap murid Yesus harus menjaga supaya hatinya murni (bdk. 2 Kor 6:6; 1 Tim 1:5). Hati yang murni menuntun tiap murid Yesus menjadi pewarta belas kasih, membela yang lemah, karena Ia hadir di dalam diri mereka.

Yesus terus mengingatkan (Mrk. 7:23), “Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.”, omnia haec mala ab intus procedunt et coinquinant hominem.

Katekese

Menjaga hati dengan penuh kehati-hatian. Origenes dari Alexandria, 185-254:

“ Hal-hal inilah menjadikan ‘orang najis’ karena semua itu berasal dari hati mereka. Setelah kehendak yang jahat keluar dari hati, mengalirlah ia melalui mulut. Jika kehendak itu tidak tidak terjadi di luar hati, tetapi masih disimpan di suatu tempat dekat dengan jiwanya.

Karena dorongan itu tidak boleh terucap melalalui mulut. Mereka akan lenyap dengan cepat. Sehingga orang itu segera tidak ternoda.

Maka, sumber dan asal setiap dosa adalah ‘pikiran-pikiran jahat’. Karena jika pikiran-pikiran tidak mempengaruhi seseorang, ia tidak akan menjadi pembunuh, pelaku perzinahan atau hal-hal yang jahat lainnya. Karena alasan ini, setiap orang hendaknya menjaga hatinya dengan segenap kewaspadaan.” (Commentary On Matthew 11.14–15).

Oratio-Missio

Tuhan, penuhilah hatiku dengan Roh Kudus-Mu dan jadikanlah hatiku seperti Hati-Mu. Kuatkanlah niatku agar aku selalu memilih apa yang baik dan menolak apa yang jahat. Amin.

  • Atau apa yang aku lakukan untuk menjaga supaya hati nuraniku tetap bening? 

omnia haec mala ab intus procedunt et coinquinant hominem – Marcum 7:23

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here